Bab 2: Dear Amelia

1010 Words
Amanda POV *** Seluruh tubuhku terasa sangat lelah. Aku berusaha mengumpulkan tenaga. Kulihat baterai ponselku habis. Aku bangun menge-charge ponsel itu. Semalam aku tidak sadar jam berapa Aizril mematikan panggilan telepon kami. Aku benar-benar mengantuk setelah minum obat dari dokter. Aku sudah mencuci muka di kamar mandi saat darah segar mengalir dari hidungku. Fase kanker itu datang lagi. Segera aku mengambil tisu, mengelap cairan merah itu. Aku tertegun, jatuh bebas seperti bola yang baru saja ditendang keras. Cairan merah ini mengingatkan aku bahwa aku sedang sekarat. Senyuman yang semalam ditularkan Aizril tidak ada artinya. Aku sakit. Pada akhirnya akulah yang akan meninggalkan Aizril. Kenyataan itu selalu menampar harga diriku. Aku meneteskan air mata meskipun aku tidak menginginkan cairan itu keluar dari mataku. Aku pasti kuat. Aku tidak boleh lemah. Hanya aku yang bisa menguatkan diriku. Aku tahu itu. Tisu yang aku gunakan kini bersimbah cairan berwarna merah. Aku menatap tisu itu lama. Aku marah. Aku marah pada takdirku. Aku benci sakit ini. Karenanya aku menghancurkan masa depan Aizril. Kami baru saja memperbaiki keadaan ekonomi kami. Lalu, sakit ini datang lagi. Sakit ini membuatku depresi memikirkan banyak hal. Aku masih di kamar mandi ketika bel rumah berbunyi. Aku menghapus segala kesedihanku. Menghampiri tamu yang datang ke rumah kami. "Amanda!" Amelia, saudara kembarku mampir ke rumahku. Dia memakai kaca mata gelap. Blus coklat bunga-bunga yang hanya sampai pinggangnya, perut tanpa lemaknya bisa menggoda iman lelaki. Amelia sangat cantik dengan rok pendek yang dipakainya. "Hai." Aku menyapa sekadarnya. Kami cipika-cipiki. Aku masih diam ketika dia menyadari aku baru saja menangis. Dia pun mulai mewawancarai diriku soal kebisuanku. Jujur, aku belum memberitahu siapa-siapa soal penyakitmu. Hanya Mama Wirda dan aku yang mengetahuinya. Aku belum siap memberitahu semua orang. "Sesuatu yang buruk sedang terjadi 'kan?" tebaknya sembari menatapku dengan tatapan elang. "Tidak. Aku baru saja menelepon dengan Aizril dan aku bilang...." Aku mengambil napas panjang. Amelia mengangkat alisnya. "Kamu bilang apa?" "Aku bilang aku rindu padanya." "OMG." Amelia memutar bola matanya. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Mencari makanan apa yang bisa ia makan. Aku tidak memasak apa-apa. Hanya ada roti gulung di atas meja. Amelia menyambar roti itu. Dia sangat beruntung memiliki tubuh yang bersahabat. Makan banyak tetapi tidak membuat gemuk-gemuk. Tubuh Amelia memang tubuh selebriti. Dia tak butuh diet untuk tampil cantik. "Astaga. Bajumu lusuh sekali. Apa Aizril tidak sanggup membelikanmu baju baru?" Amelia berseru ketika aku membuatkan s**u untuknya. Astaga, mengapa matanya sangat jeli? Aizril bukannya tidak membelikan aku baju baru. Hanya saja, aku memakai baju secara acak. Aku tidak suka memilih-milih pakaian. Aku adalah orang yang simpel, bukan perfeksionis. "Ini pakaian baru. Hanya saja warnanya lusuh. Ini tren masa kini," kataku membodohi. Aku menyodorkan s**u yang ada di dalam gelas. Sementara Amelia mengernyitkan alis. Dia sampai mengecek kebenaran pakaianku. Dia curiga tetapi tidak peduli di saat bersamaan. Lagipula, banyak sekali pakaian masa kini yang warnanya pudar. "Benarkah?" tanyanya. Aku mengangguk antusias. Amelia mengibas rambutnya yang bergelombang seakan ada fotografer yang akan memotretnya. "Ngomong-ngomong, ada masalah apa kamu datang ke sini? Tumben." Amelia belum menjawab, mana kala kurasakan kepalaku agak pening. Bibirku terasa kering. Aku menggigit bibirku agar terlihat tidak kering. Aku mengambil tisu, bersiap-siap kalau-kalau aku mimisan tiba-tiba. "Rafli melamarku," seru Amelia mengumumkan. Rafli adalah cinta pertama Amelia. Persis seperti aku dan Aizril. Hanya saja, Amelia sempat putus dengan Rafli. Amelia punya banyak petualangan dengan cowok-cowok keren. Deretan mantan pacarnya adalah orang sukses. Kebanyakan Youtuber gaming dan aktor. Amelia adalah gadis populer, kebalikan dari aku. "Apa jawabanmu? Bukankah kamu dan Syafiq sedang pacaran? Sudah putus dengan cowok itu?" Rasanya sesuatu menumbuk tulang ekorku, dan di saat bersamaan di kepalaku. Aku berusaha menahan semua kesakitanku, hanya untuk mendengarkan cerita Amelia. "Syafiq dan aku tidak pernah serius. Kami sama-sama sering berpaling. Itu rahasia umum. Dan--." Amelia memotong ucapannya dan memandangiku dengan mata membulat. "Tunggu. Ada apa denganmu? Kau sangat pucat." Amelia bangkit dari duduknya. Dia mengamati wajahku yang katanya terlihat pucat. "Aku tidak tahu. Kurasa aku hanya kelelahan." Bukan kelelahan. Ini efek dari kanker dalam darahku. Aku berusaha menipu Amelia agar dia tidak sedih. "Aku rasa, kamu sedang hamil, Amanda. Kau pasti mengandung anak Aizril. Kau harus segera mengecek kandungan." Penjelasan Amelia membuatku memelotot. Aku sama sekali tidak yakin aku sedang hamil. Pasalnya, yang aku alami sekarang adalah efek kanker. "Aku akan periksa ke kandungan saat Aizril sudah pulang." Aku tidak senang membahas diriku sendiri sehingga aku mencari cara agar Amelia berhenti menanyakan banyak pertanyaan kepadaku. "Ngomong-ngomong. Bagaimana keputusanmu soal lamaran Rafli?" Aku tidak selalu benar dalam menebak perasaan Amelia. Akan tetapi, aku yakin bahwa dari sekian banyak pacarnya, hanya Rafli yang membuatnya terkesan. Maksudku, Rafli sangat kaya, tampan, dan ramah. Dia adalah tipe idaman banyak wanita. Menurutku, Rafli juga tidak masalah akan sikap materialis Amelia. "Aku tidak tahu. Bagaimana menurutmu?" Amelia meminta pandanganku. Jujur saja, aku kurang bijak dalam beberapa hal. Namun, aku akan berusaha memberikan saran hang bagus untuknya. "Kau bilang kau dan Syafiq tidak pernah serius 'kan? Aku merasa bahwa kau hanya perlu membicarakan hubunganmu bersama Syafiq. Dan jika memang cintamu pada Rafli amat besar. Silakan bicarakan dengan Syafiq. Kalian harus putus secara resmi sebelum menerima lamaran Rafli." Amelia hanya mengangguk atas nasihat yang aku berikan. "Aku akan mencoba membicarakan masalah ini dengan Syafiq." Tak lama, Amelia pamit pulang karena ada jadwal syuting yang ia harus ia ikuti. Ngomong-ngomong, dua tahun lalu Amelia ikut casting dan mendapatkan peran utama atas saran Aizril, suamiku. Aku senang karena Amelia menyukai akting. Jadi, aku bisa mengobrol lebih banyak tentang akting bersamanya. aku bukan aktris, tetapi Aizril selalu membahas beberapa trik akting di hadapanku, dan itu membuatku terbiasa. Setelah Amelia pergi, aku meringkuk di atas kasur karena tiba-tiba rasa sakit menghantam kepalaku. Saking sakitnya, aku tidak sempat mengangkat panggilan video dari Aizril. Gejala Multiple Myloma menyerang diriku secara membabi buta. Aku masih merahasiakan penyakitku dari Amelia. Aku berpikir bahwa belum saatnya untuk membicarakan kenyataan ini kepada siapapun. Aku butuh waktu, dan aku yakin perlahan-lahan semuanya bisa teratasi. Ya Tuhan. aku belum bisa menerima semua ini. Mengapa kebahagiaanku terlalu cepat direnggut? Aku masih ingin merasakan kebahagiaan bersama Aizril. Ini terlalu singkat Tuhan. . Instagram: Erwingg__
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD