ADEGAN MACAM APA INI?

1135 Words
Hari keberangkatan yang aku tunggu pun tiba. Tapi, sialnya hujan sejak subuh tidak juga berhenti. Hujan ini seakan menghalangi langkahku, dan membuatku tak kuasa menahan rasa marah. Apa lagi ini? Kenapa harus hujan padahal kemarin sangat cerah? Kutatap Leonite yang duduk sambil membaca buku, ia terlihat tenang dan nyaman. Sepertinya dia lega akan keadaan, sementara aku berharap matahari langsung menjadi sepuluh di atas sana. “Wajah seperti itu tidak akan membuat hujan berhenti, Luisa.” Kubuang muka ke arah lain. “Cuaca tidak bisa disalahkan, itu fenomena alam yang alami.” Ya, aku tahu akan hal itu. Tapi tetap saja ini menjengkelkan untukku! “Kau bisa menunda keberangkatan untuk besok, bukan?” “Leonite, sepertinya hanya kau yang menganggap cuaca hari ini menjadi berkat.” Dia tertawa, terlihat jelas jika begitu puas akan semuanya. Sementara para pelayan yang ada di sekitar hanya menahan senyum akan interaksi kami berdua. “Duduklah dengan tenang. Hujan pasti akan berhenti,” ujar Leonite dengan wajah berseri. Dia kembali fokus pada buku di tangannya, membalik halaman demi halaman dengan tenang. Matanya sesekali melirik padaku, tapi bibirnya tetap dibungkam. “Ah ... kapan hujan ini berhenti! Apa aku pergi saja dengan keadaan seperti ini?” Suara buku ditutup dengan kasar menggema, mengalihkan fokusku yang sejak tadi hanya pada hujan saja. Di sana, Leonite, dia terlihat tak senang akan ucapanku. Wajahnya mengeras, menahan emosi yang bisa saja meledak dalam beberapa detik. “Hah!” Leonite tak bisa berkata apa pun, hanya menghela napas dengan kasar. Ia beranjak dari tempat duduknya, menghampiriku, dan menarik tangan kananku. Langkah kakinya yang lebar menuju lantai dua, lalu rambutnya yang tertiup angin melayang nyaris mengenai wajahku. Dia marah sekarang! “Leonite!” “Diamlah, Luisa!” Aku terdiam, tak menyangka jika ucapanku beberapa waktu lalu bisa memicu perang saudara. Tak berapa lama, kami tiba di depan pintu kamarku. Leonite langsung membukanya, dan membawa aku masuk ke dalam. Pada saat pintu di tutup, ia membawaku ke ranjang, dan membaringkanku. “Tidurlah,” ujar Leonite. Aku berusaha untuk duduk, tapi dengan cepat Leonite berbaring dan memelukku erat. “Leonite, apa yang kau lakukan?” “Memelukmu,” balasnya tanpa ragu. “Tapi aku tidak tertarik untuk tidur!” “Diam, lalu tutup matamu. Aku akan membangunkanmu setelah hujan berhenti.” Dia memelukku, membuatku tak bisa lepas dengan mudah. Semakin aku melawan, semakin erat pelukan Leonite padaku. “Luisa, tidurlah. Jika kau masih memberontak, aku dengan senang hati mengikatmu.” “Aku bukan babi hutan yang bisa diikat, Leonite!” “Anggap saja kau rusa gila yang harus diikat.” Ah ... menyebalkan. Dia sedang ingin adu mulut denganku, dan sebaiknya aku diam. Begitulah yang aku lakukan, hanya diam sambil menikmati pelukan Leonite yang terasa hangat. Hujan masih turun lebat, perapian di dalam kamar juga sangat hangat dan nyaman. Napas Leonite begitu teratur, matanya terpejam, dan aku hanya bisa menyandarkan kepalaku pada dadanya. Ini termasuk adegan romantis? Apa ini pantas untuk kami berdua yang mempunyai status saudara? Hah, memikirkan hal yang aneh memang menyenangkan. Tapi dalam keadaan dan posisi seperti ini entah kenapa aku merasa nyaman dan aman. Diam seribu bahasa, hanya ada embusan napas yang hangat mengenai pipiku. “Leonite ... kau tidur?” “Tidak,” balasnya lembut. Sedikit saja aku menengadahkan kepalaku, lalu tatapan kami bertaut. “Aku hanya memelukmu saja, berharap kau yang tidur.” Dia menatap lembut, membuatku terbuai dalam iris violet terang mengagumkan. Wajah tampan yang terlihat sangat menenangkan, hangat tubuhnya yang begitu nyaman, lalu aroma tubuh itu juga membuatku sedikit mabuk kepayang. Ya Tuhan ... kenapa aku harus membuat status pria tampan ini sebagai kakak kandung Luisa? “Apa kau terpesona pada wajahku? Aku tahu aku tampan, jangan menunjukkan terang-terangan seperti ini.” “Kau ... merusak suasana, Leonite!” “Benarkah?” Leonite tertawa, ia memelukku lagi dengan sedikit lebih erat. “Memangnya suasana seperti apa yang aku rusak?” “....” “Tapi kau nyaman, kan?” Aku hanya diam, lalu memejamkan mata. Menjawab pertanyaan Leonite hanya akan menjadi kata-kata bunuh diri. Aku mengakui dengan jelas jika pelukan ini sangat nyaman, tapi aku akan merasa canggung jika tidak mengakuinya dengan benar. Hah ... kenapa Leonite seperti ini? Entahlah! Apa pun jawabannya, aku hanya bisa menyimpulkan hubungan Luisa dan Leonite memang begini. “Luisa ....” Suara Leonite terdengar seperti sebuah bisikan, bahkan terasa hangat di sekitar telingaku. “Bisakah kau tetap tinggal? Atau, haruskan aku mencari tempat yang tepat untukmu bersembunyi?” Kubuka matanya perlahan, menatap matanya dan tersenyum. Sial ... Dia terlihat tak berdaya, belum lagi jarak wajah kami begitu dekat. Bergerak sedikit saja kami sudah berciuman, dan itu sangat membuatku gugup. “Mata ambermu indah,” puji Leonite. “Mata violetmu juga indah, Leonite.” “Kau suka?” Tangan Leonite merapikan anak rambut yang tergerai di wajahku, ia membelai pipiku dengan sayang, dan itu membuatku semakin gugup. Air liur seketika terasa begitu encer di dalam mulutku, untungnya dengan cepat bisa kutelan tanpa tersedak. Dia menggodaku? Sial ... aku tak bisa bergerak, adegan seperti ini biasanya aku tulis untuk peran utama pria dan wanita yang baru memadu kasih. “A-ada apa? Kenapa ... kenapa kau bertanya aku suka atau tidak?” “Karena kau selalu menatap tepat pada mataku saat kita bicara. Bukan hanya hari ini, tapi sejak kecil juga begitu.” Benarkah? Aku tak ingat sama sekali jika selalu melakukan itu saat bicara dengan Leonite, dan aku juga tak memungkiri jika yang paling indah dari Leonite memang iris matanya. Walau Matthias memiliki iris mata violet yang sama dengan Leonite, tapi itu tidak begitu cocok untuknya. Yang membuat ini berbeda dari Matthias adalah bagian rambut. Rambut perak Leonite, dipadukan dengan iris mata violet yang cerah begitu cantik. Seperti sebuah lukisan yang sangat menawan, dan bagai permata di tengah hamparan salju. Itu indah sekali! “Jadi?” “Y-ya ... tentu saja aku suka.” Leonite kembali tersenyum, lalu dia menempelkan keningnya denganku, membuat mata kami bertatapan dengan jarak yang semakin dekat. “Jika ini indah, maka tataplah sepuasnya. Kau pasti pergi dalam waktu yang lama, dan tak bisa menikmatinya lagi.” Aku bisa merasakan embusan napas Leonite menerpa wajahku, aroma mulutnya begitu wangi, dan aku merasa nyaman. Kami begitu dekat, dan jantungku berdegup kencang. Sial ... ini memang raga saudaranya, tapi jiwa yang tertanam adalah aku. Wajar jika aku merasa gugup, bahkan membayangkan hal seperti berciuman dengan Leonite. Seharusnya aku memang membuat hubungan mereka bukan saudara dulu, bahkan ... seharusnya aku membuat Leonite dan Luisa menikah saja. Ah ... dia begitu menggodaku. Tuhan, siksaan macam apa ini? “Tidurlah, Luisa.” Setelah ucapan itu, bisa kurasakan bibir Leonite yang mengecup bibirku lembut. Tidak begitu lama, dan dia langsung menenggelamkan kepalaku di dadanya setelah itu. Aku merasa wajahku sudah begitu panas, otakku seakan lumpuh. Apa yang terjadi? Dia ... menciumku! “Tidurlah, aku akan membangunkanmu jika hujannya reda.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD