bc

MY SWEET TEACHER

book_age18+
8.2K
FOLLOW
63.2K
READ
billionaire
possessive
sex
teacherxstudent
CEO
student
bxg
virgin
addiction
teacher
like
intro-logo
Blurb

MENGANDUNG UNSUR DEWASA 21++

hubungan Denish dan Karisa saat SMA bukan hanya sekedar hubungan guru dan murid biasa.

Mereka saling jatuh cinta.

terjebak dalam situasi yang salah, dan melanggar etika sekolahan, mereka memutuskan untuk berpisah dan saling melupakan.

Hingga akhirnya reuni itu mempertemukan kembali mereka.

Kisah terlarang antara guru dan murid itu, akan kah berakhir dengan bahagia, mengingat kini Karisa sudah dewasa?

Atau hanya akan menjadi kenangan pahit yang terulang?

chap-preview
Free preview
Satu
Suara ocehan terdengar dimana-mana, bertabrakan dengan suara musik yang diputar dalam volume sedang. Mataku menatap sekeliling tanpa minat, ruangan temaram yang berisi sekitar dua puluh manusia membuatku sedikit merasa sesak di dadaa. Kuraih gelas minuman ku yang berisi cola, menyesap sedikit isinya lalu meletakan kembali ke tempat semula. Melirik kearah Tania, yang kini tengah berjalan mendekat. "Membaurlah, Karisa. Apa kau berniat duduk saja sepanjang malam?" Tania yang baru saja selesai mengobrol dengan Ero kembali duduk di sampingku. Menatapku dengan pandangan tidak percaya. "Aku membaur, Tania. Kau pikir apa yang aku lakukan dari tadi?" Sahutku malas, sembari menghela napas panjang, merasa bosan. Gadis itu memutar mata jengah mendengar jawabanku, sementara aku hanya mengangkat bahu acuh menanggapinya. Semua ini adalah ide Tania, mengajakku keluar diakhir pekan yang seharusnya aku lewati dengan nyaman di kasur empukku, berteman camilan dan juga film series favoritku. Namun karena Tania, disinilah aku sekarang, terdampar di tempat antah berantah dengan dalih reuni SMA. Yang benar saja, orang gila mana yang mengadakan reuni di sebuah klub malam? Ya, walaupun mereka menyewa ruang pertemuan privat, tapi reuni di ruangan remang-remang yang di penuhi oleh minuman keras dimana-mana seperti ini sangat tidak realistis untuk sebuah acara yang disebut reuni. "Kau harus bersenang-senang, Karisa. Jangan hanya duduk diam seperti pajangan," kata Tania kembali menyarankan. "Kapan lagi kau keluar seperti ini.." imbuhnya lagi mencoba memprovokasiku. Seolah ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh aku lewatkan. Dia berlebihan, karena aku tidak sepenuhnya hanya duduk seperti yang dia katakan. Sejak kedatangan kami sekitar satu jam yang lalu, aku sudah menyapa dan mengobrol dengan beberapa teman SMA ku, sedikit memakan hidangan yang tersedia, lalu duduk sampai sekarang. Ya, aku terlalu lelah untuk berdiri. "Bukankah mereka semua tampan?" Aku mengikuti arah mata Tania yang menunjuk kearah segerombolan pria berjumlah lima atau enam orang yang tengah mengobrol di sisi lain ruangan. Mereka adalah Ero, dan teman-temannya. Murid populer yang kebetulan satu kelas dengan ku saat SMA. Ya, mereka semua tampan, beberapa dari mereka juga sempat menyapaku tadi, tapi aku sama sekali tidak tertarik. "Ero menanyakan tentangmu tadi.." bisik Tania lagi ditelingaku. Dan aku segera menoleh cepat kearahnya, memasang ekspresi datar di jawahku, lalu menyahut. "Apa aku terlihat peduli?" "Kau sangat tidak asik, Karisa. Menyesal aku mengajakmu kemari." Tania melotot kesal mendengar jawabanku dan aku tertawa. "Siapa suruh mengajakku kemari. Kau yang mengacaukan hariku." Balasku setelah tawaku reda mengingatkan bagaimana dia membujukku agar ikut kesini, menarikku dari ranjang dan menyeretku kemari. "Karena aku kasihan denganmu, Karisa. Kau tahu, akhir pekan dan film superhero mu itu kombinasi sangat menyedihkan." Aku memilih untuk diam daripada menanggapi perkataan Tania, kembali meraih gelas minumanku lalu menyesap isinya hinga tersisa setengah, dan Tania melakukan hal yang sama. "Filmku lebih menyenangkan dari pada ini, tahu?" gumamku setelah meletakkan gelasku kembali ke meja, menghela napas, lalu menjatuhkan tubuhku yang lelah ke senderan sofa. "Karena yang kau lakukan hanyalah duduk." Protes Tania menatapku jengkel. "Karena tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan. Duduk adalah satu-satunya passionku." Aku mencoba membela diriku lagi. "Coba kau rayu seseorang, pasti menyenangkan." Tania mengedipkan sebelah matanya kepadaku, ide yang membuat bulu tubuhku meremang. "Ayolaah.. kau cukup populer dulu saat SMA." Dia menarik tubuhku hingga bangun dari posisi bersandarku. "Masa kejayaanku sudah berakhir, Tania." Aku menghela napas, sementara Tania menatapku tidak paham. "Aku baru saja di campakan, ingat?" Kataku lagi tidak lupa sambil memasang wajah sok melas. Aku yakin Tania tidak lupa jika aku baru saja di putuskan oleh Evan, pacarku, beberapa hari yang lalu tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya aku biasa saja tentang ini, tapi saat aku menceritakan masalah ini ke Tania, Gadis itu tidak berhenti mengumpati Evan selama beberapa hari terakhir. Sangat aneh, aku yang di campakkan tapi malah dia yang merasa tersakiti. "Maka dari itu, kau harus memberinya pelajaran. Buat dia menyesal karena sudah meninggalkanmu!" "Caranya?" "Tentu saja mengencani pria yang lebih hebat dari Evan sialan itu!" "Aku baru saja berkencan dengan Tony Stark sore tadi, sebelum kau menyeretku kemari." Aku menyebut nama superhero yang tadi sore aku tonton sebagai tanggapan dan kembali bersandar ke sofa. Mendengar jawabku, Tania menghela napas tanda menyerah. "Kau menang, Karisa. Lakukan apapun yang kau inginkan." Tania mengangkat tangannya, lalu beranjak dari duduknya. "Tolong bangunkan aku jika kau sudah akan pulang." Pintaku sebelum Tania pergi meninggalkanku, lalu memejamkan mataku sebentar. Aku bisa mendengar dengusan kasar napas Tania, membuatku tertawa didalam hati. Ku buka mataku sedikit, menatap Tania yang kini melenggang pergi kembali bergabung dengan teman-teman kami. Aku kembali menegakkan tubuhku saat mataku yang tertuju ke arah pintu yang baru saja dimasuki oleh tiga orang, dua pria dan satu wanita. Mereka terlihat lebih dewasa dari kami pada umumnya. Awal tiga puluhan, mungkin. Tania langsung menyambut mereka, tampak sangat dekat. Dan saat mataku menatap ke pria berjaket putih yang kini tengah tersenyum, berbincang dengan teman-temanku yang lain, jantungku berdegup kencang, dan perutku berdesir tanpa alasan, membuatku kembali bersandar ke sofa, dan memejamkan mata. Pria itu..Denish Kellan. Mantan wali kelasku saat SMA, yang juga merupakan cinta pertamaku. Desember 2018 Aku mendengus kesal, menatap kearah langgit yang berselimut awan hitam itu dengan tatapan sebal. Hujan masih turun dengan intensitas yang sama. Tidak deras, tapi juga tidak kunjung reda. Menyebalkan. Apa aku harus menerobosnya? Atau menunggu reda? Otakku sudah memikirkan hal itu sejak satu jam yang lalu. Ingin segera pulang setelah mengikuti pelajaran tambahan untuk persiapan ujian akhir, tapi aku tidak ingin kebasahan. Membayangkan saja sudah membuatku kesal setengah mati. Sungguh membingungkan. Tania yang membawa payung sudah pulang beberapa saat yang lalu setelah menemaniku sekitar 40 menit. Tentu saja dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang, tapi aku menolaknya. Selain Arah rumah kami berlawanan, payungnya juga tidak cukup besar untuk di gunakan berdua. Menatap sekeliling yang mulai sepi, rasa khawatir mulai merasuk kedalam diriku. Semua orang tampak melangkah terburu-buru, membuka payung, lalu melesat menerobos hujan. Kenapa hanya aku yang tidak memilikinya? Memikirkan itu hanya mbuatku sangat menyesal karena tidak mendengarkan pesan ibuku tadi pagi saat aku berangkat sekolah untuk tidak lupa membawa payung. Lebih percaya dengan ramalan cuaca yang aku lihat sekilas dari televisi di ruang keluargaku tadi pagi. Ya, mereka meramalkan jika cuaca hari ini akan cerah berawan. Dan seharusnya aku juga cukup pintar dalam masalah ini. Dengan predikat murid terpandai di kelas XI A yang aku sandang, seharusnya aku sadar, tidak ada yang bisa aku harapkan di bulan Desember selain hujan, dan hujan. Langit sudah mulai gelap dan aku membulatkan tekad, memutuskan untuk menerobos hujan yang sepertinya tidak membiarkan aku pulang dalam keadaan kering hari ini. Aku menarik hoddie cream ku hingga menutupi kepala, mencoba menyelamatkan semua rambutku, dan mengambil ancang-ancang untuk lari saat suara bariton itu masuk ke dalam gendang telingaku. "Terjebak hujan lagi, Karisa?" Spontan menoleh, dan mataku menemukan pria tinggi memakai coat cokelat berdiri di belakangku. Satu tangannya tersimpan di kantong celana bahannya, sementara tangannya yang lain mengenggam tas kerja dan juga payung berwarna hitam. Matanya menyipit, menatapku dengan satu alis terangkat naik. "Mr. Kellan.." aku hanya bisa mengumamkan namanya sebagai jawaban. "Lebih mempercayai ramalan cuaca, lagi?" Dia bertanya sekali lagi sebelum aku menjawab pertanyaan pertamanya, menekankan kata lagi yang membuatku meringis. "Ini bulan Desember, Karisa. Apa susahnya membawa payung?" Dia bertanya dengan nada gusar. Benar, Ini bukan kali pertamanya aku bertemu dengan wali kelasku itu dalam situasi seperti ini. Dan sekarang nada suaranya mirip sekali dengan ibuku. "Aku baik-baik saja, Mr. Kellan. Aku rasa hujannya juga akan segera re..." suara gemuruh petir menginterupsi ucapanku. "..da." aku meringis saat menyelesaikan ucapanku. Sialan! "Ya, Kau benar, sepertinya hujan akan segera reda." Pernyataan yang sayangnya terdengar seperti sebuah sindiran di telingaku, dan aku bisa melihat sebuah seringaian muncul di sudut bibirnya. Dasar jahat! "Apa ayahmu akan datang menjemputmu?" Tanya dia lagi memastikan dengan mata menyelidik. Selagi dia berbicara aku mengamati wajahnya, dia memang guru sekaligus wali kelasku, tapi dia masih sangat muda, dan tampan. Garis wajahnya tegas dengan rahang yang kuat. Matanyanya tajam senada dengan rambutnya yang legam. Aku menundukan kepala begitu dia menyelesaikan pertanyaannya. Malu, dan merasa sangat tidak sopan memiliki pikiran seperti itu kepada guruku sendiri. "Mm.. ya.." jawabku ragu-ragu, kembali mengangkat kepalaku dan menemukannya tengah menaikan satu alisnya, lagi. Terakhir kali aku terjebak hujan, memang ayahku datang untuk menjemputku. "Mm.. Sebenarnya tidak. Ayahku sedang ke luar kota sekarang." Ralatku kemudian, memutuskan untuk berbicara jujur kepadanya. "Aku akan pulang sebentar lagi. Bermandi hujan sekali-kali pasti terasa menyenangkan." Imbuhku lagi ditambah sebuah tawa yang terdengar sangat garing. Mencoba terlihat bersemangat, berusaha menghibur diriku sendiri. Menatapku selama beberapa detik yang membuatku tidak nyaman, dia menghela napas. Tampak menyerah dengan sesuatu. Lalu mengeluarkan tangannya yang tersimpan di saku celananya. "Kau bisa memakai payungku." Dia mengulurkan payung ditangannya kearahku, membuat mataku berbinar, mengerjap beberapa kali tidak percaya. "Ah.. tidak-tidak. Anda tidak perlu melakukannya. Aku bisa.." "Ambil, Karisa. Aku tidak suka dibantah. Kau tahu itu." Perkataan tegasnya memotong ucapanku, menyodorkan kembali payung ditangannya kepadaku. "Lalu bagaimana dengan anda?" Tanyaku khawatir setelah menerima payungnya dengan berat hati. "Aku sudah cukup dewasa untuk menerobos hujan." Kali ini dia tersenyum. Mengulurkan tangannya sekali lagi kearahku, menuju kepalaku. "Gadis manis." Gumamnya lagi setelah jemarinya menyusup kebawah hoodie, mengacak rambutku gemas. Aku rasa pipiku memerah sekarang. Jantungku berdebar dan Otot perutku mengencang di bawah sana saat dia menyentuh kepalaku. "Cepat pulang sebentar lagi gelap, ibumu pasti sangat khawatir menunggumu." Aku mengangguk, lalu membuka payung pemberiannya. "Terimakasih, Mr. Kellan." "Sama-sama, Karisa." Entah sejak kapan jantungku berdebar kencang hanya untuk satu orang yang sama. Pria yang sangat aku hormati dan tidak mungkin untuk aku jangkau. "Butuh seseorang untuk menyanyikan lagu penghantar tidur, Karisa?" Suara itu sukses membuat tubuhku menegang. Aku yang terlalu takut untuk langsung membuka mata, mengintip sedikit. Dan pria berjaket putih itu sudah berdiri di hadapanku. *** Kami duduk berlima. Aku, Tania, Denish Kellan, Edgar Martin , dan Stefani Lim. Sama seperti Denish, Edgar dan Stefani merupakan guru kami dulu saat SMA. Entah apa yang membuat ketiga mantan guruku itu datang ke reuni abal-abal yang diselengarakan oleh kelas kami. Mungkin mereka tidak memiliki kegiatan lain di akhir pekan. Aku duduk satu sofa dengan Tania, sementara mereka bertiga duduk di sofa panjang yang berada di sisi lain meja. "Tapi tahun ke dua di universitas sangat sulit, Mr. Martin. Aku juga sudah mulai bosan...," Tania yang duduk disampingku tidak berhenti berbicara sejak tadi. Menceritakan kehidupan perkuliahannya yang dia klaim sangat sulit kepada ketiga mantan gurunya itu. Berbeda dengan ketiganya yang tampak antusias mendengarkan. Aku sangat bosan dengan ocehan Tania. Menatap gelas di tanganku lalu menyesap isinya sedikit, membasahi leherku yang terasa sangat kering sekarang. Bosan menatap langit-langit ruangan, mataku beralih ke depan, menatap Denish yang duduk disisi lain meja dengan ekor mataku. Matanya berfokus kearah Tania, dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk memperhatikan wajahnya lebih leluasa. Penampilanya sama sekali tidak berubah sejak pertemuan terakhir kami, dua tahun yang lalu. Mata tajam, rahang kokoh, bibir tipis berwarna merah, berpadu dengan surai hitam legam, masih sama. Hanya ada sedikit perbedaan disana. Mataku yang jeli menemukan janggut akhir pekan yang sepertinya sengaja tidak di cukur oleh Denish, membuat bagian dagunya terlihat sedikit kasar, menambah kesan masulin yang begitu kental. Bagaimana rasanya jika..., Aku mengelengkan kepala cepat, mengusir pikiran kotor yang sempat berkelebat masuk kedalam otakku. Beralih dari Denish, mataku menatap wanita yang duduk di sampingnya. Wanita cantik, dengan jarinya yang lentik sesekali menyentuh lengan Denish yang terlihat tidak keberatan. Otakku kembali berlayar ke masa lampau, masa-masa tahun terakhirku di SMA. Keesokan harinya, saat aku akan berangkat sekolah, mama memberiku bekal makan siang dobel. Dia ingin aku memberikan satu untuk Denish. Aku sudah menolaknya, tapi mama bersikeras untuk tetap memberikannya kepada wali kelasku itu, untuk balas budi karena sudah meminjami payung untukku, katanya. "Jangan lupa membawa payung, Karisa." Teriak mama dari dalam rumah saat aku mengenakan sepatu di pintu depan. "Iya, iya!" "Dan jangan lupa bekalnya, bilang Mama sangat beterimakasih kepadanya." Teriaknya lagi, dan aku memilih untuk tidak menjawab. "Karisa?!" "Iya, Ma. Aku sudah dengarr!" Balasku berteriak, setengah kesal. "Jika dengar, kau harus menjawab." Mama sudah muncul dengan celemek bergambar panda kebesarannya, meninggalkan dapur untuk memastikan aku benar-benar membawa bekal milik Denish. "Aku akan berangkat." Pamitku setelah selesai mengikat tali sepatuku, meraih kantung kertas berisi makan siangku menyambar payung dari gantungan. "Jangan lupa kembalikan payungnya, dan berikan makan siang itu untuk Mr. Kellan." Pesan mama untuk kesekian kalinya. "Iya, ma. Kau akan mendapat piala jika mengatakan itu sekali lagi." "Anak ini." Dia bersiap untuk memukulku dengan sendok kayu besar yang dia pegang, membuatku melesat cepat keluar dari rumah. "Aku berangkat, Bye!" "Hati-hati dijalan!" Mama menghilang dari pandangan setelah pintu depan rumahku tertutup, kembali ke urusan dapurnya. Sementara aku menyusuri jalanan perumahanku, menuju sekolah. Mama merupakan ibu rumah tangga yang sangat bertanggug jawab pada keluarga. Walaupun papa mampu menyewa sepuluh helper untuk urusan rumah tangga, mama bersikeras untuk mengurus keperluanku dan papa sendirian. Seperti memasak untuk sarapan dan makan siang setiap hari, mama selalu melakukannya. *** "Ayo makan siang di taman belakang." Tania menatapku dengan kotak makan siang ditangannya. Dia tampak bersemangat untuk melakukan rutinitas kami. Makan siang sambil menatap lapangan belakang sekolah yang selalu di penuhin oleh murid laki-laki tampan. Dia sangat terobsesi dengan pria tampan. "Aku harus mengembalikan payung Mr. Kellan sekarang." Mengeluarkan paperbag berisi bekal ku, aku menunjukan payung ditanganku kepada Tania. "Nanti saja, sepulang sekolah." Rengeknya manja seperti biasa, meraih tanganku dan mengelayut disana. "Ya? Ya? Ayolah, Karisa. Aku sudah lapar.." dia mengerjapkan mata bulatnya kepadaku, seperti anak anjing yang lucu. "Tidak bisa, Tania. Bagaimana kalau Mr. Kellan akan mengunakan payungnya?" "Sekarang saja tidak hujan. Dia akan mengunakan payungnya untuk apa?" Benar juga. Tapi aku tetap harus mengembalikannya, karena aku masih harus memberikan bekal makan siang titipan mama. "Kau bisa pergi duluan. Aku akan langsung menyusulmu setelah dari ruang guru." Kataku memberi usul. "Janji?" Akhirnya dia melepaskan tanganku. "Awas saja bohong!" "Iya." "Jangan lama-lama. Aku menunggumu disana." Tania melesat keluar kelas, meninggalkan aku sendirian. Tidak lama setelah Tania, aku juga segera keluar dari kelas, melangkah cepat menuju ruang guru dengan payung dan makan siang yang disiapkan mama tadi pagi. Menyusuri lorong panjang di depan kelas, jantungku berdegup kencang tanpa alasan. Tidak seperti biasanya, aku merasa sangat gugup untuk bertemu dengan guru sekaligus wali kelasku itu. Bekal ini sangat berlebihan, kan? Bagaimana jika dia menolaknya? Itu akan sangat memalukan! "Santai, Karisa. Kau hanya perlu mengembalikan payung, berterimakasih, lalu pergi." Kataku pada diriku sendiri, menarik napas panjang berusaha menormalkan degup jantungku yang terus berdetak tiga kali lipat dari biasanya. Setelah melewati beberapa ruang kelas, dan juga ruang laboratorium sains. Akhirnya aku sampai di ruang dengan tulisan RUANG GURU diatas pintunya. Terdengar suara bincang-bincang samar disana. Membuat jantungku yang sudah berdetak normal kembali menggila. Astaga! Apa ada banyak guru disana? Terlalu memikirkan soal bagaimana reaksi Denish, aku sampai lupa jika harus menghadapi kenyataan bahwa akan ada banyak guru di ruang Guru karena ini adalah jam istirahat. Keringat dingin mulai keluar saat aku membayangkan itu. Setelah mengumpulkan tekad, Ku beranikan diri untuk mengintip dari kaca pintu. Pupilku melebar saat menangkap gambaran di dalam sana. Mataku tidak menemukan banyak guru di dalam, hanya dua. Denish salah satunya, bersama seorang guru wanita yang ku kenal bernama Stefani, guru fisika ku, tengah memeluk Denish yang duduk di mejanya dari belakang. "Jangan bertingkah seperti ini di kantor, Fan." Pinta Denish berusaha melepaskan diri dari tangan wanita tersebut. Tapi sepertinya Miss Fani bersikeras, dan malah mencium rahang Denis dari belakang, membuat pria itu lanngsung melonjak dari kursinya. "Kenapa?" Kekeh Miss Fani yang kini tersenyum geli menatap reaksi Denish. "Kita tidak bisa melakukan hal seperti itu disini." Miss Fani mengalungkan tangannya leher Denish, dan pria itu tidak menolaknya. "Kalau begitu, bagaimana kalo kita lakukan nanti? di apartemenmu? Sepulang sekolah?" Wanita itu berkerling nakal, dengan salah satu tangan naik turun mengelus bagian d**a Denish. Tubuhku menegang melihat adegan tersebut. Bagian dalam dadaku seolah diremas. Merasa sakit tanpa alasan. "Mencari sesuatu, Karisa?" Suara itu sukses membuatku tersentak kaget, menoleh kebelakang dan menemukan Edgar Martin, guru matematikaku sudah berdiri di belakangku. Membawa beberapa buku di bawah bahunya, tanda kalau dia baru saja menyelesaikan kelasnya. Matilah aku! "Ah, ya..," aku berpikir keras mencari alasan yang tepat untuk keberadaanku sekrang. "Sa.. saya mencari anda, Mr. Martin." Jawabku cepat, membuat matanya menyipit. "Aku?" Dia menunjuk dirinya sendiri. Dan aku mengangguk, mengiyakan dengan cepat. Pasti aku terlihat sangat gugup sekarang, dan memerah, karena wajahku terasa sangat panas. "Kau perlu sesuatu?" Kali ini aku mengelengkan kepala, dan mengulurkan kantong kertas ditanganku kearahnya. "Apa ini?" Dia menerima kantong itu dari tanganku, menatap kantong dan diriku bergantian dengan pandangan tidak paham. "Bekal untuk makan siang." Jelasku malu-malu. "Ibuku menyiapkan untuk anda.." "Benarkah?" Matanya berbinar dan mengecek isi kantung ditangannya "Dalam rangka apa ini?" Dia bertanya dengan mata kembali menatapku. "Ibuku ingin berterimakasih karena nilai matematikaku tinggi saat ujian kemarin." "Ahh.." dia mengangguk-anggukan kepalanya tanda paham. "Tidak perlu seperti itu. Nilaimu bagus bukan karena aku, Karisa. Itu murni kerja kerasmu sendiri." Jelas Edgar tersenyum lembut. "Tetap sajaa.." "Baiklah, baiklah. Aku terima." Dia mengambil alih saat melihatku kebingungan. Mengacak rambutku dengan salah satu tangannya yang terbebas. "Katakan kepada ibumu juga, terimakasih dan aku menikmati makan siangnya." Lanjut dia lagi dengan senyuman. "Baik.." "Lalu, payung apa itu?" Edgar mengangkat satu alisnya, menatap payung ditanganku dengan aneh, karena diluar memang tidak sedang hujan. "Ah ini." Aku sepenuhnya melupakan urusan payung. "Ini milik Mr. Kellan." Terangku lagi menunjukan payung ditanganku. "Bisa aku mengantungnya disini?" Tanyaku lagi menunjuk kearah tempat khusus payung yang tersedia di samping pintu masuk. "Ah, iya. Kau bisa mengantungnya disana." "Kalau begitu saya akan kembali ke kelas, Mr. Martin." pamitku setelah meletakan payung ditanganku. Dan Edgar mengangguk. "Terimakasih makan siangnya, Karisa. Titip salam untuk ibumu." Katanya lagi dan aku mengangguk lalu berbalik. Meninggalakan Edgard yang juga langsung masuk kedalam ruangannya. "Siapa itu tadi?" Aku masih bisa mendengar suara Denish bertanya kepada Edgar. "Karisa. Dia mencariku." "Karisa Evanders? Kenapa dia kesini?" "Ah, kau wali kelasnya, ya? Dia memberiku makan siang, ibunya menyiapkan untukku." "Benarkah?" Kali ini suara wanita yang menyahut. "Apa aku terlihat membual? Oh, iya, Denish. Dia juga mengantung payungmu di depan." "Bagaimana payungmu bisa dengannya?" Suara wanita itu adalah suara terakhir yang aku dengar. "..., iyakan, Karisa?" Suara itu menghentikan kilas balik masa lalu ku, membuatku tergagap lalu mengangkat kepala, menatap Edgar yang tengah bertanya kepadaku. "Eh, iya?" Bukan jawaban tapi malah sebuah pertanyaan yang keluar dari mulutku. Membuatku merasa bersalah karena tidak memperhatikan pembicaraan mereka. Aku pasti terlihat sangat tidak sopan! Mengutuk diriku sendiri, aku menatap mereka yang kini juga tengah menatap kearahku dengan senyum kecut di bibirku. "Bagaimana denganmu, apa kau juga kesulitan seperti Tania?" Edgar bertanya kepadaku. Mungkin mengulang pertanyaan yang tadi tidak aku dengar. "Ah, itu.. aku.. aku bisa menyesuaikan diri dengan baik, Mr. Martin." "Aku tidak heran. Dengan otakmu yang encer, tentu kau tidak akan kesulitan, Karisa." Kata Edgar mirip sebuah pujian, membuatku tersenyum. "Jadi menurut anda, aku kesulitan di universitas karena bodoh, Mr. Martin?" Tania menatap mantan gurunya itu tidak percaya, memasang wajah cemberut yanng membuat Edgar tertawa. "Aku tidak mengatakan itu. Tapi sudah menjadi rahasia umum jika nilaimu tidak pernah lebih dari lima, Tania." Perkataan Edgar mengundang tawa diantara kami. Denish meraih minumannya dari meja, dan aku menatapnya saat dia mulai menyesap cairan itu dari gelasnya. Bibirnya, jakunnya yang turun naik saat menelan, bagaimana dia meletakan kembali gelas itu kemeja, dan cara dia mengelap sudut bibirnya dengan pungung tangan, Denish benar-benar seksi dimataku. Terlalu sibuk dengan imajinasiku, aku tidak menyadari jika Denish juga tengah menatapku. "Kau sekarang sangat pendiam ya, Karisa?" Suara Denish sukses membuat kesadaranku pulih. Mata kami bertemu, dan segera aku menundukan kepala, mengakhiri kontak mata kami. Aku merasa sangat malu, wajahku memanas seketika karena tertangkap basah tengah mengamati wajahnya. Belum sempat aku menjawab pertanyaan aneh Denish, Stefani sudah menyela. "Karisa kan memang gadis pendiam." Timpal wanita itu terdengar seperti membelaku. "Iya, aku tahu. Tapi sekarang, aku merasa dia lebih, lebih pendiam lagi." Kata Denish lagi dan Tania membuka suara. "Karisa baru saja dicampakkan. Makanya dia berubah menjadi pendiam seperti itu." Aku menyikut rusuknya kesal mendengar perkataannya, dan dia hanya tertawa. "Benarkah?" Denish terlihat tertarik, matanya beralih kearahku, menatapku dengan mata tajamnya yang membuatku tidak nyaman. "Siapa orang itu? berani-beraninya dia melakukan itu kepada Karisa kita." Edgar juga angkat bicara. "Tidak, kok. Aku sama sekali tidak dicampakkan." Kataku meluruskan pernyataan asal dari Tania. "Kita memutuskan untuk berpisah baik-baik." Ketiganya mengangguk-anggukan kepala menanggapi perkataanku. "Kalian tahu, kalian tahu.." lanjut Tania lagi, membuat semua mata kembali menatapnya. "Karisa dicampakan karena menolak untuk tidur ber.." "Tania!" Ketiga orang itu tersentak kaget mendengar teriakannku yang memotong ucapan Tania dengan cepat. Segera ku bungkam mulutnya dengan tangan, mengantisipasi gadis itu untuk tidak membicarakan hal-hal aneh tentangku. "Maaf.." cicitku lemah kepada ketiga mantan guruku yang kini menatap kami bingung. Tania sialan! Dia benar-benar memiliki masalah dalam mengontrol mulutnya sendiri. TBC Kalian suka cerita tema gini nggak sih?? Ini ceritanya nanti bakal mengandung konten dewasa ya, jadi yang nggak berkenan bisa langsung skip ajaa.. Mmm.. kalo yang teksnya italic/miring itu flashback gtu yaa.. dan jangan lupa untuk tap love sekaligus tinggalin komentar kalian untuk cerita ini, yaa....

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook