Dua

3632 Words
Tania menginap di rumahku semalam. Setelah mempermalukanku di hadapan ketiga mantan guruku, dia masih merepotiku dengan minum sampai teler, membuatku harus mengendongnya ke mobil dan mengantikannya menyetir mobil saat pulang. Ya, walaupun aku tidak sepenuhnya mengendongnya sih. Edgar membantuku membawanya ke mobil, tapi tetap saja dia merepotkan. Dia sudah berjanji untuk mengantarku pulang, tapi malah membuatku kerepotan. Gadis itu memang sangat tidak bisa diandalkan. Dan sekarang, sudah lewat makan siang. Dan Tania masih bersikeras tidak mau pulang. Merecokiku dengan tingkahnya yang usil dan suaranya yang sangat menganggu, menyebalkan. "Kau tidak memiliki hal lain yang harus kau lakukan selain berbaring di rumahku, Tania?" Tanyaku sarkas kepada gadis yang kini tengah berbaring diatas ranjang seolah dirinyalah sang tuan rumah, memakan setengah lebih tempat tidurku, membuatku harus bersusah payah mendorong tubuhnya sedikit ke pinggir saat akan ikut naik keatasnya. Dia berguling kesamping untuk menatapku dengan matanya yang bulat dan lebar. "Tidak." Seringaian nakal muncul di bibirnya, lalu dia kembali fokus ke ponsel ditangannya. Bertingkah menyebalkan seperti biasa. Kami sudah berteman sejak kecil. Dan Tania sampai sekarang dia masih saja menyebalkan. Tapi fakta hanya dia satu-satunya teman yang bisa aku sebut sahabat, satu-satunya tempat aku berkeluh kesah. Jadi walaupun dia menyebalkan, sangat menyebalkan, tapi sebenarnya aku menyanyanginya. Kembali menatapku, Tania bergumam pelan. "Menurutmu siapa yang paling tampan?" Tanya Tania setelah kami saling terdiam cukup lama. Aku tidak menjawab, memilih untuk berbaring terlentang, menatap langit-langit kamarku. Seperti biasa, pertanyaan-pertanyaan tidak penting itu selalu keluar dari mulut gadis itu. Seperti mengurutkan siapa yang paling tampan di kampus, atau membicarakan pria yang mungkin bisa diajaknya berkencan. Ya, Tania itu cantik, cantik sejak masih dalam rahim. Selain itu dia memiliki kepribadian yang ceria dan juga energik. Semua orang menyukainya. Dia bisa berteman dengan siapa saja, ataupun berkencan dengan pria yang dia inginkan. Tania bisa melakukan semua itu dengan mudah. Sementara aku, aku memiliki sifat terbalik dari Tania. Aku lebih tertutup, kaku, dan sangat sulit untuk membaur. Satu-satunya yang membuat aku lebih unggul satu langkah dari Tania adalah otakku. Aku cukup pintar, dan jika di ingat-ingat, aku selalu masuk peringkat tiga besar sejak sekolah dasar. Cukup bisa dibangakan, kan? Melihatku tidak kunjung menjawab, Tania menyodorkan layar ponselnya ke depan wajahku. "Lihatlah." Dia memaksaku untuk menatap gambar di layar ponselnya yang memperlihatkan gambar sekelompok pria dengan berbagai pose. Ini adalah teman-teman pria kami yang datang ke reuni tadi malam, lengkap dengan Denish dan juga Edgar. Aku tidak tahu kalau mereka sempat mengambil foto seperti itu semalam. Ah.. pasti mereka melakukannya saat kami sudah pulang. "Menurutmu siapa yang paling tampan?" Ulang Tania lagi, kali ini sedikit mendesak, memaksaku untuk menjawab. "I dont know." Sahutku malas, membuat Tania berdecak kesal, namun tidak lama, karena di detik berikutnya mata gadis itu sudah kembali berbinar menatap layar ponselnya. "Tidak, tidak. Maksudku, siapa yang paling hot?" Dia meralat pertanyaannya. Dan aku masih memilih untuk tidak mengubrisnya. "Edgar Martin" Aku tersentak kaget, menoleh kearah Tania, menatap gadis itu tidak percaya. "Tania!" Tegurku sambil menyikut tubuhnya yang berbaring disampingku. Sudah bukan rahasia lagi jika Tania itu m***m. Dia sangat bangga saat melepas keperawanannya sejak kelas tiga SMA, dengan Andy, salah satu murid pupuler di sekolah. Dan dia selalu berbagi cerita tentang adegan panas yang dia lakukan dengan teman kencannya denganku. Tapi aku tidak menyangka jika dia akan mengatakan hal seperti itu tentang Edgar. "Kenapa, Karisa. Apa yang salah?" Dia tertawa, tampak geli saat melihat reaksiku. "Reaksimu sangat berlebihan." "Sangat tidak sopan berkata seperti itu tentang guru kita." Protesku membuatnya kembali berguling kesamping untuk menatapku. "Aku hanya mengatakan sesuai fakta." Jawabnya santai seolah itu adalah hal yang biasa. Dia kembali menatap layar ponselnya, dan sementara aku menatap langit-langit kamar diatas sana, menghela napas kasar. Saat Tania membicarakan Edgar, tentu aku langsung teringat dengan Denish Kellan, dan itu membuatku sangat tidak nyaman. "Tetap saja, kita harus menghormatinya sebagai guru. Lagi pula dia terlalu tua." Gumamku pelan, disambut dengan suara nyaring dari gadis disampingku. "Hey!" Kali ini Tania yang protes, membuatku menoleh untuk menatapnya. "Ku beritahu ya, Karisa." Tania sok pintar lagi seperti biasa. "Umur itu hanya masalah angka. Lagi pula laki-laki dewasa itu lebih berpengalaman." Dia menyeringai aneh di sudut bibirnya. "Sejak kapan kau memiliki pikiran mengerikan seperti itu?" Aku pura-pura bergidik ngeri mendengar pernyataan aneh dari Tania. Ya, hanya pura-pura. Karena faktanya, aku juga merasakan hal yang sama seperti yang tengah Tania rasakan. Tentu bukan dengan Edgar, aku menyukai pria dewasa yang lain. "Sejak semalam. Setelah aku perhatikan ternyata pria dewasa itu sangat keren." Dia meletakan ponsel ditangannya ke ranjang. "Dia bisa membuatku sangat bernapsu hanya dengan membayangkannya saja." "Yaak, perkataanmu sangat keterlaluan." Tegurku membuat Tania kembali tertawa. "Berhenti bersikap naif, Karisa. Aku tahu apa yang kau pikirkan tentang Denish." Dia tersenyum nakal kearahku. "Apa yang aku pikirkan?!" Sahutku galak tidak terima, membuat Tania tertawa lalu meraih wajahku. Apa dia tahu sesuatu tentang perasaanku kepada Denish? Tidak, tidak mungkin. Aku tidak pernah membagi perasaanku dengan siapapun. Aku benar-benar merahasiakannya. "Wajahmu selalu berubah saat aku menyebut nama Denish." Goda Tania lagi membuatku memalingkan kembali wajahku darinya dengan cepat. "Apa ada sesuatu yang tidak aku tahu?" "Tidak ada.." jawabku malas dan memilih untuk membelakanginya. "Berbicara tentang Denish, apaa dia memiliki hubungan khusus dengan Stefani?" Tania yang bertopang dagu tampak berpikir keras. "Mereka terlihat sangat dekat sejak kita SMA." Menghela napas, otakku langsung berlayar memikirkan perkataan Tania. Tidak hanya Tania, aku juga memikirkan hal yang sama tentang mereka. "Hey! kita hanya perlu berjalan lurus?" Protes Tania saat mengikutiku mengambil jalan memutar saat akan ke taman belakang sekolah. "Kau bisa lurus, Tania. Aku tidak memintamu untuk mengikutiku." Sahutku santai, membuat gadis yang masih berjalan disampingku itu mencebikan bibirnya. "Kenapa sih? Kau aneh sekali akhir-akhir ini. Terjadi sesuatu?" "Tidak ada." "Masih saja tidak mau jujur." Protes Tania cemberut, berjalan cepat dengan kaki terhentak ke lantai, menunjukan jika dirinya marah atas sikapku. "Heyy." Aku segera menyusul langkah Tania. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin mengambil rute yang berbeda dari biasanya." Aku memberi alasan saat sudah kembali berjalan di sampingnya. "Menurutmu aku akan percaya?" Dia balik bertanya, menatapku dengan kesal "Alasanmu sangat tidak masuk akal, Karisa. Lagi pula kau pembohong yang payah." Tuduhnya lagi, seolah dia tahu segalanya. Sekarang giliran aku yang merengut. "Jadi kau ingin aku jawab apa jika memang benar-benar tidak ada yang terjadi?" "Ya, terserah lah. Dan jangan dekat-dekat dengan ku!" Acam Tania lagi sebelum akhirnya kembali menghentakan kakinya dan berjalan cepat meninggalkanku. Aku menarik napas panjang, menatap punggung Tania yang semakin jauh meninggalkanku. Ya, dia benar, aku sangat payah dalam berbohong. Dia benar, yang aku katakan tadi hanyalah omong kosong. Karena akar masalah sebenarnya adalah Denish. Guru sekaligus wali kelasku. Sejak kejadian itu, aku memutuskan untuk menghindari Denish. Walaupun tidak bisa aku lakukan sepenuhnya menghindar, karena aku tidak mungkin untuk membolos di jam pelajarannya. Tapi aku berusaha untuk menghindari pertemuan langsung dengan Denish secara personal. Aku tidak ingin ke ruang guru lagi, bahkan terlalu enggan untuk lewat di bagian depannya. Dan tadi, aku melihatnya tengah berbincang dengan kepala sekolah di depan perpustakaan, yang membuatku memilih untuk mengambil rute memutar, dan menyebabkan Tania marah. Haruskah aku jujur saja kepada Tania? Kalau saat ini aku sedang menghindari Denish? Jika aku jujur, dia pasti akan bertanya alasan sebenarnya kenapa aku menghindarinya. Lalu aku harus menjelaskan jika sebenarnya aku menyimpan rasa untuk guruku sendiri. Dan dia akan semakin heran kenapa aku menghindarinya. Lalu memaksaku untuk bercerita. Dan mau tidak mau aku harus menceritakan jika aku melihat Denish b******u di ruangannya dengan Stefani. Setelah aku menceritakan semua itu ke Tania, aku tidak bisa menjamin jika dia akan tutup mulut sepenuhnya. Bisa saja dia tidak sengaja menceritakan semua itu ke salah satu temannya. Lalu gosip menyebar. Petinggi sekolahan mendengar, dan langsung mendepak Denish dan Stefani keluar dari sekolahan karena dianggap tidak profesional. Astaga! Itu jelas bukan ide yang bagus. Aku bisa menghancurkan karir seseorang dengan mulutku. Aku masih disibukan dengan pikiraku sendiri saat suara bariton itu membuatku tersadar sepenuhnya. "Sampai kapan kau berniat menghindariku, Karisa?" Pria itu bersandar di tembok, dengan tangan bersedekap di d**a. Aku mematung ditempatku berdiri saat dia mulai menegakan tubuhnya, lalu melangkah mendekat. "Tidak ada yang menghindar." Kataku setelah menemukan suaraku, melanjutkan langkahku, melewatinya. Namun langkahku segera terhenti saat tangannya mencengkram pergelangan tanganku, menarikku hingga kembali menghadapnya. "Apa yang kau lihat?" Tanya Denish menatapku tajam. Sorot matanya lain dari biasanya. Jelas dia sedang marah sekarang. Jadi dia tahu aku disana? "Bukan urusan anda, Mr. Kellan. Apapun yang aku lihat, itu urusanku." Aku memutuskan untuk membalas tatapan matanya, dan menyentak lepas tangannya dari pergelangan tanganku, berusaha untuk tidak terlihat lemah. Aku tidak marah dengan apa yang dia lakukan. Karena yang mereka lakukan itu sama sekali bukan urusanku. Mereka berhak melakukannya, dan aku tidak masalah. Apa aku salah jika tidak ingin melihatnya lagi? Berusaha membuang perasaanku selama ini? "Jelas itu urusanku." Dia kembali meraih tanganku, tidak mengijinkan aku pergi. "Jelaskan apa yang kau lihat di ruang guru." Tegasnya sekali lagi, dengan nada yang biasa dia keluarkan untuk mengomeli muridnya yang bermasalah. Menyebalkan. "Tidak ada, aku tidak melihat apapun." Aku menghela napas, menatapnya tidak percaya. "Anggap saja aku tidak pernah berada disana. Dan aku tidak akan mengatakan kepada siapapun." Janjiku sungguh-sungguh. Dia menyisir surai hitamnya kebelakang. Menatapku gusar. "Menurutmu itu yang aku khawatirkan?" Dia bertanya tidak percaya. "Kau salah paham, Karisa.." jelasnya setengah frustrasi, membuatku tertawa dalam hati. "Itu tidak seperti yang kau lihat." "Iya, anggap saja seperti itu." Aku tersenyum. "Bisa aku pergi sekarang?" Pintaku sekali lagi dan melepaskan tanganku dari genggamannya, berjalan cepat meninggalkannya. Berlama-lama di dekatnya bisa membuatku gila! "Apa kau benar-benar sudah menyerah?" Pertanyaan itu sukses menghentikan langkahku, menoleh, menatap tidak percaya kearah pria yang masih berdiri di tempatnya itu. "Menyerah untuk apa?" Denish maju dua langkah, lalu kembali meraih tanganku. "Lebih baik kita bicarakan ini di tempat lain." Tanpa aba-aba dia mulai menarikku dari lorong, menuntunku ke antah berantah. Aku memprotes tindakannya yang semena-mena. Memintanya itu untuk melepaskan aku, dan membiarkanku pergi. Tapi dia sama sekali tidak mendengarkan. Dan disinilah kami sekarang, berada di bangku taman samping sekolah. Tempat ini tidak seramai taman belakang, selain terletak cukup jauh dari kelas, tidak ada yang spesial dari tempat ini. Hanya ada pemandangan rumput dan bunga. Jika ada pemandangan indah dari para murid tampan, kenapa aku harus makan sambil menatap rumput gersang? Itu yang selalu dikatakan oleh Tania saat aku mengajaknya makan siang di tempat lain selain taman belakang sekolah. Disana sangat ramai, dan keramaian membuatku tidak nyaman. Memikirkan tentang Tania, dia pasti akan sangat marah saat tahu aku tidak menyusulnya. Tapi kan tadi dia juga yang memintaku untuk berjaga jarak. Terseralah lah. Lagi pula, aku cukup senang berada di sini. Sepi, tenang, dan nyaman. Tempat yang sangat pas untuk makan siang. Namun ada satu hal yang membuatku terganggu. Sepasang mata tajam milik seorang pria yang duduk di hadapanku itu sangat menganggu. Dan dari gerak-geriknya, aku tahu kalau aku ditarik kemari untuk sekedar makan siang. "Tidak bisakah anda berhenti menatapku, Mr. Kellan?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Mulai membuka kotak bekal makan siangku, mencoba mengalihkan rasa gugup di dadaku. "Tidak." Sahut dia santai tanpa merasa bersalah. "Anggap saja aku tidak berada disini." Aku menghela napas panjang, menatapnya tidak percaya. "Bagaimana bisa aku menganggapmu tidak ada, sementara jelas-jelas anda duduk dihadapanku dengan begitu nyata!?" Kesalku malah ditanggapi dengan tawa oleh pria sialan itu. "Itu yang ingin aku katakan kepadamu tadi." Ucapnya setelah tawanya reda, membuat dahiku mengerut dalam, menantikan kata-kata selanjutnya. "Bagaimana aku bisa menganggapmu tidak ada, sementara kau jelas-jelas ada disana." Wajahnya kembali serius, dengan mata gelap yang menatapku tajam. "Aku tidak paham dengan apa yang anda bicarakan, Mr. Kellan." Aku memutuskan untuk kembali fokus ke kotak bekal makan siangku. Mengaduk-aduk isinya tanpa berniat untuk memakannya, napsu makan menghilang entah kemana. "Itu tidak seperti yang kau pikirkan, Karisa." Dia mengulangi kata-kata itu lagi, seolah aku adalah gadis polos yang bisa dia bodohi begitu saja. "Anda tidak tahu isi pikiranku, Mr. Kellan." Aku mengingatkan. "Kau benar, kalau begitu jelaskan apa yang kau lihat, apa yang kau pikirkan." "Haruskah?" Sahutku acuh tidak berminat. "Ya, kau harus. Katakan apa yang kau lihat." Pintanya setengah memaksa. "Kenapa aku harus menjelaskan?" Aku sama sekali tidak paham. "Kau takut aku membocorkannya kepada yang lain?" Denish menghela napas, tampak frustrasi dengan jawabanku. "Tenang saja, aku tidak berniat untuk memberitahu siapapun." Kataku menenangkan. Dia mengerang tidak jelas beberapa saat, tampak gusar menghadapiku. "Begini saja." Dia kembali berbicara. "Aku yang akan bertanya, kau cukup menjawabnya, iya atau tidak. Oke?" "Terserah." Dia menegakan posisi duduknya, matanya lurus menatapku dalam. "Kau melihatnya?" Dia memulai dengan hati-hati. "Aku dan stefani di ruang guru?" Alisnya naik satu saat mengatakan itu. "Ya." Jawabku singkat, malas. "Apa yang kau lihat?" "Hey, kau bilang aku tidak perlu menjelaskannya!" Protesku cepat dan Denish tersentak, membuatku langsung sadar betapa kasarnya aku berbicara. "Maksudku, anda bilang aku tidak perlu menjelaskan itu." Ralatku kemudian, sedikit merasa bersalah. "Oke, itu salahku." Dia mengalah. "Sudah, kan? Aku akan kembali ke kelas." Tanyaku sambil menutup kotak bekal makan siangku yang masih bisa dibilang utuh. Sayang sekali, padahal tadi aku merasa sangat lapar, dan pria yang sekarang duduk di hadapanku ini membuat napsu makanku langsung hilang. "Tentu saja belum, masih banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan." Katanya menghentikan tanganku yang akan memasukan makan siangku ke kantong kertas. "Apa lagi?" Aku menatapnya kesal setengah mati. "Oke, biar aku jelaskan." Dia menatapku dengan tertarik. "Kejadian itu sama sekali bukan urusanku, Mr. Kellan. Kalian berhak melakukan apapun itu, aku tidak peduli. Dan sumpah demi Tuhan aku tidak akan mengatakan kepada siapapun." Kataku dalam satu tarikan napas. "Kau puas dengan ini? Bisa aku pergi sekarang?" "Kalau kau tidak peduli, kenapa kau menghindariku?" "Itu urusanku!" Aku bangkit dari dudukku setelah selesai mengemas bekal makan siangku. Berniat untuk pergi dari sana. "Urusanmu adalah urusanku juga." Dia ikut berdiri, membuat darahku naik hingga ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku berteriak keras di depan wajahnya, meneriakinya dengan kata-kata kasar atas kelakuannya yang sangat menyebalkan. Astaga, bisa-bisanya aku memiliki rasa dengan pria tidak bermoral seperti ini? Sepertinya aku sudah kehilangan akal sehatku sebelumnya. "Sebenarnya apa yang anda ingin katakan?" Aku masih berusaha bersikap sopan, bagaimanapun juga dia tetap guruku, wali kelasku yang harus aku hormati. "Banyak. Kau tahu itu." Jawabnya santai menyimpan satu tangannya ke saku celana bahan yang dia gunakan. "Oke, kita bisa membicarakannya lain waktu. Aku akan kembali ke kelas. Aku rasa bel akan berbunyi sebentar lagi." Kataku sambil melirik kearah jam di pergelangan tanganku. Dan aku benar, waktu istirahat akan berakhir sebentar lagi. "Aku ingin menyelesaikannya sekarang." dia bersikeras. Membuat mataku melebar, menatapnya tidak percaya. "Maka selesaikan. Apa anda sadar, yang anda lakukan sejak awal hanyalah berputar-putar dengan pertanyaan tidak petingmu itu tanpa ada intinya?" "Duduklah. Aku akan mulai berbicara" Pintanya memaksaku untuk kembali duduk, mau tidak mau aku menurutinya. "Jadi kau melihat itu, kan." Dia kembali ke pertanyaan awal kami. "Apa yang kau lihat itu tidak seperti yang kau bayangkan, Karisa." Dan untuk ketiga kalinya dia mengatakan kata-kata itu. "Oke, anggap saja begitu." Aku mengalah karena ingin pergi dari tempat ini cepat-cepat. "Bukan anggap saja seperti itu, memang kejadiannya seperti itu." Protes pria itu kesal, membuatku tertawa. "Kau selalu bersikap seperti itu tanpa memberiku kesempatan untuk menjelaskan semuanya." Dia pikir aku disini untuk apa? Mendengarkan dia bernyanyi opera? "Jelaskan, aku akan mendengarkan." Kataku mempersilahkan. "Dengarkan." Perintahnya lagi dengan nada rendah. "Waktu itu.. saat Stefani melakukan itu. Apa aku meresponnya?" Aku terdiam, terlalu malas untuk melihat kembali ke belakang. Itu terlalu menyakitkan. Dan memuakkan. "Jika kau tidak tahu. Maka aku yang akan memberitahumu. Aku tidak, aku sama sekali tidak merespon Stefani." Terangnya membuat alisku naik, apa ini sebuah pembelaan? Tapi untuk apa? Kenapa dia berusaha menjelaskan perasaannya kepadaku. Aku berdeham, berusaha menemukan suaraku yang mendadak hilang. "Tapi aku lihat anda juga tidak tampak keberatan, Mr. Kellan." Aku memutuskan untuk menyerangnya lagi. "Haruskah aku mendorongnya hingga terjungkal?" Denis balik bertanya dengan gusar. Sebelum aku menjawab, dia sudah kembali berbicara. "Intinya, aku memang tidak bisa memaksamu untuk percaya sepenuhnya. Tapi aku ingin kau tahu, aku dan Stefani tidak terlibat dalam hubungan pribadi. Seperti yang ada di pikiranmu." Mataku membulat mendengar penyataan tidak terduga dari pria dihadapanku. "Ke-kenapa anda menjelaskan masalah pribadimu kepadaku?" Tanyaku setelah mengerjapkan mataku beberapa kali. "Apa aku terlihat ingin tahu?" Lanjutku dengan nada sok acuh. "Tidak, aku hanya tidak ingin kau sedih." Mataku kembali melebar saat mendengar jawabannya. "Yak! Kenapa aku harus bersedih?!" Suaraku meninggi, tidak terima. Dan dia tertawa. "Aku pria dewasa yang cukup peka, Karisa." Katanya kalem masih dengan senyum manis di bibirnya. Apa maksud dari perkataannya? Apa dia tahu tentang perasaanku selama ini? Astaga! Tidak, tidak! Aku harus cepat pergi dari sini. "Terserah lah, aku akan ke kelas." Tegasku cepat, lalu berdiri bersamaan dengan suara bel tanda waktu istirahat telah habis. Akhirnya aku terselamatkan! "Siapa bilang kau boleh pergi?" Alisnya naik, tangannya kembali meraihku. "Duduk." Perintahnya lagi, untuk kedua kalinya, menarikku untuk kembali duduk. "Apa lagi?" Aku protes menatapnya. "Anda tidak mendengar suara bel?" "Santai saja, lagi pula pelajaranmu selanjutnya itu aku." Sahutnya santai, membuatku mengingat-ingat jadwalku hari ini, dan benar, pelajaranku selanjutnya adalah bahasa inggris, dan dia gurunya. "Tetap saja.." protesku yang segera dipotong oleh suaranya. "Aku ingin kau makan bekal mu." Dia merebut kantung kertas dari tanganku, lalu membukanya. Meletakan kotak bekalku di sela kosong diantara kami. "Makan." Dia terlalu banyak memerintah. "Beri aku satu alasan kenapa aku harus menuruti perintah anda, Mr. Kellan." Denish memiringkan wajahnya sebentar, tampak berpikir sebentar sebelum akhienya kembali menatapku dan menjawab. "Aku guru sekaligus wali kelasmu." "Jika anda guru dan wali kelasku, tentu anda tahu jika terlambat kembali ke kelas itu bukan tindakan yang terpuji, Mr. Kellan." Aku menyanggah alasan tidak masuk akalnya dengan cepat. "Karena aku pria yang kau suka. Bagaimana? Apa ini bisa diterima?" Wajahku panas, dan pasti sekarang sudah merah padam. Fakta Denish mengetahui semuanya, membuatku sangat malu. Sejak kapan dia mengetahuinya? Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Apa semua tergambar jelas di wajahku? Astaga! Aku masih tercengang saat Denish menaruh sendok ditanganku, memaksaku untuk memegangnya. "Makan lah." Dia mempersilahkan. "Apa kau ingin aku menyuapimu?" Tanya dia lagi saat aku tidak merespon ucapannya, mengambil sendok itu dari tanganku. Dan kesadaranki yang semlat hilang langsung pulih karenanya. "Tidak, tidak." Tolakku cepat, merebut kembali sendok dari datangannya. " aku akan makan." Ucapku cepat-cepat menyendok makananku dari kotak bekal, dan langsung memasukannya ke mulut. "Bagus." Dia memujiku, dan tangannya terulur kearahku, mengacak rambutku gemas. "Cepat makan, atau kita akan semakin terlambat ke kelas." Sementara tubuhku menegang karena sentuhan singkat darinya. Denish memilih untuk menatap ke arah lain, seolah tahu jika aku merasa tidak nyaman jika terus di perhatikan. Berusaha mengunyah makan siangku yang terasa hambar, aku mendesah pelan. Aku sama sekali tidak bisa menikmati makan siangku. Ini salah, sangat salah. Reputasiku cukup bagus di sekolah, menjadi murid terpandai di kelas dan selalu tepat waktu. Namun sekarang aku disini, makan siang saat jam istirahat sudah berakhir, membuatku sangat tidak nyaman. Menyuapkan kembali makan siangku ke mulut, mataku melirik Denish yang masih menatap kearah lain. Dia duduk dengan kaki bersilang, salah satu tangannya berada di sandaran bangku taman. Surai hitamnya dimainkan oleh angin yang berhembus sedang. Dan wajahnya yang miring menampilkan rahangnya yang kokoh beserta bagian wajah yang begitu sempurna walau dilihat dari samping. Matanya tajam, hidung mancung, bibir tipis yang sekarang hanya membentuk sebuah garis yang..., "Sampai kapan kau akan terus menatapku?" Aku menundukan kepala cepat, tertangkap basah, sangat memalukan. Rasanya aku ingin mengali tanah di bawahku dan mengubur diri hidup-hidup saja! "Butuh bantuan? Bisa aku meminta udang goreng itu?" Pintanya menunjuk kearah udang goreng yang menjadi salah satu menu di kotak bekal makan siangku. "Anda mau?" "Ya, jika kau tidak keberatan." Aku menyodorkan kotak bekal makan siangku kearahnya, membuat matanya memicing saat menatapku. "Kau ingin aku mengambilnya langsung dengan tangan?" Dahinya berkerut dalam saat bertanya. "Lalu aku harus bagaimana?" Aku balik bertanya tidak paham. "Suapkan kepadaku." "What?!" "Suapkan kepadaku, Karisa. Kenapa kau tiba-tiba menjadi bodoh begini." Sarkasnya membuat mataku melebar. Dia baru saja mengataiku bodoh? Astaga! "Cepat, atau kau memang sengaja mengulur waktu sampai jam pelajaranku habis?" "Anda yang memaksaku untuk makan, Mr. Kellan." Kataku memperingatkan atas tuduhan tidak maksud akalnya, menyendokan udang goreng yang dia minta dan menyodorkan ke depan mulutnya. "Ini." "Ck! Kasar sekali." Dia berdecih, lalu melahab udang yang aku berikan. "Berbicara tentang makan siang." Dia berbicara lagi setelah mengunyah udang di mulutnya, membuatku mengangkat wajah untuk menatapnya. "Bekal yang kau berikan kepada Edgar itu sebenarnya untukku, kan?" Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan tidak terduga dari Denish. Untung saja aku bisa mengendalikan diriku dengan cepat. "Kenapa aku harus memberikannya kepada Anda, Mr. Kellan?" Tanyaku berusaha bersikap setenang mungkin. Walau faktanya jantungku berdegup sangat keras. "Ya, tidak ada alasan. Hanya saja ibumu menelponku, bertanya apa aku menikmati makan siang buatannya." Jawabnya santai, membuat mataku melebar. "Benarkah? Lalu apa yang kau katakan?" Tanyaku panik membuat matanya yang tengah menatapku bersinar geli. "Aku hanya bilang jika anaknya terlalu cemburu kepadaku, dan memberikannya kepada orang lain." "YAKKK!" Tawa Denish pecah, lalu kembali mengodaku di sela tawanya. "Lihat, wajahmu memerah lagi, Karisa." "Karisa?!" Goncangan keras pada tubuhku menarikku sadar dari lamunan panjang. Disusul oleh suara Tania yang memanggilku dengan suara keras. "Kenapa?" Aku menoleh untuk menatapnya. "Kenapa?" Dia terlihat tidak terima dengan pertanyaan yang aku berikan. "Aku memanggilmu berapa kali tapi kau tidak mendengarnya?" Protesnya menatapku tidak percaya. "Aku mendengar.." aku mengelak cepat. "Mendengar katamu? Jelas kau tidak." Sudah tahu, tapi tetap saja bertanya. "Apa yang kau pikirkan sampai hilang kesadaran seperti itu?" Dia mulai mengamati wajahku, menatapku curiga sebelum akhirnya kembali membuka mulutnya. "Wajahmu memerah.." Sialan! "Berhenti bicara sembarangan!" Peringatku sambil memalingkan wajahku kearah lain. "Yaa, Karisa. Apa yang kau pikirkan sampai wajahmu memerah seperti itu.." Tania menyenggol tubuhku, tidak ada niat untuk berhenti bertingkah menyebalkan. "Aku tidak paham apa yang kau bicarakan." "Kau sangat nakal ternyata, ya.." "Berhenti menduga-duga, Tania!" Kataku kesal menyulut tawa gadis itu. "Kenapa kau sangat marah?" "Aku tidak marah!" "Jelas kau marah.." "Terserah lah!" "Kau sangat lucu, Karisa." Tania tertawa keras. Tanganya memukul-mukul ranjang berlebihan. "Seharusnya kau melihat wajahmu sendiri sekarang." TBC Updateee.. semoga kalian suka dengan cerita My Sweet Teacher.. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD