BAB 1. Petaka Di Malam Salju
Perempatan Oxford Street, 28 Desember 2005
“Awas! Robert!”
Robert mengikuti arah pandangan istrinya, dan seketika kedua matanya melotot karena terkejut. Klakson panjang dibunyikan, tapi tak memperlambat sedikitpun laju mobil minibus hitam itu. Yang jelas sedang dengan sengaja menuju ke arah mobil mereka.
“Emma, berpeganganlah!” Akhirnya hanya itu perintah yang keluar dari mulut Robert Delwyn, di detik terakhir sebelum tabrakan dahsyat itu terjadi.
Emma Carrie sempat menoleh ke kursi belakang, di mana anak semata wayang mereka sedang tidur memeluk boneka teddy bear kesayangan. Tangan kiri Emma terulur ke belakang untuk menyentuh putrinya, tapi detik itu juga ia justru terdorong dengan sangat kuat. Hingga tangannya itu terbentur jok kursi dan terdengar bunyi … krak!
Mungkin tangannya itu telah patah, Emma tak ingat apa-apa sebab kepalanya sendiri telah menghantam kaca jendela dengan kencang hingga ia tak sadarkan diri.
Prang! Suara pecahan kaca bersamaan dengan suara keras lainnya dari badan mobil yang terguling menghantam aspal jalan.
“Arghh!” Robert Delwyn tampak mengerang lemah, dengan posisi duduk yang terbalik. Sebab mobilnya sendiri sudah terbalik setelah berguling-guling sebanyak tiga kali di aspal keras berlapis es salju.
Seseorang mengintai dari jarak yang cukup aman, terhalang oleh mobil lainnya yang sedang parkir di sisi jalan. Ia mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi seseorang.
“Bos, misi selesai.”
“Dokumentasikan!” perintah seseorang bersuara berat dari seberang telepon.
Segera, pengendara minibus hitam itu, mengirim foto dan video kepada orang yang telah ia hubungi.
Namun, tak lama kemudian, ia justru dihubungi balik, oleh orang yang sama.
“Sial! Kau membunuh mereka, Ruben?!” Suara itu terdengar cemas dan penuh penekanan.
“Iya, Bos. Sesuai dengan perintah.”
“Dasar bodoh! Dan lihat baik-baik, ada seorang anak kecil di sana!”
“A—anak kecil, Bos?”
“Aku tidak mau tahu. Urus anak itu, jangan sampai mengacaukan semuanya. Dan kau sendiri telah mengacaukan perintah yang kuberikan. Ruben, lihat dalam foto dan video yang baru saja kau kirim!”
Lalu sambungan telepon ditutup begitu saja. Ruben Scirloc menyimpan kembali ponselnya. Lalu dia turun dari mobil, melihat sekeliling yang masih sunyi di jalan itu. Sedangkan di depan sana, beberapa orang mulai mendekat pada mobil yang terbalik.
Pria itu memicingkan kedua mata, menajamkan penglihatan. Dan betapa terkejutnya dia, ketika melihat seorang anak kecil perempuan, sedang duduk menekuk lutut, sambil memeluk sebuah boneka berwarna coklat.
Posisi anak itu sekitar tiga meter dari mobil sedan naas yang mulai mengeluarkan asap. Dia tidak menangis, kemungkinan besar karena shock. Dari jarak itu, Ruben dapat melihat luka di pelipis sang anak dan juga di kedua tangannya.
“Hei, mobilnya mau meledak!” seru seseorang di sana.
“Cepat keluarkan mereka berdua!” timpal yang lain dengan panik.
“Tidak bisa! Mereka terjepit kursi. Tolong bantu aku!”
“Tidak ada waktu! Tinggalkan mereka atau kau akan ikut mati!”
Semua yang ada di sana seperti hanya fokus pada mobil yang terbalik. Dan dua orang yang masih terjebak di dalamnya. Sepertinya tak ada satu orangpun yang menyadari bahwa ada korban lain yang masih hidup. Lagipula tak ada suara yang terdengar sedikitpun dari anak itu.
Tengiang perintah dari bos besar, bahwa ia harus membereskan anak itu. Maka Ruben tak membuang waktu. Secepat kilat ia berlari menuju anak perempuan yang masih terduduk lemas di tepi jalan yang temaram dan dingin.
Digendongnya anak itu dan segera disembunyikan dalam jubah panjang hitam yang ia kenakan. Setelah yakin situasi aman, Ruben kembali berlari menuju mobilnya. Bersamaan dengan orang-orang di sekitar yang juga ikut lari dengan panik.
Detik kemudian, terdengar bunyi ledakan hebat di belakang Ruben. Percikan api dan juga beberapa benda kecil terlempar dari mobil sedan itu. Dan lagi, terdengar ledakan kedua.
Segera, Ruben menjalankan mobil, meninggalkan tempat itu. Ia sempat melihat ke belakang melalui kaca spion dalam. Targetnya malam ini hangus terbakar di tengah perempatan Oxford Street. Lalu melihat ke arah kursi belakang. Cukup gelap memang, tapi Ruben dapat merasakan gadis kecil itu sedang gemetaran. Terdengar ringisan yang halus dan tertahan.
“Ah, sial! Mau kuapakan anak ini?!” Pikiran Ruben tiba-tiba kalut.
Tentang anak itu, adalah benar-benar di luar rencana. Dia pikir, di dalam mobil hanya ada Robert Delwyn bersama sang istri. Sebab berdasarkan penyelidikannya selama tiga hari kemarin, Ruben mengetahui bahwa anak tunggal pasangan itu, akan menginap di rumah sang nenek di desa Shere Karena, Surrey.
Entah mengapa, tiba-tiba anak itu ternyata malah ikut dengan kedua orangtuanya pada acara malam ini. Dan hal itu sungguh luput dari pengawasan Ruben. Entah hukuman apa yang akan diterimanya nanti dari sang bos besar. Ruben bergidik takut membayangkannya.
Sementara itu, di sebuah mansion mewah di Kawasan Belsize Road. Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun sedang membelalakan mata tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.
“Ruben Scirloc bodoh! Sudah kubilang ini tugas penting, malah dia buat masalah baru! Besok semua surat kabar pasti akan ramai dengan berita meninggalnya pasangan broker terkenal di London. Dan sekarang, aku harus membungkam banyak mulut. Huffttt … sial! Ruben sialan!” Tampak seorang pria berusia 40 tahun sedang duduk menghadap pada layar laptop di atas meja kerjanya. Sejak tadi tak habis-habis mengumpat pada salah satu orang kepercayaannya. Yang baru kali ini mengerjakan tugas dengan melakukan dua kesalahan sekaligus.
Pria itu tak mengira sama sekali, jika putranya ikut menyaksikan layar laptop dari belakang punggungnya. Anak 10 tahun itu adalah Vince Reviano Albern, yang sedang mengintip dari celah kecil di dalam lemari, tempat ia bersembunyi malam ini.
Vince gemetar, bukan karena mendengar umpatan papanya dari tadi. Itu adalah hal yang sudah biasa baginya. Namun, baru kali ini ia melihat pemandangan mengerikan, dari layar laptop sang papa. Dan pada usianya, ia sudah bisa menyadari, bahwa sang papa terlibat dengan pembunuhan sadis itu.
“Anak itu masih hidup,” desisnya pelan.
Ketakutan dalam diri Vince, tak ubahnya Ruben Scirloc saat ini. Berulang kali ia mengusap wajahnya dengan kasar. Pesan terakhir yang ia baca dari sang bos adalah, nasib anak perempuan malang itu ada di tangan dirinya.
Hanya ada dua pilihan. Membunuh anak itu lalu ia akan mendapat tambahan bayaran yang cukup tinggi. Atau mengurus sendiri anak itu, tapi jangan pernah terlihat di tempat umum, dan si bos tak kan memberikan uang sepeser pun untuk biaya hidup anak itu.
“Sa—kit.” Terdengar rintihan pelan dari kursi belakang.
Ruben tersentak dari lamunannya. Saat itu juga lampu terang menyorot ke arah matanya disertai suara klakson panjang.
“Argh!” Refleks Ruben membanting stir ke kanan, hingga terdengar suara gesekan antara pinggir mobil dengan trotoar.