Rania yang tanpa sengaja meredupkan senyuman di bibir kakaknya langsung berlari mengambil remote di tangan Ahana. "Dia sepertinya seumuran dengan Kakak. Kakak tampan itu lebih cocok denganku saja," oceh Rania yang memang suka sekali berebut apa pun dengan Ahana.
Ahana hanya bisa diam tak bisa berkata apa pun lagi karena ia tahu, ayahnya pasti akan membela sang adik.
"Kalian masih kecil, jangan berpikir terlalu jauh," ujar Indah memeluk kedua putrinya bersamaan.
Hari ini tepat ulang tahun Rania. Pesta ulang tahun anak kedua dari Edi itu dirayakan begitu besar karena tahun ini adalah ulang tahun yang ke 9 tahun untuk Rania.
Dekorasi pesta yang serba berwarna merah muda, souvernir yang juga bernuansa Mickey dan Minnie Mouse, serta kue tart yang juga berwarna pink berbentuk karakter Minnie Mouse, sama seperti souvernirnya.
Mereka semua yang hadir dari kalangan anak-anak orang penting perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan milik keluarga Sucipto dan beberapa rekan kerja dari Indah semasa perempuan itu masih bekerja sebagai sekretaris.
Seorang tuan muda entah dari keluarga mana, mulai melenggangkan kakinya masuk ke dalam ruang pesta.
Tuan muda tampan itu kini duduk di kursi bagian depan, cukup dekat dengan meja yang ditempati kue tart dan beberapa pernak-pernik lainnya.
Ada banyak meja berbentuk lingkaran dengan posisi kursi yang ditata mengikuti bentuk mejanya.
Semua itu dilakukan, agar para keluarga dari masing-masing anak bisa hadir di acara pesta tersebut.
Selagi menunggu persiapan bintang utamanya selesai, tuan muda tampan yang sedari tadi menjadi sorotan para nona muda di ruangan tersebut berdiri.
"Mau ke mana, Elang?" tanya sang ibu yang sudah duduk di kursinya.
"Aku ingin mencari udara segar, Mom!" tutur Elang.
Pewaris muda itu langsung pergi meninggalkan ibu dan ayahnya yang hanya bisa menghela napas pasrah.
Elang Bimantara sebenarnya sudah berumur 15 tahun dan bukan waktunya ia datang ke tempat seperti itu. Namun, karena keluarga Bimantara hanya memiliki seorang putra, mau tak mau Elang wajib datang sebagai perwakilan dari keluarganya.
"Hah, tenang sekali saat berada di sini," gumam Elang yang duduk di kursi santai taman keluar Sucipto.
Sorot mata elangnya membidik bintang di langit yang begitu indah bagai lampu kecil yang menghiasi gelapnya langit malam.
Bukan hanya namanya saja yang begitu gagah perkasa, Elang Bimantara juga memiliki tatapan yang begitu tajam, sama seperti namanya.
Cukup lama menghirup udara segar, cuaca seketika tak bersahabat, rintik hujan mulai jatuh ke bumi.
Elang menundukkan kepalanya dengan tangan yang ia letakkan di atas kepala sebagai pengganti payung untuk sementara.
"Kenapa bisa tiba-tiba turun hujan begini," keluh Elang.
Anak muda itu berlari tanpa melihat ke arah jalan di depannya.
Tiba-tiba suara benturan benda keras terdengar dan ternyata tubuh Elang sudah jatuh ke rerumputan di taman tersebut.
"Kakak tidak apa-apa?" tanya seseorang yang suaranya terdengar seperti seorang gadis.
Lampu yang awalnya menerangi taman itu, kini mati bersamaan dengan sambaran petir yang begitu memekakkan telinga.
Tak ada sahutan dari Elang, tuan muda itu hanya diam karena kilatan petir yang menyambar secara tiba-tiba dan membuatnya terkejut.
Berbeda dengan gadis yang berbenturan dengan Elang yang tak lain adalah Ahana.
"Lengan Kakak berdarah," ujar gadis itu terkejut.
Ahana tanpa permisi langsung menggulung jas dan kemeja yang digunakan Elang begitu saja.
Tak hanya itu saja kegilaan yang dilakukan oleh Ahana, gadis berumur 14 tahun tersebut tanpa ragu merobek pita bajunya.
"Untuk apa kau mer-"
"Kakak diam saja jangan banyak berbicara, lengan kakak terluka dan aku harus menghentikan pendarahan ini lebih dulu," celetuk Ahana memotong pembicaraan Elang.
Pria itu tak dapat melihat wajah penolongnya dengan sangat jelas karena saat ini tak ada sinar yang bisa memperlihatkan seperti apa rupa gadis itu.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, lampu yang awalnya padam, kini kembali hidup.
Bersamaan dengan Ahana menoleh ke arah tempat terselenggaranya pesta, Elang sepersekian detik melihat ke arah Ahana. Namun, gadis itu sudah menghilang entah ke mana.
"Ke mana perginya gadis tadi," gumam Elang celingukan.
Arah tatapan pemuda itu tak sengaja tertuju ke arah batu yang mengenai bagian lengannya saat tadi terjatuh.
"Pantas saja sampai berdarah begini, batunya cukup tajam ternyata." Elang bergumam seraya berdiri melihat ke arah ruang pesta yang sudah kembali bersinar terang.
Ahana berlari ke arah kamarnya dengan tangan yang sedikit mengangkat dress yang ia kenakan.
Raut wajah sedikit cemas terpancar jelas saat gadis itu berlari ke arah kamarnya.
Setelah berada di depan pintu kamar, Ahana langsung membuka pintu itu dan berlari ke arah lemari pakaian yang sudah tergantung berbagai macam model gaun pesta yang begitu cantik.
Tanpa banyak pikir, Ahana langsung meraih satu buah gaun berwarna merah muda dan membawanya ke kamar mandi untuk berganti baju sekalian membersihkan bagian tubuh bawahnya yang kotor karena tadi sempat terjatuh.
Bukan hanya alasan kotor saja yang membuat gadis itu berganti baju, melainkan bagian dari gaunnya sudah tak utuh lagi, alias sudah robek karena ia harus menghentikan darah yang keluar dari lengan anak laki-laki yang tak sengaja berbenturan dengannya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Ahana keluar dan bercermin. Gadis cantik itu menatap pantulan wajahnya serta gaun merah muda yang terlihat pas di tubuhnya.
"Setidaknya warna ini masih sama, bukan?" tanya Ahana pada pantulan wajahnya di cermin.
Saat gadis kecil itu ingin menutup pintu kamarnya, sekelebat bayangan wajah anak laki-laki yang ia tolong muncul tiba-tiba.
"Semoga kakak itu baik-baik saja," harap Ahana sembari memejamkan matanya berdoa pada Tuhan.
Sementara di ruang pesta, Indah dan Edi sibuk mencari keberadaan anak sulung mereka yang tak terlihat sedari tadi.
"Awas saja, jika dia sudah kembali, mempermalukan keluarga saja!" kesal Edi yang sudah naik darah karena Ahana tak ada di acara pesta sang adik.
"Mas, jangan seperti itu, mungkin dia masih ke kamar mandi, dia tak salah apa pun, untuk apa sampai memberikan hukuman," celoteh Indah yang tak ingin Ahana di hukum.
"Dia sudah mempermalukan keluarga kita, berani sekali membuat tamu penting perusahaan menunggu lama seperti ini," oceh Edi yang sudah merah padam menarik napas naik turun tak beraturan.
"Sabar, Mas!" bujuk Indah sembari melihat ke arah sekeliling ruangan itu, mencari keberadaan anak sulungnya.
Senyum Indah terukir saat ia melihat kedatangan seorang anak gadis bergaun merah muda datang dari arah pintu masuk.
"Dia sudah datang, Mas!" ujar Indah langsung menghampiri Ahana yang juga berjalan ke arah ibu sambungnya.
Adi berjalan begitu kencang ke arah putrinya dan Ahana hanya bisa menggenggam erat gaun yang ia kenakan, dari tatapan sang ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.