“Kamu mau kemana?” tanya Erika menatap Fre yang hendak menuruni tangga.
“Tante,” ucap Fre.
“Kamu mau kemana?” Erika mengulang pertanyaannya.
“Saya mau ke kampus,” jawab Fre.
“Siapa yang mengizinkanmu ke kampus?”
“Maksudnya?” Fre menautkan alisnya.
“Apa kamu tidak tahu peraturan setelah menikah dengan Jael?”
“Peraturan apa itu?”
“Kamu tidak boleh kemana-mana, kamu hanya harus ada di sekitaran rumah ini, tidak boleh ke kampus, tidak boleh bertemu teman dan keluarga jika tidak penting.” Erika menjelaskan membuat Fre menautkan alisnya karena tidak pernah tahu tentang peraturan itu sebelumnya dan mereka sudah bicara kemarin, tak ada yang memberitahunya.
“Tapi, saya harus ke kampus, Tante, saya—”
“Kamu sudah menikah dengan Jael, artinya semuanya harus mendengarkan saya dan aturan di rumah ini.”
“Tapi—”
“Tak ada tapi-tapi, semua sudah sesuai dengan peraturan rumah ini.” Erika terlihat berubah, kemarin ia sangat baik dan lembut berbicara kepada Fre, namun pagi ini malah berubah dan seolah menganggap Fre sebagai beban rumah ini.
Fre menundukkan kepala, ia tidak bisa melawan perkataan sang empunya rumah ini, apa pun yang dikatakan sang empunya itu harus ia dengarkan, sebagai tugas yang harus ia perhatikan.
Tak lama kemudian, Stenly keluar dari kamarnya, melihat kakak iparnya dan juga Fre sedang berbincang, namun anehnya mata Fre tidak menunjukkan kesenangan dalam perbincangan itu.
Stenly menghampiri Erika dan berkata, “Ada apa ini, Kakak Ipar?”
“Fre mau kuliah, jadi saya melarangnya.” Erika menjawab. “Sudah jelas peraturan rumah ini, jika dia setuju menikah dengan Jael artinya dia harus mengikuti aturan di rumah ini, dia tidak boleh kemana-mana dan hanya harus ada di rumah menemani Jael.”
Stenly menatap wajah Fre yang terlihat tak suka dengan aturan yang disebut Erika, namun Stenly tak bisa membantu apa pun karena ia juga kesal pada Fre.
“Ya sudah. Dengarkan aturan di rumah ini, itu lah konsekuensi yang harus kamu terima jika menikah dengan Jael,” sambung Stenly membuat Fre tak punya harapan apa pun.
“Tapi, bagaimana dengan kuliah saya?” tanya Fre menatap Stenly dan Erika secara bergantian.
“Tak perlu kuliah, karena semua hidupmu sudah ditanggung keluarga Riyadi.” Erika menjawab.
Fre menundukkan kepala, ia ingin menangis rasanya, namun ia tak mungkin terlihat lemah didepan keluarga Riyadi, ini pilihannya dan ia tak punya hak untuk membela diri.
“Masuk kamu! Jangan kemana-mana, terus lah berada di sisi Jael.”
Fre menoleh melihat Stenly yang membuang muka, Fre seolah berharap bisa di bela oleh Stenly, namun keduanya sama saja, sama-sama mengekangnya. Tapi, Fre tak akan mau kalah, ia harus membela diri.
“Tante, saya harus kuliah, saya menikah dengan Jael bukan untuk mendapatkan tekanan, tapi saya ingin hidup saya bisa menjadi pilihan saya sendiri,” kata Fre masih keukeuh.
“Saya sudah katakan ke kamu, hidupmu sudah bergantung pada keluarga Riyadi.”
“Saya tidak menerima apa pun dari Tante, apa yang kemarin ingin Tante berikan kepada saya, saya tidak menerimanya. Jadi, hidup apa yang keluarga ini tanggung untuk saya?”
“Jadi, tidak termaksud hutang keluargamu?”
Fre terdiam, jika sudah menyangkut keluarganya, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kamu jangan melawan saya, jadi kamu masuk ke kamarmu,” kata Erika.
“Saya tidak mau,” jawab Fre.
Plak!
Satu tamparan mengenai pipi kanannya, membuat Fre membulatkan mata dan menatap Erika yang berani main tangan kepadanya.
Stenly terlihat tak tega melihatnya, namun ia tidak mau ikut campur.
“Kamu jangan membuat saya marah, saya dari keluarga Riyadi, satu kali perintah dari saya, keluargamu bisa bangkrut selamanya.” Erika mengancam membuat Fre tak punya tenaga lagi, tak perduli seberapa keraspun usahanya agar ia bisa membela diri dan tetap ke kampus, namun itu semua sia-sia.
“Saya harus tetap kuliah dan saya—"
“Kakak Ipar, saya akan mendisiplikannya!” Stenly menghentikan Erika yang hendak memberikan tamparan kedua.
Stenly menarik Fre masuk ke kamar Jael, Fre melepaskan genggaman tangan Stenly dan menangis didepan Stenly. Seolah dunianya sudah runtuh dan hancur, ia mengira ia masih bisa kuliah, namun ia tak bisa menghirup udara segar jika tak penting.
“Jangan menangis,” kata Stenly.
“Menangis pun aku nggak boleh?”
“Jangan menangis karena ini pilihanmu.”
“Ya. Ini pilihanku, ini kehancuranku,” lirih Fre menoleh menatap Jael.
Stenly tak tega melihat Fre menangis, seolah ada yang tertarik didalam hatinya. “Nikmati hidupmu dan gunakan uang keluarga ini sesukamu. Itu adalah imbalan yang bisa diberikan keluarga Riyadi untuk kamu.”
“Aku mau kuliah,” lirih Fre.
“Sudahlah. Tidak ada gunanya menangis,” kata Stenly. “Kamu hanya harus di sisi Jael, kalau mau menangis, menangis saja didepannya.”
“Tapi—”
“Jangan berharap apa pun padaku.” Stenly melanjutkan.
“Oke. Aku tak akan berharap sama kamu.”
Stenly dengan berat hati meninggalkan Fre. Fre sudah membuatnya candu, hingga ketika didekat Fre, Stenly ingin sekali mengecup bibir itu dan melakukan hubungan terlarang itu. Stenly berusaha tenang dan berusaha melihat sisi buruk Fre.
Fre duduk di sofa, menyeka airmatanya lalu menatap Jael.
“Ternyata menikah dengan kamu, bukan hanya kesepian, tapi kehilangan masa depan,” lirih Fre. “Bukan hidup ini yang ku inginkan, aku ingin masa depanku baik-baik saja, tapi nyatanya aku kehilangan semuanya dalam sekejap.”
“Apa bagusnya menikah dengan kamu?”
Fre meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada seseorang yang ada di kontak ponselnya. Seseorang itu adalah sahabatnya, Anggi namanya.
“Kamu sudah mendisiplinkan gadis itu?” tanya Erika menoleh melihat Stenly yang baru keluar dari lift.
“Sudah,” jawab Stenly. “Tapi saya punya pertanyaan.”
“Pertanyaan apa?”
“Kenapa Kakak Ipar melarangnya kuliah? Bukankah itu masa depannya?”
“Tidak ada masa depan untuk menantu keluarga Riyadi, semua hidup sudah ditanggung keluarga kita, jadi buat apa dia kuliah? Dia sudah menikah dengan Jael, jadi hidupnya dan kesehariannya hanya untuk Jael, aku harap kamu bisa membantuku untuk tidak membiarkannya mencari kegiatan diluar sana, enak saja putraku sakit dan tidak bisa melakukan aktifitas apa pun, sementara istrinya harus melakukan hal sebaliknya. Aku tak akan biarkan hal itu.”
“Baiklah,” jawab Stenly.
“Aku akan kembali ke Eropa, jadi aku harap kamu mau menggantikanku mendisiplinkan anak itu.”