Jumat Kala Itu

2078 Words
Ternyata sulit sekali menyusaikan diri. Apalagi ketika keadaan di sekeliling tidak mendukung. Teman-teman di sekolah tidak begitu suka bermain dengan Bie. Ia juga sepertinya sudah lelah karena usaha untuk membuat dirinya membaur tetap saja gagal. Setiap hari Bestari mengantarnya ke sekolah. Baru setengah jam, Bie selalu menyusulnya dan pulang ke rumah. "Apakah mereka sedang bercanda denganku?" pikir gadis itu polos. Terkadang ada yang datang untuk menyapa dan duduk di sebelahnya. Namun, setelah hati gadis kecil itu penuh dengan perasaan hangat, mereka pergi meninggalkan sesak yang memenuhi rongga d**a karena ledekan-ledekan fisik yang dilontarkan. “Aku tidak suka sekolah!” teriaknya ketika berada di bawah kolong meja, saat bermain bersama Ruri. Bie membuang napas kasar, mencoba untuk mengendalikan rasa marah dan kesal. Terlebih saat mengingat perlakuan teman-temannya. Tapi sebenarnya Bie hanya bisa marah dan kesal di hadapan Ruri saja. Akhirnya ia menganggap sekolah sebagai sesuatu yang menakutkan. Gadis berambut lurus di sebelah Bie termenung, seperti ada sesuatu yang dipikirkan. “Pergilah, Bie. Lupakan untuk bermain bersamaku. Kamu harus sekolah!” Ruri berkata dengan jelas. Baru kali ini Bie melihat Ruri yang sangat berapi-api. Bie tak berkutik melihat temanya yang seperti itu. Selama ini Ruri hanya terlihat tak banyak bicara dan diam saja. “Oh, baiklah!” hanya dua kata itu saja yang keluar dari mulutnya. Bie bangun dan keluar dari bawah kolong meja. Tas punggung monyet berwarna abu-abu yang tergeletak lesu di atas buffet rias diusapnya dengan lembut. "Bagaimana caranya, agar mereka bisa menerima kehadiranku," Bie bergumam sendiri di dalam hati. Bayangan refleksi diri dari kaca memantulkan seorang anak perempuan berusia lima tahun lebih dengan rambut keriting. Gadis itu terlihat lesu dan tak bersemangat. Di otaknya hanya memikirkan bagaimana caranya menjadi seseorang yang bisa dibanggakan nyaehnya dan mendapatan pujian. “Bie, makan dulu!” teriak Bestari dari arah dapur. “Iya, Nyaeh, sebentar lagi jalan,” jawabnya tergesa. Bie tahu betul wanita tua yang suka menginang itu tidak suka menunggu. Nyaeh juga tidak suka kalau dirinya tidak segera menyahut ketika dipanggil. Hal itu diingat satu persatu agar tidak memancing amarah dan agar nyaehnya tidak meneriakkan panggilan anak Siwa lagi. Bie berdiri di depan meja makan. Rasa lapar terasa hilang. Ada sisi hati yang terasa sedikit kosong. Ia hanya merasa haus. Bestari menarik kursi yang berada di sebelahnya, mengambil nasi dan semur ayam kemudian menyuapi cucu pertamanya itu. Padahal semur ayam adalah lauk yang ditunggu-tunggu. Tidak setiap bulan mereka bisa makan itu. Kadang mereka hanya makan nasi putih dan ikan sepat yang membuat Bie muntah. Sekali waktu, harus cukup bersyukur walau makan nasi hangat dengan garam atau terasi panggang saja. •••• Bie berjalan lesu ke sekolah, sambil di gendong Bestari. Hujan beberapa hari mengakibatkan banjir di kampung. Tapi sekolah belum memberikan libur. Gadis itu mengaitkan kedua tangan kurusnya lekat-lekat di leher Bestari. “Jangan kemana-mana ya, lagi musim banjir. Nanti hanyut dibawa air. Kalau temannya main-main air, jangan diikuti.” Bestari mewanti. “Jangan pulang sendirian, nanti Nyaeh jemput.” “Iya, Nyaeh.” Bie masuk ke dalam gerbang sekolah. Alhamdulillahnya walau jalanan terendam banjir, tidak dengan sekolah panggung itu. Ruangan kelas I, berada di sisi paling kiri. Masih berupa ruang kelas yang terbuat dari papan dan kayu. Hanya ruang kepala sekolah, ruang guru, dan ruang kelas 4, 5, dan 6 saja yang bangunannya sudah terbuat dari semen. Bie masuk ke dalam kelas. Berjalan sampai ujung dan duduk di bangku yang paling belakang. Kebetulan posisi tempat duduknya berada persis di sebelah kaca. Ia pikir tempat duduk ini adalah tempat yang paling strategis. Ia bisa membawa matanya sesuka hati. Kolam yang berada tepat di bawah kelasnya terlihat sangat banyak airnya. Dedaunan teratai banyak tumbuh di atas kolam yang keruh memberikan kecantikan tersendiri. “Tolooong! Tolooong!” Bie terkesiap mendengar teriakan itu. Refleks ia menolehkan kepalanya dan melihat keadaan di sekeliling. Bie pikir ada teman yang sedang kesusahan, tapi tidak ada sesuatu yang aneh Semua biasa-biasa saja. “Tolooong!” Lagi-lagi teriakan itu terdengar. Ia segera bangkit. Kali ini entah mengapa, matanya dipaksa untuk melihat ke arah kolam yang banyak teratainya. Tidak ada apa-apa di sana. “Toloong! Tolong!” Ini yang ketiga kalinya. Tidak mungkin ia salah dengar. Seiring dengan suara yang datang ketiga kalinya secepat itu pula teman-teman lain berteriak histeris dan berhamburan keluar kelas. Bie yang posisinya berada paling ujung tak berkutik. Ia hendak keluar tapi pintu kelas tertutup rapat. Bie melihat tubuh seorang temannya yang bergetar hebat, wajahnya tampak sangat merah. Beberapa detik kemudian ia terlihat memperagakkan beberapa gerakan bela diri. Sandy dan Widi ketakutan ketika melihat Benny yang seperti itu. Mereka masih mencoba untuk menenangkan Benny. “Ngapain, kalian bengong di situ? Cepat panggil Ibu Guru!” teriak gadis itu. Sayangnya karena posisi Benny tepat di depan pintu, Shandy dan Widi tidak bisa keluar. Sejurus kemudian Pak Syaiful—guru agama mereka mendobrak pintu. “Astagfirulloh hal adhiem,” ucap Pak Syaiful, saat pertama kali melihat Benny. Seingat Bie, Benny memang sering seperti itu. Tepatnya sejak ia mengikuti salah satu kegiatan ekstrakulikuler bela diri yang ada di sekolah. Memang tidak mengganggu, tapi tetap saja melihatnya beraura merah dengan mata yang menyala marah sangatlah tidak nyaman. Mungkin tidak hanya Bie, semua teman merasakan hal yang sama. Tidak perlu waktu yang lama, bagi Pak Syaiful ‘menaklukan’ Benny. Benny tersadar dengan peluh yang membanjiri seragam putih merah yang masih tampak baru. Wajah manisnya terlihat lelah. Bie lega melihat ia sudah kembali. Semua teman-teman yang sempat berhamburan keluar kelas mulai duduk rapi di tempat mereka masing-masing. Benny sudah tenang dan teriakan minta tolong itu tidak terdengar lagi. ••••• “Apa kau terluka, Ruri?” tanya Bie kepada sahabat baiknya itu. Darah tampak mengucur di bagian pelipisnya. “Apa kau terjatuh?” tanyanya lagi sangat cemas. Ruri tetap bergeming dan tidak mengeluarkan sepatah katapun. “Ia terjatuh. Karenamu!” Jawab seseorang yang lain dari belakang Ruri. Seseorang dengan tubuh yang lebih besar dan badan yang lebih tinggi. Seperti Wastuti yang sangat mirip dengan Hayati. Demikian dengan Ruri dan sosok yang ada di belakangnya. “Benarkah, itu Ruri?” Bie bertanya dengan mata yang penuh selidik. Ruri menjadi kikuk dan salah tingkah. Ia terlihat ketakutan. Bahkan menunduk saat sosok itu menatap tajam ke arahnya. “Ya, i-itu benar,” jawab Ruri. Terdengar lirih dan gemetar. Sosok mirip Ruri itu menyunggingkan senyum di lekukan bibirnya. Tentu Bie bertanya-tanya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Ruri?. “Sudah ayo kita pulang!” ajak sosok itu sambil menarik paksa tangan pucat Ruri. Bie menangis. “Jangan tinggalkan aku Ruri!” “Jangan!” “Bangun, bangun!” Tiba-tiba saja ada seseorang yang mengguncang tubuhnya. “Kamu, mimpi apa lagi?” tanya Bestari. “Mandi, sarapan, jangan nakal di rumah. Nyaeh mau pergi ngaji.” Nanti jam setengah dua belas, Nyaeh pulang bawa kueh.” “Wih, asiiik kueh. Bie mau Nyaeh. Kuehnya buat Bie aja yah, jangan buat Bibi,” pintanya memelas. “Tapi janji jangan nakal, yah.” Seperginya Bestari ke Masjid, Bie sudah beres mandi dan sarapan. Ia sedang nonton televisi yang ada di kamar sebelah, saat ada seseorang yang memanggil. “Bie ... Bie, main yok!” Terdengar suara Anto—anak laki-laki Maryati—yang rumahnya berjarak beberapa meter dari kontrakan. “Bie ... Bie, main layangan yok. Mumpung banyak angin. Aku punya benang baru nih, layangannya juga bagus!” teriak Anto. Bie membuka pintu belakang dan tersenyum melihat seorang anak laki-laki botak yang hanya mengenakan kaos singlet. “Tapi nanti aku minta layangan yang bintang merah itu ya,” jawabnya kepada Anto, mencoba untuk bernegoisasi. Akhirnya mereka berdua bermain di lapangan sepakbola yang ada di belakang rumah. Musim layang-layang di kampung Bie memang sangat meriah. Anak-anak di sana biasanya bermain di lapangan masjid, lapangan sekolahan, atau di jalan-jalan. Namun Bie dan Anto biasanya main di lapangan yang banyak ditumbuhi rumput gajah di dekat rumah mereka. Cuaca cerah tapi tidak begitu panas, mungkin karena masih pagi hari. Anto mulai menaikkan layangannya. “Pernah lihat layangan sampai menyentuh langit?” tanya Anto dengan mata yang berbinar-binar. “Belum. Memangnya bisa layangan menyentuh langit?” sergah Bie tak percaya. “Tentu saja bisa! Tapi itu memerlukan tali yang sangat panjang dan semangat yang sangat kuat,” ucap Anto meyakinkan. “Aku ingin melihatnya. Benar-benar ingin melihatnya. Anto terdiam sesaat. “Sebenarnya aku juga belum mengetahui caranya. Mungkin aku akan meminta peri angin untuk meniupkan angin yang kencang, sehingga layangan kita bisa menyentuh langit." Dan akhirnya pagi ini, setelah melewati pertanyaan yang tidak mereka ketahui kebenarannya, akhirnya sebuah layang berbentuk bintang berhasil naik. Bie terdiam memandang layangan yang mulai terbang tinggi. Sesekali maniknya mengerjap menahan silau. Berbagai bentuk dan warna layang-layang menghias langit. Sejurus kemudian layangan milik Anto putus dan meliuk ringan karena embusan angin. Terombang ambing tak tentu arah. "Kejaaar Bie!" teriak Anto penuh semangat. Bie memasang kuda-kuda kemudian berlari mencoba mengikuti layangan. Kaki kecilnya berlarian ke sana kemari, tawa riangnya berbaur dengan suara renyah Anto. Tiba-tiba ia terhenti sejenak. Pandangannya menatap lurus ke arah pohon kuweni milik keluarga Basalamah. Di bawah pohon itu ada sosok versi dewasa yang mirip sekali dengan Ruri. "Hey, Bie. Ayo!" teriak Anto lagi. Bie berlari lagi sambil sesekali menengadah. Entah dari mana asalnya Bie mendengar ada banyak suara di telinganya. Tidak jelas, tapi membuat pusing. Benaknya juga dipenuhi oleh Ruri dan sosok dewasa yang menyerupai Ruri. Gadis kecil itu menjadi tidak berkonsentrasi. Pikirannya terganggu hingga akhirnya kakinya tersangkut pada rumput gajah, dan ... Bukkk! Ia terjatuh. Malangnya wajahnya mengenai kaleng tempat Anto menggulung benang. Ada sesuatu yang menetes dari sekitar alis sebelah kiri. "Kamu berdarah, Bie?" Anto berkata sambil mengelap tetesan darah kental yang jatuh. Bie menutupinya dengan telapak tangan kiri dan berlari ke rumah. Ia mondar-mandir bingung tak tahu harus berbuat apa. Dibukanya lemari dan mengambil selembar kaosnya yang berwarna putih. Darah makin banyak menyebar, warna putih pada kaos sudah berubah. Bie masuk ke kamar sebelah, tidak dijumpai bibinya di sana. Ia langsung teringat Nastiti berangkat kuliah pagi-pagi sebelum nyaehnya berangkat ke masjid. Nyaeh ... Ya, ia berpikir harus menyusul ke masjid. Ia menutup pintu depan dan berjalan menuju masjid melewati rumah-rumah tetangga yang nampak sepi pagi itu. Suara ibu-ibu yang sedang mengaji terdengar di telinga Bie. Sebentar lagi ia sampai pikirnya. Matanya sudah mulai berkunang-kunang dan tubuhnya sudah mulai lemas. "Sedikit lagi!" titahnya dalam hati. Dengan terseok Bie menapaki pelataran masjid. "Sedikit lagi. Ayo Bie, kamu bisa." Bie mengintip dari jendela samping. Ia belum menemukan Bestari. Ia bergeser ke arah tengah kemudian mengetuk pintu. Namun, sepertinya ia sudah tidak tahan lagi. Semuanya nampak berputar kemudian gelap. Hal terakhir yang diingatnya adalah ... "Nyaeh, maafin Bie." Tubuh Bie terguncang-guncang. Ia masih pusing dan tidak bisa membuka matanya. Ada embusan hangat di telinga kirinya, ia mengintip sebentar dengan paksa. Itu napas Bestari yang tengah berlari sambil menggendong tubuh kecilnya. "Nyaeh, maafin Bie," ucapnya lirih. Ia tahu karena sudah menyusahkan nyaehnya. Bestari tidak menjawab. Ia sedang bingung akan membawa Bie ke mana. Di tahun itu rumah mereka masih jauh dari praktek dokter. Jadi wanita tua yang mengenakan baju kurung itu membawa cucunya ke sebuah klinik Bidan. "To-tolong cu-cu saya, Bu Bidan," ucap Bestari dengan tubuh yang gemetar. Bidan bernama Rahmita itu mempersilakan Bestari duduk pada bangku panjang dan mengatur napas. Wanita cantik berambut panjang itu tersenyum manis dan mencoba menenangkan Bestari. "Saya lihat dulu ya, Nek." Dengan perlahan Rahmita melihat luka di kening Bie. Ia kemudian membantu Bestari memindahkan Bie ke atas ranjang khas klinik. "Kita bersihkan dulu lukanya. Mungkin saya akan melakukan jahitan kecil." Bestari nampak mengangguk pasrah. "Terimakasih banyak, Bu Bidan. Maaf kalau kami merepotkan." "Sudah tugas saya, Nek," jawab Rahmita dengan suara merdu bak bidadari turun dari surga. Dan dari sana ada kenang-kenangan jahitan yang di dapat Bie dari aksi mengejar layangan. "Bie-bie, kamu tidak pernah puas membuat Nyaeh deg-degan," ucap Bestari sambil menjewer Bie ketika berada di dalam becak sepulang dari rumah Bu Bidan. "Maafin Bie, Nyaeh. Tadi Anto ngajakin Bie main layangan. Lagian Bie penasaran. Anto bilang bisa naikin layangan sampai ke langit. Emang bisa Nyaeh?" "Bisa." "Masa? Ih, Nyaeh bohong." "Bisa Bie. Asal kamu mau belajar yang rajin. Semua juga bisa dilakukan. Kamu kan sering liat pesawat yang terbang tinggi sampai menembus langit. Terus kamu suka teriak 'pesawat minta uang'. Nah menurut kamu gimana caranya pesawat bisa sampai ke langit?" "Karena talinya panjang, Nyaeh." "Kok talinya panjang?" "Ya, kayak layang-layang. Semakin panjang talinya semakin tinggi terbangnya." "Bukan itu maksud Nyaeh, Bi." Bestari tertawa sampai mengeluarkan air mata. Bie bingung melihatnya. Sebentar nyaehnya begitu sayang kepadanya tapi sebentar kemudian seperti singa lapar yang siap menerkam kapan saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD