bc

Sumpah Elia

book_age18+
2
FOLLOW
1K
READ
dark
HE
badboy
badgirl
mafia
bxg
secrets
cruel
friends with benefits
villain
like
intro-logo
Blurb

Akibat taruhan Elia Abbas jatuh cinta kepada Dane. Lantas memutuskan sang kekasih demi sosok Dane. Namun, Dane marah besar saat tahu dijadikan bahan taruhan. Kemarahan Dane bertambah ketika mengetahui siapa orang tua Elia.

Suatu hal tak terduga oleh Elia pun terjadi. Dane merampas miliknya paling berharga sampai sebuah sumpah terucapkan.“Aku bersumpah akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!”

“Kalau kau mengerti tentang kehidupanku. Kau akan tau mengapa kegelapan ada di dalam diriku.”

Dane tidak lari dari tanggung jawab, ia menikahi Elia di depan orang tuanya. Elia hidup susah bersama Dane yang bukan dari golongan orang kaya membuatnya kesulitan.

Sumpah Elia menjadi kenyataan, Dane dinyatakan meninggal dunia saat usia kandungan dua bulan. Elia tersudut, sekolompok geng datang dan menuduh ia membunuh Dane. Dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya. Siapa sesungguhnya Dane? Sosok yang begitu memikat hati Elia ternyata menyimpan banyak misteri.

chap-preview
Free preview
Bab 1. Bayangan Malam.
Gang kecil yang diapit ruko-ruko besar tampak seperti lorong waktu yang terabaikan. Cahaya lampu jalanan yang remang-remang memantul di dinding-dinding yang kotor. Atmosfer di gang itu pun dingin dan suram dengan aroma asap rokok serta sampah busuk menyelimuti udara. Di tengah gang sempit itu, berdiri dua orang yang beda usia. Salah satunya pemuda yang berusia 23 tahun, jejak jalanan yang keras terlihat dari raut wajah dan postur tubuhnya. Pemuda itu mengenakan jaket kulit hitam yang pudar dan celana jeans robek di dengkulnya. "Sudah saya katakan berulang kali. Jangan temui saya lagi!" Suara datar tanpa emosi itu berbicara seolah-olah orang di depannya tidak memiliki tempat dalam hidupnya. Di hadapan pemuda itu, seorang pria yang memakai setelan jas mewah tampak tertekan. Sorot matanya penuh kelembutan, tetapi ada khawatiran yang tersirat. "Saya terpaksa, Tuan. Ini ada titipan dari istri saya. Dia sudah bekerja keras membuat ini jadi tolong diterima," pinta Rozi mengulurkan kantong coklat kepada Dane. Pemuda itu melirik sekilas ke dalam kantong tersebut tanpa ada niat untuk menerima. “Bawa kembali barang itu. Aku tidak menginginkan apa pun dari kalian.” Rozi mendesah kecewa. “Dia akan kecewa jika tahu Tuan menolak pemberiannya. Hampir satu bulan dia kekurangan tidur hanya demi membuat ini.” Dengan hati-hati, Rozi mengeluarkan sepotong sweater dari dalam kantong coklat. Sepotong sweater abu-abu dengan bentuk sederhana. Namun, ada kasih sayang terpatri dalam setiap rajutannya. Kehangatan yang mungkin sudah lama terlupakan. Sejenak Dane menatap sweater di tangan Rozi. Sekilas, kenangan masa kecilnya menyelinap di balik sorot mata yang biasanya terlihat dingin, tetapi segera ditepisnya. “Kenapa bibik repot-repot membuat ini? Apa dia pikir aku butuh simpati?” tanya Dane dengan nada sarkastik walau ujung suaranya bergetar. Tidak mudah membujuk Dane menerima sesuatu darinya. Sudah tak terhitung segala upaya yang dilakukan Rozi agar Dane tidak terlihat menyedihkan. Sangat disayangkan, pemuda itu memilih hidup sendiri di jalanan daripada bergantung padanya. “Jangan salah paham pada istri saya. Dia hanya ingin Tuan tahu bahwa masih ada orang yang peduli. Meskipun Tuan merasa dunia telah meninggalkan, Tuan.” Dane mengangkat sedikit kepalanya dan menyandarkan ke dinding gang. Satu kakinya menempel di sana dalam posisi menekuk. Ia memalingkan wajahnya mencoba menyembunyikan emosi yang mulai merayap ke permukaan. "Kalian tidak tahu apa-apa tentang apa yang sudah aku lalui," ucapnya dingin, suaranya hampir terdengar berbisik. "Kehilangan mereka semua ... aku hanya punya satu tujuan dalam hidup sekarang. Membalas dendam.” Mata Rozi menatap Dane dengan iba. Ia tahu betapa dalam luka yang dialami pemuda ini. Kehilangan seluruh keluarganya dalam satu waktu, siapa yang tidak gila dibuatnya? “Kita semua tahu kejadian 13 tahun yang lalu, seluruh kota Dallas pun tau. Tapi, satu hal yang saya yakini. Dendam hanya membawa kehancuran. Almarhum orang tua, Tuan pasti tidak ingin melihat putra kebanggaannya seperti ini.” Dane tertawa getir mendengar petuah dari Rozi. Ia tidak tahan berlama-lama dinasehati. "Mereka sudah mati, Rozi. Mereka tidak akan melihat apapun lagi." Dane menurunkan kakinya dari dinding, mengambil langkah maju dan meraih sweater dari tangan Rozi. "Aku terima ini, tapi ini terakhir kalinya kita bertemu. Jangan pernah muncul dihadapanku lagi.” “Tolong ingatlah, apa pun yang terjadi Tuan tidak sendirian.” Senyuman penuh cemooh menghiasi bibir Dane. “Satu lagi, jangan panggil aku ‘Tuan’ karena aku bukanlah Tuanmu dan aku tidak ingin ada yang tau kau mengenalku.” Berat rasanya bagi Rozi memanggil Dane dengan nama, dari kecil panggilan itu sudah tersemat di awal nama pemuda itu. Saat ini ia hanya bisa mengangguk asal pemberiannya diterima. “Saya pamit dulu.” Rozi membalikkan badannya dan berjalan keluar dari gang sempit itu, meninggalkan Dane yang masih berdiri di tempatnya. Dane menatap punggung Rozi yang perlahan menjauh, kemudian menatap sweater di tangannya. Diremasnya kain itu, setiap helai benang terasa hangat. Sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya. Namun, di dalam hatinya ada perasaan yang bertolak belakang. Hatinya menolak kehangatan yang ditawarkan oleh sweater ini. Lantas ia meremas kuat sweater itu, menyerap setiap kehangatan dan mengubah menjadi sebuah kebencian. “Zahir Abbas, tunggu akhir dari kehidupanmu,” bisiknya mengandung kebencian yang mendalam. Dengan satu gerakan, Dane membuang sweater itu ke dalam jaket kulitnya. Lalu menutupi hati-hati baru ia melangkah pergi. *** Elia baru saja keluar dari mobil mewahnya. Tiba-tiba seorang pria menarik tasnya dengan kasar. Dalam sekejap, tas itu sudah berada di tangan si berandalan. "Copet! Ada copet!" teriaknya sambil berusaha mengejar pria itu yang sudah melesat masuk ke kerumunan orang. Dengan langkah cepat, Elia menyusul pencopet itu. Namun, langkahnya terhenti saat ia menyadari dirinya berada di ujung jalan yang buntu. Berandalan itu berdiri di sana, dengan seringai yang menyerupai serigala. "Kembalikan tasku," pintanya sambil mengatur napas yang tersengal-sengal. "Ambil saja kalau kau berani, Nona," jawab pria itu menantang, melambaikan tas di tangannya membuat Elia semakin kesal. Elia sama sekali tidak takut. "Kau akan menyesal berurusan denganku," balasnya, melangkah maju tanpa ragu. Namun, saat Elia mencoba meraih tasnya, pria itu dengan cepat meraih tangannya dan memutar tubuhnya dengan kasar. "Kau cantik juga dan tubuhmu sangat wangi," ucapnya, mendekatkan wajahnya ke arah Elia. "Jangan kurang ajar!" bentak Elia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. "Hei, galak juga kau! Tapi itu semakin membuatmu cantik," lanjut pria itu dengan seringai yang semakin lebar. Ia terlihat menikmati reaksi Elia yang sedang melepaskan diri darinya. Saat pria itu hendak melakukan sesuatu yang lebih, Elia berteriak keras. Seketika, sesosok bayangan muncul dan cepat menarik pria itu menjauh dari Elia membuat berandalan itu kehilangan keseimbangannya. “Apa-apaan kau!” berangnya memulihkan posisinya. Tidak terima diganggu oleh orang asing. “Bukan begini cara cari makan,” ujar Dane memberikan tatapan menghina. Berandalan itu maju, melayangkan tinju ke arah wajah Dane. Sayangnya dengan mudah Dane menghindar lantas memberikan satu pukulan keras di perut si berandalan, tepat di ulu hati. Pukulan itu membuat pria tersebut terhuyung mundur sembari menahan rasa sakit yang menyerang tiba-tiba. Napasnya tersengal, matanya terbelalak. “Br*ngsek kau!” makinya sambil meludah. Pria itu mengeluarkan pisau lipat dari saku jaketnya. Cahaya pisau itu berkilat di bawah lampu redup. Si berandalan maju dan mengayunkan pisaunya dengan liar ke arah Dane. Sementara, Elia panik ketakutan menutup mulutnya di sudut sana. Dane yang penuh perhitungan dengan sigap menangkap pergelangan pria itu dan memutar kuat. Terdengar suara retak saat pergelangan berandalan itu patah. Pisau pun jatuh berderak di tanah. Dane tidak memberikan kesempatan kala berandalan itu berteriak kesakitan. Gerakan cepat, Dane menyikut rahang berandalan itu hingga terjerembab ke dinding bata di belakangnya. Kepalanya terbentur keras membuat kelimpungan. Tampaknya berandalan itu tidak mau menyerah, ia menyerang lagi. Sekali lagi Dane dengan mudah menghindar dan membalas balik. Ia menendang kaki berandalan itu hingga jatuh tersungkur. “Si-siapa kau?” tanya berandalan merasa lawannya lebih kuat. “Bayangan malam.” Mengetahui nama itu, berandalan itu segera bangkit dan lari terbirit-b***t. Sadar siapa yang baru saja dilawannya. “Apa kau baik-baik saja?” Maju beberapa langkah. Alih-alih berterima kasih, Elia menatap curiga. Gadis itu sedikit mundur, mengangkat dagunya dengan angkuh. “Kau pikir aku akan berterima kasih padamu setelah itu kau mengharapkan imbalan dariku.” Dane mengerutkan kening, tidak mengerti. “Apa maksudmu?” Elia menyipitkan matanya, melihat ke arah di mana berandalan tadi menghilang. "Kalian pasti bersekongkol, bukan? Membuat drama seperti ini,” tuduhnya tajam. Dane terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia baru saja mempertaruhkan dirinya untuk menolong gadis ini dan sekarang ia malah dituduh bersekongkol dengan penjahat. "Kau serius?” Elia mendengus lalu melipat tangan di d*da. "Tentu saja aku serius! Pria seperti kalian sering berkeliaran di kota ini, membuat tipu daya. Dasar miskin!” hina Elia memperhatikan penampilan Dane. “Aku tidak butuh uangmu dan aku tidak punya waktu untuk main-main denganmu.” Dane berbalik berniat pergi. Belum puas, Elia menghalangi jalan Dane. “Jangan berpura-pura! Kau pikir aku bodoh.” Napas Dane tertahan, ia menatap kesal pada Elia. “Jika itu yang kau pikirkan, maka kau tidak lebih baik dari orang miskin. Cam kan itu!” Dane melewati Elia yang terdiam, meninggalkan gadis itu sendiri tanpa tahu siapa namanya. “Dasar munafik,” gumam Elia kesal.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook