BAGIAN II: JALAN PENGORBANAN DAN PENYATUAN PUSAKA

951 Words
Perjalanan Arya membawanya semakin dalam ke Hutan Angker, hutan yang namanya bukan sekadar julukan—ia benar-benar terasa menghantui. Setiap dahan pohon purba seolah mengawasi dengan mata gelap, dan udara dingin terasa berat, penuh bisikan samar dari roh kuno Mandira yang meratap. Kabut di lembah telah digantikan oleh kegelapan hutan yang lembap dan padat. Arya melangkah hati-hati, indranya menajam, mendengarkan setiap patahan ranting dan desahan angin. Insting Jawara-nya mengambil alih ketika ia mendengar jeritan, sebuah suara melengking yang dengan cepat teredam. Ia segera menghentikan langkahnya di tengah jalan setapak yang ditumbuhi lumut tebal. Ia menemukan sekelompok bandit yang berlumuran lumpur, mengelilingi seorang wanita muda yang tampak gagah meskipun ketakutan. Arya, bergerak dengan seni penyusupan Silat Bayangan, menjadi tidak lebih dari bayangan yang melompat di antara bayangan pohon. Ia bergerak dari belakang, tanpa suara, memanfaatkan Batin untuk menyelimuti gerakannya. Ia melumpuhkan bandit satu per satu, menyerang titik vital seperti leher, pangkal lengan, dan tulang kering dengan Jurus Ular Tidur, membuat lawan ambruk tanpa sempat mengeluarkan sepatah kata pun. Ia adalah efisiensi yang mematikan, mesin keadilan yang dingin. Dalam sekejap, semua bandit tergeletak tak sadarkan diri, dan Arya muncul di hadapan wanita itu. Wanita itu, bernama Kinara, tidak hanya mengucapkan terima kasih yang tergesa-gesa. Matanya yang tajam menunjukkan kewaspadaan, bukan kepanikan. "Kau bukan orang biasa," katanya, nadanya lebih merupakan penilaian daripada pertanyaan. Kinara memperkenalkan diri. Ia adalah seorang Kartografer Bintang, seseorang yang mempelajari peta langit untuk memahami takdir pusaka di bumi. Ia menjelaskan bahwa ia juga mencari Kuil Seribu Patung, karena petanya dapat menentukan waktu astrologi terbaik untuk memasuki Kuil dan mengaktifkan pusaka. "Aku tahu apa yang kau cari," bisik Kinara, matanya menatap liontin naga giok di leher Arya. "Keris Naga Langit hanyalah s*****a dingin tanpa Permata Keseimbangan yang harus menemani giokmu." Ia menawarkan diri sebagai pemandu, sebuah usulan yang Arya sambut dengan keraguan. Arya telah dilatih untuk mempercayai bayangannya sendiri, bukan orang asing. Arya menguji Kinara, "Patung manakah yang menjadi kunci Kuil?" tanyanya, suaranya rendah dan serak. Kinara menjawab tanpa ragu: Patung Sunyi, seorang Anak Gembala yang membawa lentera. "Itu adalah simbol Kearifan yang tersembunyi," tambahnya. Detailnya terlalu spesifik dan terlalu sesuai dengan ajaran rahasia Resi Bima untuk kebohongan. Arya menerima persekutuan itu, merasakan adanya benang takdir yang mengikat mereka. Ia butuh panduan Kinara, dan Kinara butuh perlindungan Arya. Namun, baru beberapa langkah, kompas kristal Kinara bergetar hebat hingga retak. Dua Penjaga Ganas, makhluk berkulit batu yang dipanggil oleh sihir gelap Bhairawa, muncul dari balik kabut. "Pewaris Naga! Kami mencium darahmu!" raung mereka, mata merah menyala, dipenuhi kebencian tak berjiwa. Arya harus bertarung. Ia tahu Keris yang dibawanya tak mempan menembus kulit batu mereka. Ia menggunakan energi Batin terfokus dan teknik Bantingan Harimau Putih untuk memutar sendi makhluk pertama, merusak titik persendiannya. Setelah makhluk itu pincang, Arya mengakhiri perlawanan dengan tusukan keris biasa ke mata merahnya, satu-satunya titik lemah. Makhluk itu hancur menjadi debu. Penjaga Ganas kedua menyerang balik dengan ganas. Cakar tajamnya menggores punggung Arya. Kainnya robek dan kulitnya terkoyak, darah panas langsung membasahi punggungnya. Rasa sakit itu membakar, namun Arya memejamkan mata sesaat, mengumpulkan seluruh energi Batin yang tersisa. Ia melepaskan Jurus Naga Langit Berputar, menciptakan bayangan ganda yang membingungkan lawan, sebelum meluncurkan tinju yang diperkuat Batin ke d**a makhluk itu. BUUMM! Penjaga Ganas itu ambruk dan hancur berkeping. Arya terhuyung. Luka di punggung Arya adalah pengingat menyakitkan akan harga yang harus dibayar. Ia kini bertarung tidak hanya untuk Dendam, tapi untuk Bertahan. Kinara kemudian menuntun Arya melalui celah tersembunyi ke dalam Kuil Seribu Patung. Di aula temaram yang diterangi obor yang berkedip, mereka dihadapkan pada ribuan patung yang identik dan sebuah prasasti: 'Lima Keutamaan yang Menuntun Sang Naga.' Mereka harus memilih lima patung yang melambangkan Keadilan, Kesetiaan, Keberanian, Kearifan, dan Pengorbanan dan meletakkannya dalam urutan yang benar di alas khusus. Penempatan yang salah memicu sistem pertahanan. Lantai bergetar hebat, dan lima Penjaga Ganas Bayangan yang lebih besar bangkit dari kegelapan! Arya, meskipun terluka dan kehabisan tenaga, menggunakan Silat Gerak Melingkar untuk menahan kelima makhluk itu, berputar seperti pusaran air untuk melindungi Kinara yang panik mencari petunjuk. "Cepat, Kinara! Batin-ku menipis!" teriak Arya. Kinara menemukan kuncinya di balik ukiran alas patung: bukan urutan astrologi, melainkan Urutan Pengorbanan—sebuah alur cerita kuno yang mencerminkan harga untuk menjadi Jawara. Saat patung terakhir, Kearifan, diletakkan, para Penjaga Ganas itu hancur menjadi serpihan batu. Pintu menuju ruang suci terbuka, memancarkan cahaya lembut. Di ruang suci, Arya mendekati altar dan menyentuh Permata Keseimbangan. Seketika, kesadarannya ditarik dari tubuhnya. Ia berdiri di Dimensi Roh, di hadapan roh leluhur yang mengujinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengikis jiwanya. Puncaknya adalah Ujian Ilusi: ia disuguhi kehidupan damai yang ia inginkan, sebuah Lembah Peneduh yang hangat dan aman, bersama Kinara yang tersenyum penuh cinta, mengulurkan tangan ke arahnya. Hati Arya menjerit ingin menerima kebahagiaan dan mengakhiri penderitaan ini. Ia melihat janji kedamaian, tetapi ia teringat sumpah sucinya: Melepaskan segala yang dicintai demi Mandira. Arya memejamkan mata, memalingkan wajah dari Kinara ilusi itu. Ia memilih tugas di atas takdir pribadi. Karena pengorbanan batin itu, ia lulus. Keris Naga Langit turun dalam cahaya emas yang menyilaukan, menyatu dengan tangannya, dan Permata Keseimbangan tertanam di gagangnya, membuat liontin giok naganya berdenyut. Arya kini adalah Jawara yang utuh, Sang Pembawa Cahaya Kebenaran. Namun, Kinara mengungkapkan rahasia kedua di ambang pintu Kuil. "Ibumu," bisiknya, "adalah keturunan Darah Matahari, penguasa politik. Permata Keseimbangan hanya memberimu kekuatan spiritual. Untuk mendapatkan legitimasi takhta dan menghindari perang saudara setelah Bhairawa jatuh, Arya harus mendapatkan Permata Surya, kunci politik Mandira, yang tersembunyi di bawah Kuil Agung di Ibu Kota." Arya tidak peduli pada takhta, tetapi ia peduli pada kedamaian rakyat Mandira. Misi mencari keadilan telah berkembang menjadi misi mencari keseimbangan bagi seluruh kerajaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD