Bukan aku yang di cintai
180 hari meja makan ini selalu hening, tanpa ada sapaan atau pembicaraan layaknya sepasang suami-isteri. Seusai rutinitas sehari-hari di luar rumah kami pulang tidak saling sapa dan tidak saling kenal.
Aku menata piring yang sudah Aku cuci tadi pagi, aku mencucinya sebelum berangkat ke rumah sakit tempat ku kerja.
Setelah semua selesai Aku pun menyediakan makan malam untuk kami berdua. Seperti biasa, Macelio setiap jam 7 malam tanpa di panggil ia sudah ada duduk di meja makan. Aku tahu kenapa dia selalu tepat waktu, agar Aku tidak memanggilnya dan menunggunya.
Aku pun duduk setelah menyelesaikan semua, termasuk mengambilkan air minum untuknya dan wedang jahe yang 180 hari lalu ia pesankan padaku agar tidak sampai lupa.
''Mas,'' ucapku menunduk melihat makananku yang belum ku sentuh sama sekali.
''Selesaikan makan dulu,'' ucapnya cuek yang terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Entah enak atau tidak enak rasa masakanku, Macelio tak pernah protes atau memuji.
''Apa yang ingin Kamu bicarakan?'' ucapnya sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
''Aku ada pelatihan yang di anjurkan dari rumah sakit di Jakarta selama 4 hari,'' ucapku yang memandang mata indah nya. Mata indah yang tidak bisa ku miliki.
Sambil meminum wedang jahe nya ia pun lekas berdiri dan berkata, ''bukannya apapun urusanmu tidak perlu lagi ijin dengan saya, kau mau kemanapun silahkan lakukan saja.'' ujarnya setelah itu membalikkan badannya dan pergi begitu saja.
Aku reflek meletakkan sendok makan sedikit kasar sehingga menimbulkan suara yang sedikit memekak. Langkah yang awalnya sudah sedikit menjauh dari meja makan, tiba-tiba berbalik kembali dengan tatapan mata tajam ke arahku.
''Aku nggak sengaja,'' ujarku yang lalu berdiri tanpa menghiraukan tatapan marah padaku.
''Ada apa denganmu?'' ucapnya sedikit menaikkan suaranya.
Aku yang masih berdiri di tempat hanya tersenyum sinis melihat ke arahnya.
''Bukankah apa yang aku lakukan kamu tidak peduli, lantas kenapa kamu masih tanya ada apa denganku?''
Tanpa menjawab laki-laki itu pergi begitu saja ke kamarnya. Aku pun hanya bisa protes dalam hati, mana mungkin aku protes lewat mulutku. Tidak akan juga di dengarkan sama lelaki yang berhati batu itu.
Ku rapikan bekas sisa makan tadi dan ku simpan di wastafel. Aku masih berdiri bersandar menatap piring-piring kotor itu sambil tertawa menyedihkan. Hidupku benar-benar lucu, aku seolah seorang istri karena aku menyiapkan makan seorang suami, mencucikan pakaiannya, membersihkan rumahnya, dan tugas istri lainnya. Tapi kehadiranku tidak pernah di anggap, ucapanku tidak di dengar, panggilanku di abaikan.
Pagi-pagi sekali aku sudah siap-siap untuk berangkat ke bandara, setelah shalat subuh tadi aku sudah menyiapkan semua serapan. Jadi jika laki-laki itu bangun akan sudah ada makanan di meja. Ia pun tidak tahu bahwa aku sudah berada di bandara saat ini. Karena saat aku berangkat pintu kamarnya masih tertutup rapat.
Saat akan boarding karena sudah ada panggilan bahwa pesawat tujuan Jakarta akan melakukan boarding, dan penumpang di suruh segera untuk memasuki pesawat. Panggilan masuk berkali-kali sejak tadi menari-nari di ponselku ku abaikan.
Saat aku sudah dapat tempat duduk yang sesuai dengan nomorku, baru aku angkat telpon yang sejak tadi berdering. Bukan alasan apapun, aku hanya takut sama penciptaku bukan sama dia. Bagaimana pun, dia adalah suami yang tetap saya patuhi sesuai perintah tuhanku.
''Iya kenapa?'' jawabku sinis saat suara disana masih diam.
''Kamu dimana? Kenapa pagi-pagi sudah menghilang baru tidak ijin.''
Seandainya tidak berdosa mungkin sudah ku cakar mukanya, kenapa ada orang yang katanya pintar tapi baru ngomong belum ada 24 jam sudah lupa.
''Kenapa diam, saya tanya,'' ucapnya lagi karena aku belum juga menjawab pertanyaan.
Bahkan dia selalu memakai kata saya kalau bicara denganku, formal sekali bukan.
''Aku di dalam pesawat,'' jawabku singkat.
''Kenapa tidak ijin, sebenarnya kamu mau kemana?''
Lagi-lagi ingin ku tonjok muka mulusnya itu, kenapa Tuhan menjodohkan orang seperti itu padaku ya Allah.
''Tadi malam saya sudah ijin, katamu terserah. Kenapa sekarang kamu yang kaya orang kebakaran jenggot,'' ucapku kesal.
''Ya sudah, maaf saya tidak punya jenggot,'' ucapnya langsung mematikan ponselnya.
''Dasar manusia karbit,'' ucapku sendiri sambil memandang ponsel yang sudah mati.
Aku pun duduk bersandar dan menarik nafas dalam untuk melonggarkan sesak nafas di d**a.
Tak berselang lama terdengar announcement dari awak kabin untuk kita mengenakan sabuk pengaman, karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
Beberapa awak kabin pun sudah siap berdiri untuk memperagakan beberapa cara keselamatan apabila pesawat terjadi sesuatu.
Aku pun hanya diam duduk, walau mataku melihat ke arah para pramugari itu namun pikiranku berperang kemana-mana.
Saat pikiran melayang-layang mencari jawaban atas takdir hidupku, tiba-tiba ada yang menepuk pundak ku.
''Mbak! Sebentar lagi kita akan lepas landas, jadi disuruh menegakkan sandaran kursi,'' ucap seorang laki-laki muda yang duduk di sebelah ku.
''Oh, i ... ya,'' ucapku yang kembali menyandarkan kepala.
Dalam hati menggerutu, ''baru sandaran kursi saja ada saja yang menganggu. Sandar sama manusia lebih-lebih bikin kecewa, nggak ada yang mengecewakan kalau selalu bersandar padamu ya Allah.''
''Mbak, mbak, kursinya belum di tegakkan,'' ucap seseorang di sebelahku lagi.
Aku pun menoleh dengan kesal sambil menegakkan sandaran kursi tempat dudukku. Saat aku masih kesusahan untuk menarik pengunci kursi, mbak pramugari yang lewat di sampingku pun menegur untuk menegakkan sandaran kursi.
Akhirnya setelah dipastikan sandaran kursi tegak aku pun kembali menghembuskan nafas kasar.
''Kenapa sih harus di tegakkan segala,'' omel ku sendiri merasa banyak sekali yang mengganggu pikiran hari ini.
''Itu salah satu prosedur yang harus kita patuhi saat pesawat akan lepas landas dan landing mbak, apabila terjadi emergency mbaknya bisa dengan mudah untuk langsung berdiri dan lari. Jika kursi masih dalam keadaan yang belum di tegakkan maka itu akan menyulitkan mbak dan orang lain yang duduk di belakang mbaknya, karena akan menyulitkan orang yang di belakang mbak untuk keluar,'' tutur lelaki muda yang duduk di sampingku tadi.
Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum ke arahnya. Akibat ketidaktahuan ku akan membahayakan orang lain.
''Baru pertama kali naik pesawat?''
Aku menoleh pada seseorang yang duduk di sebelahku, kebetulan kami hanya berdua. Bangku tengah kosong, entah tidak ada penumpangnya atau orangnya ketinggalan pesawat.
''Udah tiga kali ini, tidak sering ya?'' tanyaku padanya.
Laki-laki itu senyum dan mengangguk, ''tidak begitu maksudnya, tadi anda hanya terlihat tidak fokus jadi saya perlu mengulang ucapanku,'' tuturnya hati-hati mungkin takut menyinggung ku.
''Aku biasanya memang asal duduk dan langsung pasang sabuk pengaman, mungkin waktu itu kursi yang ku duduki sudah benar jadi tak perlu di tegakkan lagi.''
Laki-laki itu hanya mengangguk mendengar penjelasanku, aku jadi malu sendiri atas ketidak fokusku dan ketidaktahuan ku. Aku pikir masalah kursi tidak ada pengaruh apapun.
''Aku juga awalnya orang awam yang tidak tahu apapun, aku tahu semua soal penerbangan karena aku sekolah pilot.''
''Oh, anda calon pilot? Pantas!'' jawabku asal, karena sebenarnya aku malas ngobrol apapun.
''Pantas! Pantas apa ya?''
''Hehe, enggak! Nggak usah di pikirin.'' ucapku dengan senyum garing.
Hai! Salam kenal dari aku, terimakasih sudah membaca novelku.. Semoga sehat selalu buat kalian semua