Bab 1: Fobia Sosial
POV Zul
***
Hari ini tepat 10 tahun aku mengidap kecemasan sosial atau lebih dikenal dengan nama social anxiety disorder. Aku melingkari kalender yang terpajang rapi di nakas kamarku. Salah satu kegiatan yang aku lakukan nyaris setiap hari. Sekadar menandai tanggal apa saja yang menurutku spesial.
Ini kalender ke sepuluh, tepat sepuluh tahun semua kemalangan ini terjadi padaku. Ya, bagiku ini kemalangan terburuk yang aku terima. Aku tidak suka penyakit ini. Penyakit yang membuatku berkeringat di hadapan banyak orang, atau setidaknya merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhku setiap kali bertemu orang baru.
Selama hampir sepuluh tahun, hidupku bergantung pada obat-obatan. Aku bergantung pada paroxetine atas saran dokter pribadi keluarga kami. Dosisnya setiap tahun semakin berkurang karena dokterku tidak mau aku kecanduan obat itu.
Hari ini dokter keluarga kami yang bernama Mike mengklaim bahwa aku sudah tidak membutuhkan obat itu lagi. Dia tidak mengatakan aku sembuh dari fobia kecemasan sosial ini. Akan tetapi, ia merasa bahwa ini adalah awal bagiku untuk lepas dari belenggu fobia ini.
Selama bertahun-tahun melakukan relaksasi, dan didukung obat-obatan. Kecemasan yang aku alami perlahan-lahan berkurang. Bahkan, mungkin aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan orang di sekelilingku. Aku berusaha keras menerima kehadiran orang lain di dalam hidupku.
Tok... Tok... Tok...
Ketukan di pintu kamarku berhasil membuat aku mendongak. Kalender yang tadi ada di tanganku aku simpan kembali di tempatnya semula. Aku menunggu siapa gerangan yang akan memasuki kamarku ini? Aku menyadari bahwa tanpa aku bersuara pintu kamarku akan terbuka.
Benar saja, dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Memang aku tidak menguncinya. Aku memperhatikan wajah pria yang tersenyum padaku. Wajah itu memiliki kemiripan dengan wajahku. Dialah kembaranku, Zander.
Zander adalah salah satu pengusaha muda yang sukses di Surabaya. Kenyataan bahwa ayah kami dahulu seorang penyanyi tidak membuat kami tumbuh menjadi seperti dirinya. Baik aku maupun Zander, kami hanya menganggap musik sebagai hobi. Bukan pekerjaan profesional. Secara harfiah aku tidak bekerja. Maksudku adalah Zander.
"Boleh aku masuk?" tanyanya.
"Kau sudah masuk. Mengapa harus bertanya lagi?"
Aku balik bertanya dengan menampilkan senyuman miring. Zander sudah berjalan masuk saat ia bertanya apakah ia bisa masuk atau tidak. Kadang dia berlagak begitu aneh. Seakan-akan dirinya mengidap gangguan jiwa. Padahal akulah yang mengidap gangguan jiwa itu, bukan dia.
"Ya," katanya.
Senyumnya perlahan-lahan memudar. Zander menarik kursi yang letaknya tidak jauh dari meja kecil di kamarku. Zander duduk tepat di sampingku lalu menghela napas berat.
"Ada apa?"
Aku penasaran, apa yang membuat Zander datang kepadaku. Dia memiliki jadwal yang padat. Usaha yang ia jalankan sangat banyak. Aku tidak tahu bagaimana caranya ia bisa menangani restoran, toko pakaian, dan juga usaha di bidang furniture dalam satu waktu bersamaan.
Zander adalah definisi seorang billionaire.
"Aku senang kamu sudah membaik, Zul," ujar Zander.
Dia menyentuh tanganku. Namun, aku menepisnya karena perasaan tidak nyaman. Maksudku adalah ada hukum yang tidak tertulis yang menyebutkan bahwa seorang pria seharusnya tidak menyentuh tangan pria lainnya. Meskipun kami saudara kandung, aku tetap tidak nyaman disentuh olehnya.
Zander mengerti maksudku. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan aku menepis tangannya.
"Ya. Semua orang senang sekarang."
Bunda dan Daddy sangat bahagia mengetahui aku tidak disarankan lagi meminum obat. Mereka berterima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dokter Mike karena aku bisa terbebas dari obat lagi.
Paroxetine sebenarnya tidak dikonsumsi sembarangan. Obat itu merupakan obat keras. Mengonsumsinya harus melalui resep dokter. Orang tuaku sangat senang aku tidak akan lagi terikat dengan obat itu.
"Aku yakin kau datang kemari bukan hanya untuk mengucapkan selamat, bukan?" tebakku.
Aku dan Zander ibarat satu tubuh. Hanya dengan melihat gerak-gerik yang ia tunjukkan, aku bisa merasakan apa yang sedang ia rasakan. Dia menyembunyikan sesuatu padaku. Aku melihat ada keraguan yang ia tunjukkan.
"Benar." Zander mengaku.
Aku mengangguk sebagai bentuk betapa aku memahami maksud kedatangannya. Kutatap serius manik matanya yang seakan-akan ingin memberiku motivasi.
"Keadaanmu sudah membaik. Jadi kupikir, kau mungkin bisa mencoba melihat ke luar. Dunia luar menantikanmu, Zul."
Aku sudah melewati perawatan kesehatan yang panjang. Semua proses itu aku lewati dalam suka maupun duka. Perlahan-lahan aku membaik karena perawatan itu. Jika dahulu aku mual, bahkan mungkin pingsan saat bertemu orang baru.
Beberapa saat terakhir ini, aku mulai bisa bertahan di hadapan orang banyak. Walaupun memang debaran jantungku tidak bisa aku kendalikan. Zander memahami bahwa bertahun-tahun aku mengurung diri di dalam rumah. Aku tidak pernah keluar rumah. Bahkan, aku bisa seharian di kamar tanpa melakukan kegiatan berarti. Maksudku, itu pandangan orang-orang.
Biasanya aku menggambar atau mengetikkan sesuatu di blog rahasiaku. Tidak ada yang tahu bahwa selama bertahun-tahun. Aku membuat penelitian tentang diriku sendiri. Kutuliskan di dalam blog yang aku privasi. Hanya aku yang tahu apa yang aku tulis. Aku sengaja tidak memublikasikan penelitianku itu.
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tapi, kau terlalu menutup diri, Zul. Kau hanya akan memperburuk keadaanmu."
Zander memberikan tatapan simpati, yang aku pikir terlalu berlebihan. Ragu-ragu ia menambahkan perkataannya.
"Keluarlah sesekali. Buatlah usaha yang sukses! Menikahlah! Semua pria akan menikah jika sudah seusia dengan kita."
Aku melongo pada penjelasan Zander. Dia mungkin tidak berniat meledekku. Akan tetapi, aku tetap merasa ada kalimatnya secara tidak langsung begitu menohok diriku. Secara tidak langsung, Zander mengatakan aku merepotkan, tidak memiliki usaha yang sukses, serta tidak memiliki pacar.
Sederhana. Namun, ada sesak yang aku rasakan. Mendadak aku mulai membandingkan diriku sendiri dengan Zander. Siapa aku? Aku hanyalah pria sakit jiwa yang selalu dibiayai orang tuaku. Walaupun mereka tidak pernah mengeluh di hadapanku. Akan tetapi, aku yakin mereka lelah karena aku.
Aku berbeda dari Zander!
Aku bukanlah CEO tampan yang memiliki banyak uang dan pacar cantik yang siap dinikahi. Aku terjebak di usia 25 tahun, dan belum memiliki apa-apa.
"Itu nasihat yang bagus." Aku meringis bersamaan dengan sarkasme yang aku ungkapkan.
Zander tampak tidak peduli dengan reaksiku. Dia merogoh jas hitam yang ia kenakan. Ada kertas kecil yang ia pegang di tangannya.
"Ini. Datanglah ke acara ini. Seminar yang diadakan oleh putri dari dokter Mike. Ini merupakan seminar motivasi untuk sukses. Seminar kesehatan mental," kata Zander.
Aku mematung. Menatap kosong ke arah kertas kecil yang diberikan Zander tadi. Egoku masih menguasai diriku. Aku sadar Zander hanya ingin aku lebih sering bertemu banyak orang.
Tunggu! Anak dokter Mike? Aku tidak tahu kalau dokterku memiliki seorang anak. Aku masih bimbang saat Zander berpamitan. Dia menepuk bahuku lalu menghilang di hadapanku. Aku tidak tahu apakah harus datang ke seminar itu atau tidak.