***
Aku menekan ego dalam diriku. Sesuai saran Zander, aku berencana keluar dari rumah. Aku ingin menghadiri seminar yang dibuat oleh anak dokter Mike. Aku belum sampai di acara itu. Namun, jantungku sudah berdebar-debar, seolah-olah di sana ada orang yang akan memarahiku.
Aku takut memakai pakaian yang salah, sehingga orang-orang mulai membicarakanku. Aku takut aku bertingkah aneh sehingga orang-orang mulai berbisik tentang aku. Semua kecemasan itu hadir sebelum aku sampai ke seminar itu.
"Ingat, Zul! Kau adalah pria terbaik. Kau memiliki segalanya. Ketampanan, kekayaan. Kau memiliki keluarga yang menakjubkan. Tidak usah memikirkan pendapat orang lain."
Kata-kata dokter Mike selalu terngiang di kepalaku. Dokter itu selalu memberitahuku kalau aku adalah makhluk sempurna. Tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Katanya, semua orang pernah melakukan kesalahan. Jadi, aku tidak perlu takut salah.
Aku mengusap keringat yang kini membasahi tanganku. Biasanya aku akan baik-baik saja setelah meminum obat. Akan tetapi, kali ini aku mau mengikuti saran dokter Mike. Tidak ada obat hari ini. Aku akan mencoba untuk tidak terikat dengan obat. Ya, sudah kubilang sebelumnya aku sudah terbebas dari obat, bukan? Sebenarnya, aku masih berusaha sampai pada level itu.
Jaket kasual berwarna abu-abu kini melekat di tubuhku. Tak lupa, aku mengenakan celana chinos berwarna coklat. Benar-benar perpaduan yang sempurna. Aku berdiri di depan cermin sambil menambahkan pommade di rambutku.
Setelah merias rambutku, aku tertegun sesaat melihat penampilanku. Apakah aku setampan ini? Dalam pikiranku selama ini, aku hanyalah pria culun yang tidak tahu apa pun. Akan tetapi, ketika melihat diriku, aku merasa seperti sedang menyaksikan saudaraku Zander yang keren. Aku bisa seperti Zander! Aku baru menyadari itu.
Aku keluar dari kamar setelah bercermin, kemudian turun ke lantai bawah. Debaran jantungku belum berhenti berdetak kencang. Namun, aku berusaha keras mengabaikannya. Semua jantung manusia berdetak. Ini normal! Aku tidak aneh! Kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku sama seperti manusia pada umumnya.
Aku pikir sudah tidak ada orang di rumah karena Bunda selalu berangkat kerja jika pagi hari. Begitu pun dengan ayah tiriku. Namun, aku salah karena di ruang makan ayah tiri dan juga Bunda masih ada di rumah.
"Zul?"
Bunda terkejut bukan main melihat penampilanku. Dia seperti sedang melihat hantu. Bunda terkesima menyaksikan gayaku hari ini. Mulutnya sampai terbuka lebar.
"Apa aku aneh, Bunda?"
Aku menggosok leherku karena merasa malu. Aku memang merasa aneh setiap saat. Ada masa lalu yang membuatku trauma. Masa lalu itu berkaitan erat dengan penampilanku. Saat aku remaja, seorang gadis meledekku, menghancurkan mentalku di hadapan banyak orang.
Saat itulah, aku takut dunia luar. Setelah ditelusuri lebih lanjut, dokter Mike mendiagnosis aku mengidap social anxiety disorder. Aku selalu merasa sensitif jika menyangkut penampilan. Tanganku mulai berkeringat, sehingga intuisiku bergerak mengambil tisu dan mengelap keringat itu.
"Oh tidak, Sayang. Justru Bunda sangat takjub. Kau seperti aktor tampan dalam serial TV."
Bunda bergerak melangkah ke arahku. Dia sempat menangkap wajahku dengan semringah. Tampaknya merasa bahagia karena aku mulai membuka diri pada dunia luar.
"Terima kasih, Bunda."
Bunda menyambutku dengan menuntunku duduk di ruang makan. Dia membiarkan aku duduk di samping ayah tiriku. Aku menyapa ayah tiriku dengan mengucapkan selamat pagi.
"Selamat pagi, Zul!" sapa ayah tiriku.
"Kau terlihat menakjubkan hari ini. Mau ke mana pagi ini?" lanjutnya tak kalah terkesima pada penampilanku.
"Ada seminar yang akan aku hadiri. Aku akan naik mobil sendiri," kataku mantap.
Berada di dalam mobil cukup membuatku terhindar banyak orang. Aku masih bisa mengatasi fobia-ku jika berada di dalam mobil. Aku menyambar roti sebagai sarapan pagi ini mana kala sudut mataku menyaksikan ayah tiri dan Bunda bertatapan.
Aku yakin mereka tidak mendukung aku berangkat sendirian. Apa lagi aku tidak rutin menggunakan mobil sendiri. Aku bisa, tetapi tidak terbiasa.
"Ayahmu bisa antar jika kamu mau," sela Bunda.
Kata 'Ayah' selalu merujuk kepada ayah tiriku. Sebab ayah kandungku, kupanggil 'Daddy'. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana hubungan Bunda dan Daddy saat ini, karena keduanya sudah bahagia masing-masing dengan kondisi mereka. Keduanya sudah menemukan pengganti.
"Sayang. Jika Zul ingin berangkat sendiri. Biarkan saja. Kita harus mendukungnya mandiri," ujar ayah tiriku.
Aku tersenyum. Dia sangat suportif sebagai ayah tiri. Meskipun rasanya tidak seperti ayah kandung. Aku tetap menghargai dia sebagai ayah sambungku.
"Baiklah. Kamu akan naik mobil sendiri. Jika ada sesuatu yang terjadi. Jangan lupa hubungi kami."
Bunda berujar tajam. Aku hanya mengiyakan perkataan Bunda. Berharap tidak ada hal buruk yang terjadi padaku hari ini.
Aku sempat bertanya mengapa ayah tiri dan ibuku di rumah saat mereka seharusnya bekerja. Mereka menjelaskan kalau hari ini merupakan hari minggu. Aneh sekali. Aku bahkan lupa hari ini hari apa.
"Bunda... Boleh aku mendapatkan kunci mobilnya?" tanyaku beberapa saat kemudian.
"Tentu!"
Bunda menunjukkan ekspresi antusias. Dia terlalu sibuk membuat sarapan sampai lupa bahwa aku sangat membutuhkan kunci mobil hari ini. Jangan bingung! Aku tidak memiliki mobil pribadi.
Tentu saja aku hanya akan meminjam mobil ibuku. Aku memang payah. Di usia 25 tahun ini, aku belum menjadi apa-apa. Aku pengangguran yang sakit jiwa. Sangat berbeda dengan Zander.
Aku tidak tahu mengapa ia terlahir dengan banyak kesempurnaan. Dia sukses di usia muda. Memiliki pacar yang cantik. Aku kalah dalam segala hal dari Zander. Meskipun kami kembar, kami sama sekali tidak sama. Aku dengan segala kekuranganku. Sementara Zander dengan segala kelebihannya. Dia adalah pria idaman banyak wanita.
Bunda mengusap rambutku sebelum melangkah ke kamarnya mengambil kunci mobil. Aku tertegun lama. Baru kemudian mengunyah pelan sisa roti yang ada di mulutku. Jika dipikir-pikir, aku merasa seperti anak kecil. Aku tidak memiliki apa-apa.
Saat Zander sudah memiliki rumah sendiri. Aku masih menumpang di rumah orang tuaku. Aku menjadi pengganggu dalam rumah tangga antara ayah tiriku dan Bunda. Meskipun mereka tidak pernah mengeluhkan tentang aku. Tetap saja, sebagai anak aku merasa tidak enak.
Terlebih, saudara kembarku Zander sudah bisa tumbuh sendirian. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa disuapi segala hal. Sangat berbeda dengan aku. Badanku besar, tetapi jiwaku masih seperti jiwa bocah. Aku tidak sukses seperti Zander. Aku hanyalah sebuah beban.
"Lagi mikirin apa, Zul?"
Ayah tiriku memberikan tatapan simpati. Dia memang tidak pernah menginginkan aku dan Zander terlihat sedih. Sebisa mungkin ia akan bersikap selayaknya ayah yang sesungguhnya untuk kami.
"Tidak apa-apa, Yah. Hanya memikirkan hal-hal kecil saja," jawabku.
Ayah tiriku mengangguk. Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya. Akan tetapi, tatapannya kepadaku penuh arti.
"Dengar, Zul! Apapun yang kau cemaskan itu sama sekali tidak benar! Kau adalah anak paling mengesankan yang pernah ayah kenal." Dia tersenyum.
"Orang bijak berkata, 'Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain. Tetapi bandingkan dirimu dengan versi kamu yang dulu."
Ayah tiriku memberikan semangat. Kata-katanya sederhana. Namun, makna di dalam kata itu benar-benar dalam. Aku bangga memiliki ayah tiri sepertinya.