bc

Mengejar Cinta Rina

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
family
HE
fated
friends to lovers
confident
drama
tragedy
bxg
lighthearted
office/work place
widow/widower
civilian
like
intro-logo
Blurb

Zein adalah seorang duda yang bekerja sebagai guru. Ia tengah menyukai seorang wanita bernama Rina Handayani. Berbagai usaha dilakukannya untuk mendapatkan cinta Rina. Tetapi tantangan yang dihadapi sangat berat. Ternyata Rina sudah memiliki calon suami. Pada akhirnya Zein harus menerima bahwa Rina Handayani bukanlah jodohnya. Calon suami Rina menikahi Rina saat Zein sedang cinta-cintanya kepada Rina. Namun tidak lama setelah Rina Handayani menikah, Ibu Aini, teman kerjanya memperkenalkan Zein kepada sepupunya yang bernama Rina Anggaraini. Zein pun menikah dengannya.

chap-preview
Free preview
BAB 1 : Hanya untuk Rina
“Allahu Akbar... Allahu Akbar.” Suara azan subuh memanggil. Aku biasa bangun sebelum azan subuh, jadi ketika suara azan terdengar, aku sudah siap dengan baju koko, sarung, dan songkok hitamku. Jarak masjid tidak terlalu jauh dari rumahku. Ku pakai sandal jepit sejuta umat, Swallow warna biru. Ku parkirkan ia dengan rapi di depan pintu masjid dan langsung melaksanakan salat qabliyah subuh lalu disambung salat subuh berjamaah. Setelah salat subuh biasanya di masjid tempat ku salat selalu ada pengajian rutin. Setelah pengajian rutin selesai, aku pulang ke rumah, bersiap untuk berangkat ke sekolah. Jarak sekolahku cukup jauh, sekitar 14 KM. Aku mengendarai sepeda motor beat warna hitam. Biasanya aku sampai di sekolah pukul 06.50. Tapi hari ini aku sampai lebih pagi, jam 06.30 aku sudah di berada sekolah. Biasanya sesampainya di sekolah, aku selalu disambut wanita idamanku, Ibu Rina Handayani. Tapi karena aku datang terlalu pagi, Ibu Rina belum tiba di sekolah. Ibu Rina adalah teman sekantorku yang aku sukai sejak lama. Oh iya, aku seorang duda. Aku pernah menikah dengan seorang wanita bernama Dea, tapi pernikahan pertamaku tidak berlangsung lama. Hanya beberapa minggu saja. Masalah rumah tanggaku cukup rumit. Bukan hanya menghadapi sifat kekanak-kanakkan Dea, tapi aku juga harus menghadapi mertuaku yang banyak menuntut. Cukup lama rasanya aku ingin menikah lagi. Semoga kali ini berhasil, semoga Ibu Rina mau menikah denganku. Mungkin tubuh Rina tidak selangsing kebanyakan gadis. Usianya pun sudah mendekati 30-an. Tapi dari semua gadis di kantor ini, dia nomor 1. Aku sudah lama berusaha mendekatinya, tapi belum berhasil. Sambil menunggu Ibu Rina tiba, aku membuka laci mejaku. Di situlah aku menyimpan gel rambut dan sisir hitam andalan. Jangan lupa rambut harus glowing saat Ibu Rina tiba. 20 menit kemudian, Ibu Rina tiba di ruang guru, “Assalamualaikum.” Aku jawab dengan semangat, “Wa’alaikumussalam. Eh Ibu Rina....” “Tumben Pak Zein sudah ada di sekolah, biasanya aku duluan yang sampai.” Begitulah gaya bahasa Bu Rina, aku kadang baper hanya dengan kata “aku” yang keluar dari mulut Ibu Rina. “Iya Bu, sekarang saya jadi Pembina Upacara. Ibu Rina sehat? Keliatannya sedang flu, kok hidungnya merah.” “Iya nih Pak, dari kemaren kena flu.” Balas Ibu Rina. Aku hanya tersenyum sambil mengatakan, “Semoga cepat sembuh ya, Bu.” Guru-guru mulai memenuhi ruang guru. Duduk di sebelahku Pak Arie, lalu di sebelah Pak Arie ada Pak Han. Pak Han ini yang sebenarnya dekat dengan Ibu Rina. Ibu Rina sudah dianggap kakak oleh Pak Han. Ah tapi mereka hanya dekat seperti kakak adik, bukan pacar atau calon pengantin. Jadi aku tidak berpikiran yang macam-macam tentang keduanya. *** Kriiing, Kriiing, Kriiing Bel 3x sudah berbunyi. Tandanya upacara bendera sudah akan dimulai. Aku menjadi Pembina Upacara hari ini. Tema yang kuangkat adalah masalah percintaan di kalangan siswa. Jangan sampai mereka lupa dari tujuan sebenarnya mereka pergi ke sekolah. Setelah upacara ada waktu kurang lebih 10 menit untuk para siswa melaksanakan opsih. Aku duduk di kursi, mempersiapkan bahan ajarku hari ini. Tiba-tiba Pak Han dan Ibu Rina memasuki ruang guru bersamaan sambil tertawa. Setelah keduanya duduk di kursi masing-masing, aku bertanya ke Pak Han. “Pak, kayanya seru tadi sama Ibu Rina, ngetawain apa sih?” “Ah dasar Ibu Rina, dia flu, tapi maksain ke sekolah, sampai hidunya merah, kaya badut.” Jawab Pak Han. Aku pun tertawa kecil. Memang kalau dilihat-lihat, Ibu Rina seperti badut hari ini, tapi dia tetap cantik dan lucu. Hehe. Bel masuk kelas pun berbunyi. Sebelum menuju kelas, aku sempat bercanda dengan Ibu Rina, “Hayu bu kita masuk.” “Iya Pak Zein, ini baru mau jalan.” Ujar Ibu Rina sambil berdiri dari duduknya. “Hayu bareng, Bu.” Ajak ku. “Pak Zein duluan aja.” Balas Ibu Rina. Yah,, gagal. Padahal aku ingin jalan bersama dia menuju kelas. Pak Aries yang melihat itu tertawa puas. “Sabar ya ustaz, hahaha.” Semua guru memang sudah tau bahwa aku menyukai Ibu Rina. Bahkan hampir setiap hari mereka bercanda tentang aku. Tapi aku tidak ambil pusing, karena jalan menuju cinta sejati memang tidak selalu mulus. Yang aku fokuskan adalah bagaimana caranya supaya Ibu Rina mau menikah denganku. *** Kriiing, Kriiing, Kriiing Bel istirahat telah berbunyi. Aku mengeluarkan bekal yang dibuatkan oleh ibuku. Walaupun aku bukan anak-anak lagi, tapi aku lebih senang memakan masakan ibuku daripada harus jajan keluar. Aku menawarkan makanan ibuku kepada teman-teman kantorku. “Ini Bapak Ibu, silahkan diambil saja kalau mau.” Menuku hari ini simpel. Nasi putih dengan lauk ayam serundeng dan sayur tauge. “Bu Rina, udah makan belum? Sini makan bareng.” Ucapku menggoda. Rekan-rekanku hanya tertawa, sedangkan Bu Rina menolak dengan halus. “Makasih pak. Tapi saya sudah nitip ke anak untuk belikan jajanan di depan.” Kadang aku mencoba bercanda dengan Bu Rina, tapi dia tidak pernah menanggapi. Walaupun di kantor Ibu Rina cukup cuek kepadaku, tapi kepada Pak Han dan teman-teman yang lain sangat berbeda. Bahkan Ibu Rina dan Pak Han memiliki panggilan sendiri. Ibu Rina memanggil Pak Han dengan panggilan “Mas”, sedangkan Pak Han memanggil Ibu Rina dengan panggilan “Mbak.” Aku pernah mendengar keduanya bercakap dengan panggilan itu. Kenapa bukan aku saja yang menyandang gelar “Mas” dari Ibu Rina? Kenapa harus Pak Han? Usia Pak Han lebih muda 5 tahun dibanding Ibu Rina. Pak Han baru bekerja di sekolah ini selama 5 tahun. Sedangkan aku dan Ibu Rina sudah bekerja di sekolah ini selama hampir 8 tahun. Karena selama ini Ibu Rina tertutup masalah kisah asmaranya, aku mencoba cara lain. Pak Han. Iya, aku mencoba mendekati Pak Han untuk bertanya tentang Ibu Rina. Setelah selesai makan, aku mencuci tangan di wastafel kantor. Untuk menuju ke wastafel kantor, aku harus melewati meja Pak Han dan Ibu Rina. Tapi untungnya Ibu Rina sedang ke toilet. Aku segera mendekati Pak Han dan bertanya, “Pak, mau nanya. Tapi jangan bilang-bilang ke Ibu Rina.” ucapku. “Allau Akbar,, kaget saya! Mau nanya apa, Pak?” jawab Pak Han kaget. “Ibu Rina itu sebenarnya sudah punya calon apa belum sih, Pak?” tanyaku penasaran. “Emmm.. setau saya sih dia sudah punya. Tapi sebelum janur kuning melengking... eh melengkung... gas saja, Pak.” Jawab Pak Han. Jawaban Pak Han seolah memberi lampu hijau kepadaku. Betul juga, selama janur kuning belum melengkung, kesempatan itu masih terbuka. Selama ini mungkin Ibu Rina menyangka aku bercanda, karena aku sering menggodanya di depan teman-teman kantor, tapi sebenarnya aku serius ingin menikahinya. Ibu Rina sudah berjalan menuju mejanya kembali dari toilet. Aku pun segera beranjak menuju wastafel untuk mencuci tangan. *** Waktu menunjukkan pukul 12.20. Seluruh siswa sudah bergegas keluar kelas. Sudah waktunya mereka pulang. Begitupun dengan guru-guru, kecuali aku, Pak Amad dan Ibu Leyya yang harus mengajar anak-anak sekolah agama. Dimulai pukul 13.00 dan selesai pada waktu Asar. Masih ada waktu kurang lebih 40 menit sebelum aku mengajar sekolah agama. Aku pakai waktu 40 menit itu untuk salat zuhur, makan siang dan istirahat sebentar, merebahkan diri di sofa yang ada di ruang guru. Tapi aku tidak bisa tidur siang ini. Mataku tidak mau terpejam. Ku lihat waktu menunjukkan pukul 12.45. Masih ada 15 menit waktu kosong. Ku lihat Ibu Leyya baru selesai salat zuhur, sedangkan Pak Amad hanya menatap layar handphonenya. Aku pun menghampiri Pak Amad. “Lagi ngapain, Pak?” tanyaku. “Ah biasa aja. Melihat-lihat jadwal pertandingan Persib Bandung.” Jawab Pak Amad. “Pasti juara Persib, saya mah yakin. Persija sudah tidak ada harapan untuk juara. Persib kan tinggal main beberapa kali lagi. Lawannya pun tidak terlalu berat.” Balasku dengan semangat. “Iya semoga juara, kita ikut arak-arakan konvoinya nanti di Bandung.” Ucap Pak Amad dengan semangat melebihi semangatku. Sebenarnya niatku menghampiri Pak Amad adalah untuk curhat masalah Ibu Rina. Karena Pak Amad sudah menikah dan rumah tangganya langgeng sampai hari ini, aku ingin meminta tips bagaimana cara aku mengajak Ibu Rina untuk menikah. Mengingat pengalaman pernikahanku yang pertama berakhir pahit, kali ini aku ingin betul-betul belajar dari nol. Tapi tak terasa, mengobrol tentang Persib Bandung membuat waktu terasa berlalu begitu cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Aku, Pak Amad dan Ibu Leyya bergegas masuk kelas. Pertanyaan tentang Ibu Rina belum sempat aku tanyakan. Kami mengajar sampai asar. Rintik-rintik hujan turun yang mengenai atap asbes membuat suaranya seperti sedang hujan besar. Aduh, bagaimana ini. Bisa-bisa aku pulang magrib kalau begini. Ucapku dalam hati. Ibu Leyya keluar kantor dan membuka payung kuningnya. “Ibu Leyya,,, hujan bu, nanti saja tunggu reda!” Ucapku kepada Ibu Leyya. “Saya sudah ada yang jemput, Pak. Sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Mari Pak saya pulang dulu.” “Oh iya kalau begitu, silahkan bu. Hati-hati di jalan ya bu.” Di ruang guru tersisa aku dan Pak Amad yang menunggu hujan reda. Ah ini waktu yang pas untuk aku bertanya, mumpung tidak ada siapa-siapa di ruang guru. “Pak, saya mau nanya nih.” Ucapku lirih. “Tanya apa, Pak? Ibu Rina ya?” jawab Pak Amad sambil tertawa mungil. “Aduh... Kok Pak Amad tau. Emang saya sekelihatan itu ya suka sama Ibu Rina?” tanyaku dengan panik. “Sangat terlihat, Pak. Saya sudah amati sejak lama, Bapak sangat terlihat berusaha mengejar cinta Ibu Rina.” jawab Pak Amad serius. “Saya jadi maluuu, kira-kira guru yang lain gimana ya responnya?” tanyaku. “Emmmm... Kayanya sih ga ada masalah, Pak. Toh Ibu Rina belum menikah, Bapak juga masih single. Ya walaupun...” Pak Amad menyeringai dan berhenti sejenak. “Walaupun apa, Pak?” tanyaku penasaran. “Walaupun katanya sih Ibu Rina itu sudah ada calonnya. Tapi saran saya coba saja Bapak dekati Ibu Rina itu. Asal jangan terlalu mencolok, nanti Ibu Rina-nya malah risih.” Saran Pak Amad memang jitu. Hari ini Pak Han dan Pak Amad memberiku semangat untuk terus mendekati Ibu Rina, walaupun kata mereka berdua, Ibu Rina sudah punya calon. Kulihat keluar, ternyata hujan sudah reda, tinggal gerimisnya saja. Waktu menunjukkan pukul 17.30. Tepat seperti prediksiku, pasti aku tiba di rumah tepat di waktu magrib. Aku pun tancap gas menuju rumah. Setelah salat magrib ada pengajian rutin di masjid, aku harus hadir.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
42.2K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
4.3K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
7.4K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
32.4K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
9.3K
bc

Desahan Sang Biduan

read
44.2K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
20.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook