bc

Tiga Hati

book_age18+
3.7K
FOLLOW
39.4K
READ
possessive
family
love after marriage
pregnant
sensitive
bxg
affair
polygamy
wife
husband
like
intro-logo
Blurb

"Kenapa Mas harus bohong sama Ara?"

"Rum. Bukan begitu. Tad___"

"Bukan apa? Mas sadar? Mas itu mulai berat sebelah."

"Sayang, dengarkan Mas dulu."

"Pulang lah Mas. Ara lebih butuh kamu. Minta tolong Mama saja, buat temani aku di sini."

"Rum. Jangan begini. Oke, aku salah. Aku hanya tidak ingin Ara kecewa. Aku hanya ingin menjaga perasaannya saja. Yang penting aku sudah di sini, untukmu." Aksa masih ingin membujuk Ningrum.

"Pulang lah Mas. Kalau Mas berani, jujurlah pada Ara."

Ningrum pun kembali merebahkan tubuh ringkihnya lalu menarik selimut rumah sakit ke seluruh badannya itu. Seakan ingin menutupi rasa sakit yang tak kasat mata.

Ketika sosok suaminya itu masih mematung di dekatnya, "silakan pulang Mas. Aku usahain nggak akan repotin kamu."

Cinta? Tentu saja ada diantara mereka bertiga.

Konflik? Tentu saja juga ada, karena hidup tak akan pernah lepas dari masalah.

Di sinilah, kisah itu akan terjawab, berhasilkah Aksa dalam rumah tangga poligaminya bersama Ningrum dan Tiara?

Happy reading ya?

Jangan lupa tap love dan follow saya...

Cover by @Riandra_27

chap-preview
Free preview
Satu
Waktu telah menunjukkan pukul 08.15 malam, di sini di ruang tamu rumah ayahku, kehidupan baru akan tercipta untukku. Mereka mengambil keputusan tanpa memerlukan pendapat ataupun ijinku. Iya, keputusan dalam rumah ini selalu dalam kekuasaan ayahku. Ayah yang aku sayang dan hormati sekaligus ayah yang keras dalam berprinsip. Aku, Tiara Mayasari, hari ini atau tepatnya malam ini, telah dilamar seorang lelaki yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Tetapi ayah dan ibu sudah terlebih dahulu mengenalnya, karena ternyata, lelaki itu masih kerabat keluarga besar kami. Dan dia adalah, Aksa Mahardika Kalandra, lelaki yang digadang-gadang menjadi calon suamiku. Aksa datang melamar bersama keluarganya, yang terdiri dari bapak, ibu, adik, dan satu lagi istri sah-nya. Aku, dilamar oleh mereka untuk dijadikan istri ke-dua. Entah, apakah sebelum ini mereka sudah mengadakan pertemuan tanpa aku, karena malam ini juga ayahku menerima lamaran mereka, dan meyakinkan aku agar aku bersedia. Ibuku, yang duduk di sebelahku hanya mengusap-usap punggungku tanpa membelaku. Hanya mencoba memberi kekuatan melalui usapan dan genggaman tangan halusnya. Jika ada yang bertanya, kamu kan bisa menolak kalau tidak mau, itu semua tak semudah praduga orang. Ayahku, orang yang keras, kami di keluarga ini sudah terbiasa di bawah kendali ayah. Sudah terbiasa mengikuti apapun yang beliau putuskan. Walaupun aku anak perempuan satu-satunya dari mereka, tak ada hal yang diprioritaskan untukku. Bahkan, adek laki-lakiku sendiri pun, dia juga tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dari ayah atau ibu. Semua sama bagi mereka. Kami terbiasa patuh dan taat pada ayah. Melihat bang Aksa untuk pertama kalinya, hatiku belum merasakan apapun. Aksa bukan lelaki yang sangat tampan rupawan bak pangeran negeri kayalan, dia lelaki berparas lumayan tampan dengan perpaduan manis, mata yang teduh namun penuh keyakinan terkadang juga terlihat tajam, kulit sawo matang warna umum pada kulit lelaki, senyumnya terlihat menawan, tingginya hampir dikisaran seratus delapan puluhan, dengan berat badan yang mendekati ideal. Bukan terlihat buruk, namun satu yang membuat hatiku berat menerima Aksa. Dikarenakan dia telah beristri. Sedangkan istrinya, mba Ningrum, adalah wanita yang cantik dan anggun, murah senyum, dan tidak ada nampak wajah sedih resah yang terlihat. Aku belum menemukan jawaban, mengapa mereka berniat mengambilku menjadi madu-nya, mengajakku masuk ke dalam kehidupan mereka. Pasangan seperti apa sebenarnya mereka ini? "Bolehkan aku bicara? " akhirnya aku beranikan mulut mengeluarkan kata-kata. Walau ayah keras, aku rasa beliau tak akan memarahi-ku di sini, di depan tamu-tamu pentingnya. Semua mata akhirnya beralih menatapku. Ayah nampak ber-dehem, sedangkan ibu mengeratkan genggaman pada tanganku. Seolah mengingatkan padaku untuk berhati-hati dalam berbicara. "Silahkan dek..." bang Aksa dengan senyum manisnya memberikan waktu padaku berbicara. Menambah kharismanya bersinar. "Aku ingin berbicara dulu pada mba Ningrum, tolong kasih alasan, mengapa mba memberi ijin pada bang Aksa untuk memperistiku juga? Tidak cemburu? Tidak takut aku merebut perhatian suami mba suatu saat nanti? " tanyaku dengan jelas dan sedikit ketus. Aku tak mampu berbasa-basi, karena memang itu salah-satu sifat asliku. Orang yang aku sebut namanya, nampak ber-dehem sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. "Dek... " sapanya terdengar lembut. "Panggil Ara aja mba, " jawabku cepat. Aku belum siap saat ini, jika harus menjadi adek madu-nya.Maka dari itu, aku tak suka dengan panggilannya untukku yang seolah-olah ingin akrab dan dekat padaku. "Baiklah, Ra... " wanita yang masih muda dan lembut itu menjeda kalimatnya. "Tak ada alasan apapun yang bisa aku katakan Ra, karena memang tak ada alasan untuk menjelaskannya. Cuma satu, beginilah caraku mencintai suamiku... Aku harus mendukungnya, Mas Aksa sudah meminta ijinku dengan caranya, dan jawabanku aku rela, aku ikhlas, aku bersedia akan berbagi suami denganmu... Tolong terima ya, kita bertiga bisa belajar setelah ini. " jawab mba Ningrum sedikit memohon. Duhai hati, wanita macam apa yang duduk di sebelah calon suamiku itu? "Tapi mba, aku bukan type perempuan yang bisa atau mau berbagi, apalagi tentang suami. Entah apa yang sudah kalian rencanakan tanpaku, aku bisa menjadi egois jika berhubungan dengan hal yang sudah menjadi milikku, " ucapku sedikit kesal. Aku berkata seperti itu bukan tanpa sebab. Aku hanya ingin dia sadar, bahwa dia bisa kehilangan cinta suaminya jika tetap bersikeras mengambilku menjadi madu. "Kita bisa belajar Ra... Kita bisa jalani ini dulu... Yang penting aku sudah mengijinkannya kan? Dan tentang perkataanmu itu, aku sudah yakinkan semua pada hati ini, jika mas Aksa memang masih jodohku, dia akan tetap jadi suamiku, kau tak perlu risaukan tentang perasaanku. " tambah mba Ningrum masih mencoba merayu hatiku, duhai hati, terbuat dari apa hatinya, cinta model apa yang ia punya? "Mba sudah ikhlas, hati mba sudah menerima. Tapi, apa kalian tahu tentang hatiku juga? Apakah kalian tidak ingin mengetahuinya? " kataku setenang mungkin. "Dek. " suara bang Aksa memutus pembicaraanku dengan mba Ningrum. "Intinya dek Ara mau menerima tidak lamaran saya? Jujur, sebelum ini, jauh-jauh hari kami sudah membahas tentang ini, dan ayah ibu dek Ara serta istri saya sudah memberi restu. Tapi, saya tetap meminta pendapat dek Ara, menerima saya atau menolaknya? " perkataan Aksa terdengar biasa-biasa saja, namun sangat jelas meng-intimidasi di gendang telingaku. "Kami sudah terima nak Aksa, apa keputusan ayah, keputusan Ara juga. " terdengar suara ayah menyela pembicaraan kami bertiga. Dan aku hanya menghembuskan nafas berat. Sudah finish, sudah akhir. Itulah keputusannya. Jika suara ayah sudah terdengar, itu pertanda suaraku tidak diperlukan lagi. Kembali aku hanya bisa menghela nafas lelah. Mungkin sudah bagian dari takdir hidupku. "Bagaimana dek? " Aksa kembali bertanya, seperti ingin memastikan aku bersedia menerimanya tanpa paksaan. "Apa yang bisa aku katakan. Kalian yang pegang kendali bukan? " jawabku sedikit kesal. "Ara. Yang sopan. Aksa calon suamimu. " ayah tidak pernah marah padaku, karena memang aku tidak pernah membantahnya, aku kategori anak yang penurut. Apalagi suara tegasnya sudah keluar, aku semakin tak berani melawannya. "Iya yah. Maaf. " ucapku sambil menunduk. Setetes bulir air mata berusaha mendesak ingin keluar dari ujung mataku. Aku harus kuat, aku harus bertahan. Bukankah ini hari bahagia? Menurut kata orang-orang. Setelah itu, aku tidak terlalu mendengarkan apa-apa yang mereka bicarakan. Tentang persiapan pernikahan yang akan diselenggarakan bulan depan. Aku seperti wayang, yang harus siap dijalankan oleh dalang-nya. Aku bukan anak gadis yang mudah jatuh cinta. Seumur hidup hingga kini belum pernah aku merasakan bagaimana berpacaran seperti teman-temanku. Bukan tidak laku atau tidak ada yang suka kepadaku. Tetapi, karena aku tidak mau. Ayah adalah salah satu alasan aku tidak berpacaran. Ayah melarang keras. Jika memang aku berkeras ingin berpacaran, maka aku harus mau menikah. Itulah aturan ketat dari ayahku. Yang berlaku juga untuk adek laki-lakiku. "Ara? apakah kamu setuju dengan konsep pernikahannya? " suara mba Ningrum membuyarkan lamunanku. Saat aku menatap netra-nya, di sana terlihat kebahagiaan yang tersirat, yang jelas tak aku mengerti. "Terserah kalian. Aku ikut saja. Yang penting jangan terlihat mewah. Aku tak suka. " jawabku kemudian. "Baiklah. Kita ikuti saran Ara. " ucap Aksa lembut dan tatapan mata itu terus saja memandang ke arahku. Hai! Di sebelahnya ada istri sah-nya, namun matanya kenapa harus memandangku, sungguh pria yang egois. Aku bisa saja belajar mencintai calon suamiku nantinya, namun menikahi suami orang? Itu tak pernah masuk dalam anganku. Bahkan tak ada dalam list cita-cita hidupku di masa depan. Jika Aksa pria single mungkin tak akan ada drama keluhanku tadi. Aku pasti menerimanya dengan tangan dan hati terbuka. Apalagi Aksa, bukan termasuk pria yang berwajah buruk. Tetapi? Aku sadar itu bukan dari bagian hidupku. Apakah mereka yang ada di ruangan ini akan paham? Poligami? Selalu yang muda, yang menjadi omongan orang luar, walaupun itu atas kehendak istri yang pertama. Dan selalu yang muda mendapatkan predikat buruk di mata umum dan masyarakat. Aku sangat takut, tapi setelah ini, aku harus benar-benar siap menjalaninya.... . Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dua Cincin CEO

read
231.3K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.6K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

The Ensnared by Love

read
103.8K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook