Pagi itu, sinar matahari tak mampu menembus mendung di langit. Aluna berjalan seperti orang kesurupan. Tubuhnya hadir di dunia nyata, tapi pikirannya terseret ke lorong gelap tempat pria itu berada.
Ia tak pernah berniat kembali.
Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah. Tak bisa ditahan. Panggilan itu terlalu kuat—mendesis dalam darah, membisik di balik telinga. Seolah tubuhnya bukan miliknya lagi.
Dan kini, ia berdiri lagi di depan gedung itu. Nocturne Corporation.
Gedung tinggi itu menjulang seperti istana kegelapan. Tidak ada papan nama. Tidak ada receptionist. Hanya lift perak yang terbuka begitu ia datang. Seakan sudah menunggunya.
Dengan ragu, Aluna masuk. Dan lift bergerak… turun.
Jantungnya berdetak cepat.
Saat pintu terbuka, ia kembali melihat ruangan luas yang sama. Rak buku kuno, aroma kayu tua dan anggur merah, dan… pria itu.
Veylor.
Kini ia berdiri menghadap jendela besar, membelakangi Aluna. Jas hitam pas badan membungkus tubuh tingginya—hampir dua meter—tegap dan anggun dalam waktu bersamaan. Rambutnya hitam legam, panjang sedikit melewati kerah, tergerai rapi seperti rambut pangeran dari negeri dongeng gelap.
Begitu ia berbalik, Aluna kembali terdiam.
Wajah itu… terlalu sempurna untuk dunia nyata.
Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, bibirnya tipis tapi berwarna merah pucat seperti kelopak mawar di musim dingin. Kulitnya putih porselen, bersih tanpa cela. Namun yang paling memikat adalah sepasang mata gelap yang dalamnya seperti malam abadi—bisa menelan siapa saja yang terlalu lama menatapnya.
Tidak hanya tampan, Veylor seperti dibuat dengan presisi surgawi—atau mungkin… kutukan neraka.
Aluna tak bisa mengalihkan pandangannya, bahkan ketika pria itu mendekat. Langkahnya tenang, suara sepatunya nyaris tak terdengar. Setiap gerakannya seperti koreografi: halus, elegan, dan mengintimidasi.
“Kau kembali,” katanya dengan senyum setengah.
“Kenapa… aku kembali?” bisik Aluna, hampir seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“Kau sudah terikat. Sedikit saja darahmu menyatu denganku… dan tubuhmu mulai mengenal siapa pemiliknya sekarang.”
“Pemilik?” Aluna melangkah mundur. “Tunggu. Saya manusia, bukan properti—”
“Dan aku tidak sedang memperbudakmu. Aku hanya mengatakan kenyataan.” Ia menyentuh d**a Aluna perlahan. “Tubuhmu merespons. Kau tahu itu. Rasa panas, detak jantungmu, mimpi-mimpimu tadi malam…”
Aluna tersentak. “Kau tahu?”
“Aku bisa mendengarmu… saat kau memikirkanku.”
Gemetar. Tubuh Aluna memberontak, tapi pikirannya… justru ingin lebih dekat.
“Jadi… benar kau vampir?”
“Aku bukan legenda murahan. Aku nyata, Aluna. Dan aku butuhmu.”
“Untuk apa?”
“Untuk bertahan.”
Ia berbalik dan berjalan ke mejanya, mengambil gulungan kertas tua. Ia membentangkannya di meja: surat kontrak, dengan tulisan emas dan segel lilin hitam di bawahnya.
“Ini kontraknya,” ucapnya. “Sebagai asistenku. Kau bekerja malam. Tidak boleh membawa siapa pun ke sini. Tidak boleh bertanya tentang masa laluku. Dan… ada satu syarat utama.”
Aluna menelan ludah. “Apa?”
“Satu kali dalam sebulan,” katanya sambil menatap lurus ke matanya, “aku akan mengambil darahmu. Sedikit saja. Tidak akan menyakitimu. Tapi jika kau menolak setelah menandatangani… tubuhmu akan menolak juga.”
“Maksudnya?”
“Kau akan kesakitan. Dan perlahan, mati.”
Aluna menatap kertas kontrak itu. Kepalanya berputar. Nafasnya memburu. Tapi saat ia menoleh dan menatap wajah sempurna itu lagi—dingin dan tak tergoyahkan—ia tahu:
Dia bukan manusia. Tapi dia juga bukan pembohong.
Dan entah bagaimana, rasa takut itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih rumit.
Ketertarikan.
Darahnya mendidih. Lehernya masih panas. Suara dalam dirinya terus membisik:
Tanda tangani. Kau sudah masuk terlalu jauh…
Aluna menatap kertas di depannya. Tinta emasnya seperti menyala, dan nama Veylor De Noir sudah tertulis di bagian bawah, dengan tanda tangan yang tajam namun indah, seperti goresan darah beku di salju.
Tangannya gemetar saat meraih pena. Rasanya seperti mimpi.
Tapi saat ujung pena menyentuh kertas, suara napas hangat terasa di telinganya.
"Yakinkah kau, Aluna?" bisik Veylor di belakangnya.
Ia tak sadar kapan pria itu berdiri begitu dekat. Nafasnya menggelitik kulit lehernya—di tempat yang sama dengan bekas gigitan kemarin. Aroma tubuh Veylor menerpa: dingin, maskulin, dan memabukkan. Seperti wangi malam setelah hujan pertama.
Aluna memejamkan mata.
“Aku tak punya pilihan, kan?”
“Selalu ada pilihan,” gumamnya. “Tapi tubuhmu sudah memilih lebih dulu.”
Veylor menyentuh rambut Aluna, menyibakkannya ke samping. Sentuhannya ringan seperti embun, tapi juga membuat bulu kuduknya berdiri. Lalu, jari-jarinya menyusuri garis lehernya… pelan… seolah sedang membaca puisi dari kulitnya.
“Aku bisa mencium detak jantungmu dari sini,” bisiknya.
Tubuh Aluna menegang, tapi bukan karena takut.
“Aku tidak akan menyakitimu… jika kau menyerah padaku sepenuhnya.”
“Apa… kau selalu begini pada semua asistennya?”
“Tidak,” ucapnya, suaranya lebih berat. “Tidak ada yang sepertimu.”
Tangannya menyentuh pundak Aluna, lalu turun perlahan ke lengan. Ia membalik tubuh Aluna perlahan hingga mereka saling berhadapan. Wajah mereka hanya terpisah sejengkal.
Mata Veylor menatap matanya dalam-dalam—begitu dalam hingga Aluna merasa telanjangi seluruhnya. Ia tidak sedang menggoda. Ia… menguasai.
“Kau berbahaya,” bisik Aluna.
“Dan kau candu,” balasnya cepat.
Saat itu juga, Aluna menandatangani kontrak.
Tinta emas di atas namanya berkilau, lalu meresap ke dalam kertas—hilang seolah menyatu dengan isi perjanjian kuno itu. Seketika, ruangan terasa bergetar. Lampu meredup sesaat, dan Veylor menyentuh dagu Aluna dengan lembut.
“Sekarang kau milikku… sepenuhnya.”
“Bagaimana jika aku melanggar?”
Wajah Veylor mendekat. Sangat dekat. Bibirnya nyaris menyentuh telinga Aluna saat ia menjawab:
“Maka aku akan datang menjemputmu. Dengan cara yang… sangat intim.”
Nafas Aluna tercekat.
Tapi yang paling mengejutkannya bukan ancaman itu—melainkan fakta bahwa… bagian dari dirinya justru mengharapkannya.
Aluna berdiri kaku. Rasanya jantungnya akan meledak di d**a. Tinta emas yang memudar di atas kertas itu seperti menyegel sesuatu dalam dirinya—sebuah janji yang tidak bisa ditarik kembali.
Begitu pena jatuh dari tangannya, ruangan itu menjadi lebih sunyi daripada sebelumnya. Bahkan napasnya sendiri terdengar terlalu keras.
Veylor menatapnya, ekspresinya tenang… tapi mata itu menyala sedikit, seperti ada sesuatu yang bangkit di dalam dirinya. Seperti… kelaparan yang ditahan terlalu lama.
“Kau sudah terikat,” ucapnya pelan, nyaris tidak terdengar. “Selamat datang di sisi dunia yang tidak bisa dijelaskan manusia.”
Aluna masih memegang pergelangan tangannya. “Apa yang terjadi sekarang?”
“Kau akan memulai pekerjaanmu malam ini. Aku akan mengirim seseorang untuk memandumu mengenal bagian-bagian penting dari Nocturne. Ada banyak yang harus kau pelajari.”
Ia masih mencoba mencerna semuanya. “Apa aku akan… berubah?”
Veylor mendekat. “Belum. Dan semoga tidak. Aku tidak akan mengubahmu tanpa persetujuan penuhmu. Tapi ikatan darah akan menanamkan efek—mimpi, kedekatan batin, dan… ketergantungan kecil.”
Aluna mengernyit. “Ketergantungan?”
“Kau akan merindukan aromaku. Suaraku. Sentuhanku.” Suaranya dalam, nyaris seperti mantra. “Tapi kau tidak akan tahu itu sampai tubuhmu mulai mencarinya. Dan saat itu terjadi… akan sulit bagimu untuk menjauh.”
Aluna menelan ludah. “Kau terdengar… seperti racun.”
“Semua yang candu pada awalnya memang terasa seperti racun, bukan?” Ia tersenyum, tapi mata itu tak ikut tersenyum.