Langkah kaki Aluna menggema di lorong panjang berlapis marmer hitam mengilap. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena gugup menghadapi wawancara kerja, tapi juga karena atmosfer gedung ini terasa dingin dan asing. Seperti tempat yang tak seharusnya dikunjungi manusia biasa.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Di balik blazer hitam murah yang sedikit kedodoran, tubuhnya gemetar karena kelelahan dan kecemasan.
Sudah enam bulan ia menganggur sejak tempat kerjanya bangkrut. Ibunya sakit, adiknya masih sekolah, dan tagihan terus berdatangan tanpa ampun. Ia sempat menyerah, hingga sebuah lowongan misterius muncul di grup w******p pencari kerja: “Dicari asisten pribadi. Gaji tinggi. Syarat: loyalitas penuh. Tidak takut darah.”
Aluna pikir itu semacam lelucon. Tapi saat melihat alamat kantor dan nama perusahaannya—Nocturne Corporation—ia tergoda. Gajinya tiga kali lipat dari standar entry level. Maka, dengan sisa keberanian dan modal transport terakhir, ia nekat datang.
“Kalau gagal, minimal aku tahu rasanya wawancara di gedung mewah,” gumamnya getir.
Pintu hitam legam di hadapannya berdiri tinggi dan tak ramah. Ia mengetuk dengan ragu.
Tok. Tok. Tok.
“Masuk,” jawab sebuah suara bariton dari dalam. Dalam, halus, dan membuat bulu kuduknya berdiri.
Aluna mendorong pintu perlahan. Ruangan di baliknya luas dan tenang, dindingnya penuh rak buku kuno dan lukisan bergaya klasik. Tapi semua itu tak seberapa dibandingkan sosok pria yang duduk di balik meja besar.
Tampan. Dingin. Tak tersentuh.
Rambut hitamnya tertata rapi ke belakang, kulitnya putih pucat bagaikan porselen, dan mata obsidiannya menatap tanpa berkedip. Aluna sempat kehilangan napas barang sejenak.
“Aluna Prameswari,” katanya dengan suara yang dalam, menembus d**a. “Usia dua puluh tiga. Pernah bekerja sebagai resepsionis di pusat kebugaran dan admin freelance. Tidak punya catatan kriminal, darah O, dan tidak punya alergi terhadap logam.”
Aluna mengerutkan alis. “Bapak… tahu dari mana golongan darah saya?”
Pria itu tersenyum tipis. “Aku tahu lebih dari itu.”
Ia berdiri dan mendekat. Langkahnya nyaris tak bersuara, tubuhnya tinggi dan kokoh, tapi bergerak seolah melayang.
Aluna berdiri refleks, dan jantungnya mencelos saat pria itu menghentikan langkahnya hanya beberapa senti darinya. Wangi tubuhnya seperti malam musim dingin—dingin, pekat, dan entah kenapa… memabukkan.
"Kenapa kau melamar di sini?" tanyanya.
Aluna menelan ludah. “Saya butuh pekerjaan. Saya… bisa bekerja keras, saya nggak banyak tanya. Asal dibayar sesuai.”
“Tak takut bekerja malam hari?”
“Tidak.”
“Tak takut… dengan rasa sakit?”
Aluna mengerutkan alis. “Tergantung sakit macam apa.”
Pria itu tertawa pelan. Bukan tawa hangat, tapi seperti nyanyian malam yang menggoda sekaligus mengancam. “Menarik.”
Tanpa peringatan, ia mengangkat tangan dan menyentuh dagu Aluna, mengarahkannya pelan untuk menatap matanya.
Sentuhannya dingin, tapi tidak menyakitkan. Justru terlalu lembut, seperti bulu angsa yang menyapu kulit. Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, dunia terasa membeku.
Aluna tahu ia harus menjauh. Tapi tubuhnya seolah terpaku. Nafasnya menjadi tidak teratur. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang menghipnotis. Membuatnya ingin… mendekat.
"Luka kecil saja," bisik pria itu, nadanya nyaris seperti rayuan. "Kau bahkan tak akan sadar."
"Apa maksud—"
Sebelum sempat bertanya, Aluna merasakan sesuatu menusuk kulit tipis di lehernya. Tajam. Cepat.
“Ah!” Ia menjauh seketika, tangannya menutup bagian leher. Ada sensasi panas dan perih. Saat ia menengok, pria itu menatapnya—mata hitamnya kini berkilau merah. Ujung bibirnya basah oleh setetes darah.
“Kau menggigit saya?!”
Pria itu menunduk, memalingkan wajah. Sejenak, Aluna melihat jemarinya gemetar.
“Aku… tak bisa menahan diri,” katanya lirih. “Darahmu… terlalu murni.”
Aluna mundur. “Tunggu. Anda—Anda—apa Anda semacam psikopat?!”
Ia tertawa pendek, getir. “Sayangnya bukan. Aku adalah vampir.”
Kata itu meluncur ringan dari bibirnya, namun mengguncang seluruh dunia Aluna.
“Apa?!”
“Kau diterima,” katanya tanpa ekspresi. “Mulai hari ini, kau asisten pribadiku. Akan ada kontrak. Akan ada… syarat khusus. Tapi satu hal penting—jangan pernah masuk ke ruangan bawah, dan jangan pernah menawarkan darahmu tanpa sadar.”
Aluna terdiam. Kepalanya berdenyut. Ia ingin lari, tapi di sudut hatinya… ada bisikan aneh.
Seperti ketertarikan.
Seperti sensasi saat tadi dia disentuh dan digigit. Tak sakit. Justru... hangat. Menggoda.
“Kenapa saya?” bisiknya.
Veylor mendekat lagi, kali ini lebih perlahan. Jemarinya kembali menyentuh dagunya, lebih lembut, lebih pelan. Lalu turun ke lehernya, nyaris tak menyentuh tapi cukup membuat kulitnya merinding.
“Karena hanya darahmu,” bisiknya, “yang bisa membuat monster sepertiku… merasa hidup.”
***
Langit senja telah berubah kelam saat Aluna akhirnya turun dari ojek online yang membawanya pulang. Apartemen kecilnya di lantai empat bangunan tua itu terasa lebih suram dari biasanya. Lampu lorong berkedip, seperti ikut mencerminkan pikirannya yang penuh tanda tanya.
Ia membanting pintu kamarnya pelan dan bersandar di baliknya. Jantungnya belum juga stabil sejak keluar dari gedung Nocturne.
“Vampir? Serius? Di zaman seperti sekarang?” gumamnya sembari melepaskan blazer dan melemparnya ke sofa lusuh.
Ia berjalan ke depan cermin, menyingkap kerah bajunya.
Dua titik kemerahan, nyaris tak terlihat, namun jelas bukan gigitan serangga biasa. Seolah luka kecil itu mengolok-olok logikanya.
“Apa aku mimpi?”
Ia membuka ponsel, mencari nama Veylor De Noir atau Nocturne Corporation. Hasilnya nihil. Tidak ada satu pun profil, tidak ada satu pun berita. Bahkan peta pun tidak menunjukkan gedung tinggi gelap tempat ia datang tadi siang.
"Aneh banget..."
Ia menyentuh bekas gigitan itu. Panas. Berdenyut. Dan semakin lama, rasa itu menjalar ke leher, d**a, hingga tulang punggungnya.
Seolah darahnya—yang katanya “terlalu murni”—tiba-tiba mendidih.
Aluna duduk di pinggir tempat tidur, berusaha bernapas pelan.
“Aku harus lupakan semua ini. Mungkin... mungkin dia aktor, atau semacam ilusionis aneh? Bisa jadi ini cuma bagian dari proses seleksi. Tes mental. Yah, siapa tahu… semacam psikotes ekstrem.”
Tapi detik berikutnya, bayangan pria itu kembali mengisi benaknya. Tatapannya yang tajam. Senyum tipisnya yang mengancam tapi menggoda. Dan suara dalamnya saat berkata "hanya darahmu yang bisa membuatku merasa hidup".
Aluna memejamkan mata.
Kenapa kalimat itu seperti… masuk terlalu dalam ke dalam jiwanya?
Lalu ia mendengar sesuatu.
Desiran pelan. Seperti bisikan. Tidak di luar. Tapi di dalam dirinya sendiri.
“Kembali…”
Ia membuka mata dengan cepat. “Apa tadi?”
Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara.
Tapi rasa itu masih ada—panggilan samar yang menyeretnya secara tak kasatmata kembali ke tempat mengerikan itu.
“Ini gila… aku gila,” desisnya sambil berdiri. “Aku nggak mau mati hanya karena kerja. Besok aku tolak tawarannya. Gaji tinggi tapi nyawa melayang, percuma.”
Namun, langkahnya goyah. Tubuhnya terasa aneh. Seperti... ringan. Seperti bukan miliknya sendiri.
Dan yang lebih parah—semakin ia berusaha menjauh dari pikiran tentang Veylor, semakin kuat dorongan itu datang. d**a Aluna terasa panas. Tubuhnya menghangat seperti sedang demam, tapi bukan sakit.
Lebih seperti... rindu.
“Apa yang kau lakukan padaku?” bisiknya dengan suara parau.
Ia masuk ke kamar mandi dan mengguyur wajah dengan air dingin. Tapi rasa itu tak pergi. Justru matanya kembali memantulkan kegelisahan saat melihat pantulan dirinya di cermin—kulit pucat, bibir kemerahan, dan... mata yang mulai terlihat lebih gelap dari biasanya.
“Tidak. Ini sugesti. Ini cuma stres.”
Ia kembali ke kamar, mencoba tidur. Namun tubuhnya gelisah. Lehernya gatal. Dan sesekali, ia merasa seperti ada angin dingin yang menyusup ke dalam jiwanya dan membisikkan satu nama:
Veylor…
Sampai pagi menjelang, Aluna hanya bisa memeluk bantal sambil bertanya-tanya:
“Kalau dia bukan manusia… lalu apa yang sekarang sedang tumbuh di dalam diriku?”