Bloody Rose

1127 Words
[POV Maruap] Tahu apa kalian tentang penyembuhan? Aku bisa menyembuhkan diriku sendiri. Bahkan, aku kira kalian belum pernah merasakan kehilangan yang aku rasa saat ini. Di depan makam istriku ini,... ...Sylvie, bolehkah kau bercerita ke mereka yang berkata aku sudah tak waras? ----- Tapanuli, 1875 "Sylvie, kom hier!" Seorang pria paruh baya menjerit-jerit dengan wajah merah padam. Namun gadis muda itu malah seenaknya hilir mudik di halaman rumah istananya. "Nee, Daddy," balas teriak gadis bernama Sylvie Van Weiderveld. Dia tak mau menghadiri acara keluarganya sendiri. Padahal pamannya dari Amsterdam sudah penuh perjuangan datang ke Hindia Belanda. "Aku tidak mau ke sana lagi, pokoknya." Sebetulnya bukannya tidak mau. Hanya saja Sylvie merasa ada yang tak beres dengan setiap acara-acara keluarga Van Weiderveld. Bau-bauannya yang menusuk hidung dan bikin tak nyaman. Alunan musiknya yang aneh nan bikin bulu kuduk berdiri. Lalu... ... Sylvie menggeleng-gelengkan kepalanya. Pokoknya gadis muda berkepang dua dan pirang ini sudah memutuskan untuk tidak akan pergi lagi ke rumah bergaya campuran Eropa dan adat setempat. Baginya, tempat itu sangat horor. Sudah cukup tiap sekelabatan bayangan yang dilihatnya. Ia bertanya ke salah satu pamannya, pamannya malah menuduhnya berkelakar. Walaupun demikian, rasa ingin tahu dalam dadanya selalu saja mengusik. Takut memang, namun selalu saja ingin tahu. Sekarang ini Sylvie tengah berkecamuk dalam dadanya. Dia takut, tapi ingin tahu. "Hey," Sylvie kaget. Ia terbangun dari lamunannya di siang bolong. Ternyata kekasihnya, Maruap yang mengagetkannya. "Ah, jij,--Maruap," desis Sylvie pelan. "Kamu ini mengagetkanku saja." "Tengah apa, bidadariku yang cantik?" Maruap nyengir seraya menyeka dengan tangannya sendiri bulir-bulir keringat yang mengucur dari dahi Sylvie. "Mimpi burukkah?" Sylvie menggeleng. "Ah, nee, je hoeft het niet te weten (kamu tidak perlu tahu)." Walau seorang pemuda desa yang disekolahkan di sekolah rakyat, Maruap sedikit-sedikit paham bahasa Belanda. "Keluargamu keluargaku juga, Darling." "Ah, Maruap. Bisakah setidaknya kamu serius sedikit. Selalu saja terus menerus menggombaliku. " Maruap terkekeh-kekeh. "Sorry,--" Sylvie yang mengajarinya bahasa Inggris. "--terus kamu kenapa? Sehabis bertemu begu kah?" "Kamu tidak perlu tahu, Maruap. Ini rahasia keluarga besarku. Keluarga Van Weiderveld." tegas Sylvie dengan mata melotot. Obrolan sepasang kekasih tersebut di sebuah pematang sawah yang di jejauhan terdapat dua buah rumah bolon ukuran kecil itu terpaksa berakhir. ***** Hari berikutnya. Satu minggu setelahnya. Dua bulan berikutnya. Mau tak mau Sylvie harus menghadiri acara tersebut. Rumah itu--yang didatangi Sylvie-bagaikan sebuah istana. Arsitektur tiap ruangannya sangat menawan. Perpaduan gaya Gothic dan adat setempat. Dengan interior seperti itu, Sylvie sangat menyukai untuk tinggal di rumah Paman Matteo daripada rumahnya sendiri. Hanya saja ada yang menggelitik Sylvie. Segala keanehan tersebutlah penyebabnya. Bau-bauan itu, alunan pianonya, suara-suaranya, kelebatan-kelebatan itu,... dan kelopak-kelopak mawar merah gelap tersebut. Mawar-mawar itu ditaburkan di ruangan tersebut gunanya untuk apa? batin Sylvie menjadi-jadi. Lalu, peti mati itu juga, itu untuk apa? Mana mawar merah gelap itu baunya sangat anyir sekali. Selalu tiap ke ruangan itu, Sylvie harus mengernyitkan hidung. Kata Paman Harrys, Sylvie tak harus takut, nanti saat gadis muda itu berusia 25 tahun, akan terbiasa dan malah memang sudah lama dipersiapkan sebagai penerus ritual tersebut. Ritual? Ritual apa pula? Sylvie makin terbingung-bingung sendiri. Katanya, keluarganya itu penganut Katolik Roma yang taat, ayahnya rutin ikut misa tiap hari minggu, kenapa pula ada yang namanya ritual-ritualan? Aneh, pikir Sylvie. Mana ini ritualnya sama sekali tak ada tuntunannya di buku Puji Syukur-nya. Di kitab suci yang ia baca pun, tak ada yang mengacu soal penggunaan mawar merah gelap di sekitar peti mati, alunan piano mengerikan, sampai bau-baun aneh nan misterius nan mengganggu tersebut. ***** "Ah, Sylvie," ujar Maruap berapi-api. "Aku tahu artinya mawar merah gelap itu." Akhirnya terpaksa Sylvie menceritakan pula kegelisahannya pada kekasihnya. Kalau keluarga tak bisa diajak kompromi dan tak mau mengerti, itulah gunanya memiliki seorang kekasih. Semenjak mengenal Maruap di usia 13 tahun, Sylvie merasa hanya Maruap yang paling mengerti dirinya, yang paling memahami dan menerima Sylvie apa adanya. Maruap yang seorang pemuda desa, yang sehari-hari cenderung bertelanjang d**a tiap harinya dengan mengenakan ikat kepala ala adat sukunya, tidak pernah bosan dan menganggap aneh tiap ceritanya. Apapun yang diceritakan Sylvie, Maruap selalu percaya tanpa ada keraguan sedikit pun. "Memang artinya apa, Maruap?" tanya Sylvie dengan mata terbelalak sangat lebar. "Aku tahu itu dari pendeta di huta-ku. Kata Pak Pendeta Simon, mawar merah gelap itu sering dipakai dalam setiap ritual-ritual penguburan ala Eropa. Masakan kamu tidak tahu, Sylvie? Aku saja yang pribumi tahu." cerita Maruap terkekeh dengan nada bicara yang Sylvie agak kurang sukai. "Jangan mengejekku, kumohon, Maruap," desah Sylvie kesal. "Iya, iya, aku bercanda," Maruap meminta maaf dengan sebuah senyuman lebar. Diletakan serangkaian cantik melati putih ke kepala Sylvie. Sebelum Sylvie sudah angkat bicara lagi, Maruap memilih untuk melanjutkan kata-katanya. "Tapi sebaiknya kamu tak usah saja datang ke tiap acara keluarga besarmu itu, Sylvie?" "Memangnya kenapa, Maruap? Kamu kira aku ini seorang pengecutkah?" sindir Sylvie yang agak tersinggung. Namun Sylvie tahu, apalagi raut muka Maruap juga sudah menunjukannya, lelaki Batak itu tak hendak menakut-nakutinya. "Bukan begitu, Sylvie. Hanya saja, Pak Pendeta Simon bilang, ritual-ritual dengan menggunakan mawar merah gelap itu juga sangat sadis. Konon, mawar merah gelap itu juga dicampur dengan darah binatang, juga darah manusia. Prosesnya sangat tak manusiawi sekali. Begitu yang kudengar dari Pak Pendeta Simon, juga dari beberapa informasi lainnya." Lalu Maruap mengeluarkan sebuah buku tebal dari tas kumalnya. Maklum tas itu pemberian dari seseorang di sebuah acara yang diadakan di gerejanya. Lelaki itu pun meletakan buku tebal itu di kedua paha kekasihnya tersebut. "Coba kamu baca, khususnya halaman dan bagian ini," Bloody Rose Mau kaya, mau sejahtera, mau bahagia selalu bersama orang-orang terkasih? Silahkan dicoba! Bloody Rose Perlindungan Ampuh dari Para Pengganggu Hidup Anda 1. Lakukanlah ini di pekuburan. Atau, di sebuah ruangan berjendela juga disarankan. Namun pastikan ruangan itu tak bercahaya. Pastikan pula auranya seperti di sebuah pekuburan. 2. Harus dilakukan saat bulan purnama. 3. Gambarlah sebuah pentagram di lantai. 4. Tempatkan mawar biru di kiri, mawar merah di kanan, dan mawar hitam tetap kamu pegang. Ingat, kamu harus berada di tengah-tengahnya! 5. Masukkan segenap rempah-rempah ke mangkok yang telah kamu letakkan di tengah-tengah. 6. Letakkan mawar hitam di atas mangkok. 7. Ambil pisau, silet urat nadimu (jangan lupa tutup segera aliran lukamu), dan taburkan darahmu ke atas mawar-mawar itu. "Itu baru sedikit yang kutahu dari bloody rose itu." sela Maruap sewaktu Sylvie masih sibuk membaca dengan amat tegangnya. Lalu, Maruap memegangi erat kedua tangan Sylvie. "Sylvie, kamu jangan datangi acara itu lagi yah. Jujur karena kamulah, aku berubah dari gaya hidupku yang lama. Aku tahu beberapa hal dari praktek sukuku itu salah, dan itu karena kamu juga. Aku berusaha meninggalkannya karena kamu. Dan, sekarang sebagai tanda terimakasihku, aku mohon, jangan datangi lagi. Selain jauh lebih berbahaya dari praktek sukuku, jauh lebih sadis dan mengerikan. Aku tidak mau kamu kenapa-napa, Sylvie. Kumohon, jangan, tinggalkanlah." Sylvie hanya terus bergeming. Sekujur tubuhnya sangat tegang dan pasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD