Gadis yang dijual
"Setelah semua pengorbanan yang kulakukan, sekarang ibu akan menjualku? Itupun pada seorang gangster gara gara hutang kalian. Sebenarnya apa salahku..." Lila terduduk dengan tangan gemetaran, suaranya begitu lirih. Di luar sana, sudah menunggu empat laki laki dewasa berbadan kekar yang akan membawanya pergi.
"Lalu, kau mau adikmu yang pergi bersama para gangster itu? Adikmu masih di bawah umur. Jangan egois dan lakukan saja, Lila!"
Lila tahu ia hanyalah anak angkat. Ia hanyalah anak dari panti asuhan yang dirawat untuk 'memancing' kehamilan dari pasangan yang sehat tapi sulit memiliki buah hati. Awalnya, keluarga itu memperlakukan Lila dengan baik, tapi setelah kehadiran adiknya, anak kandung mereka, Lila seperti dilupakan bahkan dianggap beban.
"Aku tidak mau, aku takut. Bagaimana jika mereka membunuhku." suara Lila bergetar. Jantungnya tak berhenti berdenyut menyakitkan. Gadis itu menggeleng. Mengeratkan tautan kedua tangannya yang dingin.
"Itu tidak akan terjadi. Sudah kubilang ini hanya hubungan kontrak biasa. Kau hanya perlu tinggal bersama Bos selama lima tahun dan seluruh hutang keluarga kita lunas."
Keluarga kita? tatapan Lila menjadi nanar.
"Sejak kapan aku jadi bagian dari keluarga ini?!" Suara Lila mengeras. Nafasnya menderu menahan semua rasa sakit yang ia tahan selama ini.
"... Selama ini aku selalu sendiri. Sejak masuk sekolah menengah, ayah dan ibu bahkan tidak lagi bertanggung jawab atas kebutuhanku, aku bekerja dan berjuang hidup sendiri. Sekarang saat membutuhkanku untuk jadi tumbal, kalian baru menganggapku sebagai keluarga."
*Plak!
Tangan kekar Devon melayang ke wajah kecil Lila, nafasnya menderu penuh kemarahan. Devon sampai lupa untuk mengontrol tenaganya hingga membuat tubuh gadis itu sampai terbanting ke lantai dan hidungnya mengeluarkan cairan merah. Livi mendekat, menjambak rambut Lila ke belakang. Wanita paruh baya dengan wajah yang sudah mulai bergaris namun ia tutupi dengan make up tebal itu mendelik marah.
"Kau pikir berapa banyak yang kami bayar ke panti asuhan untuk mengadopsi mu? Kau pikir biaya tinggal di kota ini, di rumah ini juga gratis? Jika kau kami usir, sudah sejak dulu kau menjadi pengemis di jalanan. Jangan tidak tahu diri, Lila. Sejak awal kau itu cuma barang, barang yang kami beli untuk kami jual kembali."
Tangis Lila pecah. Wajahnya terasa kebas, telinganya juga sakit karena tamparan Devon benar benar keras untuk gadis yang masih baru menginjak dewasa. Bahkan sebenarnya telapak tangan Devon lebih besar dari wajahnya.
"Apa yang sedang terjadi, kenapa kalian merusak barangku?!"
Sebuah suara berat laki laki memecah ketegangan ruang tamu. Livi, ibu angkat Lila, langsung melepaskan tangannya dari rambut gadis yang duduk tak berdaya di lantai. Lila menunduk dalam, ia takut melihat pria yang akan membawanya pergi. Dari wajahnya yang tertunduk, Lila bisa melihat sepatu hitam mengkilat berada di sebelah tangannya yang menyangga tubuh.
Laki laki itu sedang berada di dekatnya. Suaranya tadi terdengar berat, dingin, dan penuh ketegasan.
"Maafkan kami, Tuan. Hal ini tidak akan terjadi kalau Lila tidak memberontak." Devon menjelaskan, berdiri dengan resah.
"Memang begini cara mendidik gadis ini, Tuan. Jika dia tidak bisa diatur, perlakukan saja semau anda." tambah Livi, dengan senyuman yang meremehkan pada anak angkatnya.
Mendengar apa yang dikatakan oleh kedua orang tua angkatnya, wajah Lila langsung mendongak, matanya menunjukkan keputusasaan. Harapan tentang hidup mandiri dan bebas yang selama ini ia dambakan sirna di hadapan orang yang telah membesarkannya selama ini.
"Ayah, ibu... Tidak... Kumohon jangan lakukan ini." Lila merangkak mendekati kedua orang tuanya. Livi yang tahu bahwa Lila akan memohon dengan bersujud di bawah kakinya, langsung saja menendang perut gadis itu agar menjauh.
Bagaimanapun, sebenarnya Livi juga pernah mencintai gadis itu sebagai putrinya. Livi tidak mau melihat Lila memohon, atau hal itu akan menjadi mimpi buruknya seumur hidup.
Di hadapan Damien, Lila tersungkur kesakitan, menangis terisak. Meski perut dan wajahnya terluka, entah kenapa bagian dadanya jauh lebih perih dari sakit fisik yang ia rasakan sekarang.
"Tuan, apa saya harus menyeret gadis itu untuk pergi bersama kita?"
"Tidak perlu. Kita tunggu di mobil, biarkan gadis ini mengikuti kita dengan kakinya sendiri."
Suara langkah kaki sepatu menggema di ruangan tamu itu. Pergi menjauh. Pintu kembali ditutup.
Ruangan senyap. Menyisakan Lila yang sesegukan sambil melingkari perutnya.
Livi menyusul suaminya duduk di sofa.
"Apa laki laki itu tadi bos nya?" bertanya pada sang suami.
"Ya, dia yang membeli Lila dengan harga mahal."
"Dia terlihat sangat muda. Apa pekerjaannya?"
Devon melirik.
"Apapun pekerjaannya bukan urusan kita. Mungkin prostitusi atau penyewaan preman. Kenapa bertanya? Kau khawatir dengan Lila?"
Livi menggeleng. Wanita itu sudah merelakan anak angkatnya. Bagaimanapun ini adalah satu satunya cara keluarga mereka bisa terbebas dari hutang dan mampu menyekolahkan anak kandung mereka ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Orang tua itu ingin memberikan yang terbaik pada anak kandungnya. Meskipun itu berarti dengan membuang Lila.
"Hanya berjaga jaga. Setelah transaksinya selesai, kita harus mengurus berkas untuk memutuskan hubungan dengannya lalu pindah ke kota lain. Aku tidak mau Lila sampai membawa masalah dan membuat Alice kesulitan di masa depan."
"Ya, aku akan segera melakukannya, sayang. Jangan khawatir. Semua demi Alice." Devon merangkul bahu istrinya.
Kedua orang tua itu berusaha untuk menjadi malaikat untuk Alice dengan menjadi iblis untuk Lila.
Livi berjalan mendekati gadis itu. Memaksanya untuk berdiri dan mengangkat wajah gadis itu agar menatap matanya. Kedua tangan Livi mencengkeram bahu Lila.
"Kau tidak perlu memaafkan kami. Kau bahkan boleh mengutuk kami sepanjang hidupmu. Tapi jangan lupa, ini adalah upah yang harus kami terima setelah membesarkan mu. Begitu semuanya selesai, kita tidak punya hubungan apapun. Kau berjuanglah untuk kehidupanmu sendiri, dan kami akan memperjuangkan hidup anak kandung kami sendiri."
Lila menatap kosong. Matanya tak lagi bersinar, tak ada kehidupan di sana. Semuanya telah runtuh berantakan.
Bahkan Lila tak lagi memberontak ketika Livi menuntunnya keluar. Gadis itu hanya tertunduk, melihat kakinya melangkah beriringan dengan sang ibu yang mengantar kepergiannya.
"Lila sudah siap. Dia sudah bersedia untuk ikut." Livi menyerahkan Lila pada salah satu laki laki besar dan kekar, itu salah satu bodyguard atau biasa disebut 'tukang pukul'.
"Ini uang panainya." salah satu orang ber jas memberikan sekoper uang. Ia menunggu Livi membuka dan mengeceknya. Lima menit saja, mata wanita itu berbinar bahagia. Lupa atas semua tindakan jahat dan rasa bersalahnya pada Lila.
Tanpa menoleh lagi, Lila dibawa masuk ke dalam mobil. Gadis itu duduk dengan patuh dengan air mata yang mengering. Karena kepalanya sakit dan pikirannya penuh dengan prasangka prasangka buruk, Lila tidak menyadari bahwa orang yang membelinya sedang di sebelahnya dengan mata intens memperhatikannya.
"Hapus air matamu. Aku tidak suka melihat gadis cengeng."
Mendengar kalimat itu, Lila langsung menghapus air matanya dengan ujung baju. Menahan isakannya, gadis itu melihat ke luar jendela. Ia sudah mulai keluar dari kota tempat tinggalnya. Mau dibawa kemana ia sekarang. Bahkan Lila tidak punya keberanian untuk bertanya. Di dalam mobil ini hanya ada tiga orang termasuk dirinya. Satu yang sedang menjadi sopir, dan satu lagi laki laki di dekatnya yang Lila tidak tahu siapa. Entah dia hanya pekerja atau malah 'bos' nya.
"Tuan Damien, sepertinya kita perlu berhenti di rumah sakit. Wajah nona Lila bengkak, saya khawatir itu akan berlangsung lama sampai hari pernikahan tiba."
Tunggu, apa katanya tadi, pernikahan?! Wajah Lila langsung tertoleh ke arah laki laki di sebelahnya. Yang ternyata juga sedang melihat ke arahnya. Laki laki yang terlihat masih muda, tinggi, dan wajahnya tampan. Sekali lihat saja Lila pikir ia adalah seorang model.
"Bengkaknya memang parah. Tapi bukankah bengkak segini bisa hilang dalam dua hari?"
"Tolong bedakan fisik orang lain dengan kemampuan fisik anda, Tuan. Nona Lila tidak memiliki penyembuhan super seperti anda. Nona Lila hanyalah seorang gadis, bukan tukang pukul anda yang bahkan tidak perlu dokter saat kakinya tertembak."
"Bagitu ya, terserah, lakukan saja apapun itu." Damien menjawab pendek. Acuh tak acuh.
Interaksi yang cukup aneh untuk seorang 'gangster'. Laki laki di sebelahnya ini dipanggil dengan sebutan 'tuan' bukankah itu artinya dia adalah bos-nya? Penampakannya tidak menyeramkan. Meski wajah dan tubuhnya tidak menyeramkan, tetap saja laki laki ini terasa seperti memiliki aura intimidasi yang luar biasa.
"Kenapa kau melihatku begitu?!"
Lila langsung menggeleng. Mengalihkan pandangannya ke bawah.
Meskipun penampilannya sangat mempesona, tetap saja laki laki ini adalah orang berbahaya. Laki laki kejam yang memperjual belikan manusia seperti barang.
"S-saya... saya mau dibawa kemana?" Lila bertanya dengan suara lirih.
"Kau tidak dengar tadi?" Damien balik bertanya sarkas.
Ah iya, rumah sakit.
"Tadi... Pembicaraan soal menikah. Saya tidak mengerti apa maksudnya." Lila bertanya lagi. Kali ini ia menggigit bibir menunggu jawaban.
"Apa orang tua dungu itu tidak menjelaskan apapun padamu?" lagi lagi Damien balik bertanya. Nadanya dingin tanpa ada perasaan simpati atas apa yang menimpa gadis itu. Padahal seluruh penderitaan Lila hari ini, adalah karena ulah dirinya.
Lila menjawab dengan gelengan.
Damien menarik dagu Lila dengan telunjuk dan ibu jarinya. Membuat wajah Lila berhadapan langsung dengan wajahnya.
Bertahan dari serangan fisik dan mental. Lila harus siap menemani segala ujian dan sakitnya Damien.
"Kau akan menikah denganku tanpa penolakan, jadi gadisku tanpa protes dan banyak tanya. Pernikahan ini hanya dilakukan selama lima tahun. Jika kau masih hidup setelah itu, kau akan ku lepaskan."
Lila, seorang gadis sederhana berusia 22 tahun mau tak mau terpaksa menerima pernikahan kontrak dengan Damian, mafia penguasa dunia hitam.
Kehidupan Lila yang tadinya damai tiba-tiba berubah menjadi penuh ketegangan setelah ia hidup bersama laki laki berbahaya itu.