KTA'S 02 - He's Ananta

2180 Words
Awan hitam bergelayut pekat di langit. Agaknya sudah siap menumpahkan segala beban yang dikandungnya. Nanta menepikan motornya di depan minimarket lantas segera menyambar tempat duduk kosong yang melingkari meja bundar yang terletak tepat di teras toko. Disusul dengan Teddy yang berdiri di sampingnya menitipkan tas kembung dipenuhi dengan isi bawaannya sejak pagi. Tak lama kemudian perlahan rintikan air hujan turun, menyergap tanah lantas merayap bersamaan dengan aroma petrikor yang menyengat indera penciuman. Membuat beberapa pengguna jalan lainnya ikut merapat ke teras minimarket. Berusaha menghindari percikan air hujan yang mengenai tubuhnya. "Saya pesan americano." Nanta berujar seolah berbicara pada waiter di kafe. "Iye." Teddy menyahut agak sebal lantas berlalu membeli dua cup kopi hitam, sebungkus rokok dan dua bungkus roti. Selang lima belas menit Teddy kembali dan duduk di bangku kosong depan Nanta. Menyulut api yang kemudian membakar ujung rokok. Asap mengepul ke udara, menguarkan aroma hangat yang nikmat bagi para pecandunya. "Nggak enak, ya, Ted? Kuliah masuk ke jurusan yang nggak kita minati." Nanta memulai pembicaraan. "Apalagi bukan karena dorongan kita sendiri," lanjutnya. "Udahlah, Nan. Belum tentu yang kita mau itu yang terbaik buat kita. Belum tentu juga yang kita sangka jadi keputusan yang terbaik bisa bikin kita bahagia ke depannya," sahut Teddy. "Jalani aja." Nanta meraih sebatang rokok lalu menyulutnya. "Ya, seenggaknya biarpun masuk ke jurusan yang nggak kita suka, tapi itu semua karena menjadi keputusan kita sepenuhnya. Bukan karena aturan orang lain apalagi orang tua." Kepulan asap membumbung tinggi, mencampuri udara dengan warna keabu-abuan. "Udahlah, ibarat udah kecebur, tenggelam sekalian aja, Nan." Teddy memfinalisasi obrolan. Terdengar helaan napas berat disusul tawa sumbang. "Nggak tau, deh, nilai saya kian semester kian ambruk," keluh Nanta. "Jangan cuma karena nilai lo ambruk, terus lo vonis dengan merasa salah masuk jurusan. Lo cuma lagi hilang semangat aja, Bro." "Basic saya emang bukan di hukum, Ted." "Lo cuma perlu nemuin semangat lo aja, Nan." Nanta mengedikan bahunya. "Saya juga nggak tau semangat saya apa." "Aduh! Gimana, sih, lo? Udah punya penyemangat juga!" Teddy jadi gemas sendiri. Nanta tertawa kecil. "Kalo di keadaan psikis yang kayak gini, boro-boro mikirin doi, mikirin diri sendiri aja udah hampir gila." Teddy menggelengkan kepala. "Tanda-tanda kurang piknik, nih." Lalu tertawa. "Kan udah gue bilang, nggak ada salahnya ikut Mapala. Lumayan buat refreshing." Nanta menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu nggak paham. Saya kena ujan dikit aja badan udah meriang. Nah, ini, malah disuruh ikut Mapala. Langsung kena tipes yang ada." "Manja amat, sih, jadi laki." Teddy mengejek. "Ah, atau jangan-jangan lo bukan laki?" "Masnya mau saya perlihatkan anu milik saya?" tawar Nanta bersama tawanya yang menguar. "Ya, kan, bisa aja disambung. Teknologi jaman sekarang kan canggih-canggih." Teddy semakin mengejek. "Sialan." Nanta mencebik sebal. "Canda, Nan, canda. Jangan masukin ke hati, masukin aja ke perut biar kenyang." Teddy terkekeh sendiri. Nanta malas menyahut perkataan Teddy. Cowok itu memilih diam. Menikmati percikan hujan yang dengan derasnya turun menyerbu tanah. Memberikan efek berlian pada lampu-lampu jalanan yang menyorot terang seakan-akan saling beradu. Tanpa sengaja diamnya menyerempet masa lalu yang paling ingin ia kubur dalam-dalam. Sampai tak bisa terkuak. Bayangan yang berterbangan di dalam kepala sukses membuat Nanta merasakan kesedihan sekaligus kecewa yang mendalam di waktu yang bersamaan. Masa di mana saat dirinya membuka laman web resmi dari LMPTN yang menyatakan bahwa dirinya lolos ujian masuk perguruan tinggi negeri yang diincarnya dengan jurusan yang paling ia idamkan. Nahas, saat itu pula Bapak menyatakan ketidaksetujuannya. Tembok harapan yang Nanta bangun dengan susah payah pun runtuh dalam seketika. Tak bersisa. "Lo nggak ngabarin Ibu Negara?" Teddy membuyarkan lamunannya. Nanta menoleh, menatap Teddy yang sedang menunggu jawabannya. Lalu memilih untuk menyesap kopinya daripada harus menjawab pertanyaan yang Teddy lontarkan. "Jangan bilang kalo lo belum ngabarin Ibu Negara," tebak Teddy melihat raut Nanta yang seperti itu. Tanpa ekspresi, tapi menunjukkan beban yang terasa semakin bertambah. "Kamu aja, nih." Nanta menyodorkan ponselnya. "Terserah mau ngetik apa. Itung-itung biar bisa ngerasain punya pacar," katanya setengah meledek. Teddy berdecak. Lantas dengan malas menerima ponsel Nanta. "Ketik apa, nih?" tanyanya kemudian. "Terserah." "Oke, gue bilang aja gini 'Saya lagi berduaan, nih, di depan Indoapril'." Teddy tersenyum jahil. "Ya, nggak gitu juga." "Katanya bebas." "Ck." Nanta berdecak malas. "Biarin aja. Biar Ibu Negara nyamperin lo ke sini." "Kacau, ah." Nanta segera merebut ponselnya dari genggaman Teddy. Jemarinya bergerilya menggulirkan layar ponselnya ke ikon kontak milik Laisa. Lalu diketuknya hingga menghubungkan nada sambung. Mendadak ada perasaan rindu yang menyelusup masuk ke nadinya. Padahal di antara diamnya tadi, tanpa sepengetahuan Teddy ia sempat berpikir untuk mengakhiri semuanya. Terhubung. "La." "Kamu di mana? Aku lagi masak banyak, loh, buat kamu." "Minimarket dekat kampus." Terdengar napas berat di seberang. "Emangnya ada acara apa sampe masak banyak? Tumben banget." "Emang kalo mau masak banyak harus ada acara dulu, ya?" "Ya, barangkali, kan." "Kamu tuh dari dulu nggak peka-peka, ya, Nan." Mendengar penuturan Laisa, Nanta justru tertawa. "Tuh, kan, mulai nyebelin." "Iya. Nanti setelah hujan reda saya sama Teddy langsung ke flat. Mau nitip apa? Martabak? Dimsum? Mie ayam? Kerang Mang Ali yang depan kampus? Sore-sore gini kayaknya udah buka, tuh." "Kamu lagi coba ngerayu aku?" "Nggak ada yang lagi ngerayu kamu, La. Ya kali aja kamu mau nitip jajanan luar." Laisa terdengar menggumam. "Aku kan masak banyak. Emang perut kamu muat kalo ditambah sama jajanan dari luar?" "Tenang aja, ada Teddy, nih. Tempat sampah berjalan." Plak! Nanta terbahak puas melihat ekspresi Teddy yang amat kesal hingga tak sempat menghindari pukulan yang anak itu layangkan. "Ya udah, aku tunggu." "Jangan ditunggu. Sebab, menunggu itu suatu hal yang amat menyebalkan." "BUCIN TEROSSSSS SI MAMANG WARNET!" Beberapa kepala menoleh ke arah Nanta berkat seruan Teddy yang mendadak menggelegar di antara derasnya hujan. Saat sedang bersama Teddy, kadangkala Nanta memang harus selalu memperluas kesabaran dalam hatinya. "Teddy lagi kumat, La. Mana saya lagi di depan minimarket, banyak orang yang lagi berteduh juga. Sumpah, dia yang begitu saya yang malu. Udah dulu, ya." Di seberang Laisa tertawa puas. "Iya, baik-baik, ya, sama Teddy. Jangan berantem." Nanta terkekeh sebentar. "Nggak dong," katanya ragu sebelum memutuskan sambungan telepon. Kepalanya tertoleh, menatap Teddy. "Sumpah, kudu sabar saya punya teman kayak kamu." Nanta mengeluh pasrah. Lagipula selain sabar untuk menghadapi Teddy, apa yang bisa ia lakukan? Nanta segera menghabiskan kopinya. Selepas hujan reda kakinya terayun menunggangi kuda besinya yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Disusul Teddy yang mengisi jok belakang. *** Suara dering bel yang merayap mengisi ke seluruh ruang membuat Laisa lantas gegas menuju pintu untuk mempersilakan seorang tamu yang datang menyambanginya. Namun seusai membuka pintu, wajahnya berubah drastis menjadi bertekuk sebal. Ditatapnya wajah lelaki yang berdiri tepat di depan pintu. "Mukanya kok gitu?" Nanta bertanya heran melihat wajah Laisa yang tampak kesal seperti itu. "Udah aku bilang, kan, kalo mau masuk, ya masuk aja. Nggak usah pake pencet bel segala," omel Laisa. "Ini kan tempat kamu. Dan aku ke sini cuma tamu." Nanta membalasnya dengan santai. "Dan tamu adalah raja. Mana makanan?!" Teddy menambahkan dengan amat menyebalkan. Membuat lirikan mata tajam Laisa tertuju ke arahnya. "Hehehe. Bercanda, Bu." Teddy mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. "Udah, ah, jangan ngambekan gitu," peringat Nanta menepuk dahi Laisa dengan pelan. Ralat. Amat pelan. Nanta sendiri pun merasa gemas dengan tingkah Laisa yang kadang bisa berubah menjadi kekanakan. Tanpa perlu dipersilakan Teddy sudah menyerobot masuk. Melewati Nanta dan laisa dengan begitu saja. "Wih! Kayaknya masak enak, nih," serunya gembira. Nanta mengangkat bahunya. Meminta maklum pada Laisa atas kelakuan sahabatnya itu. Benar kata orang-orang, Teddy adalah spesies langka yang sebaiknya dimusnahkan saja. Tapi rasanya tak perlu, lagipula cukup disayangkan. Terlebih lagi Teddy memiliki tingkat kepekaan sekaligus kepedulian yang tinggi. Dering ponsel terdengar nyari dari saku celana Nanta. Lalu menampilkan nama Tiffany di layarnya. "Sebentar, ya, La." Nanta membentangkan jarang yang cukup jauh. Sementara Laisa tetap berdiri di tempatnya dengan mata yang tertuju awas pada Nanta. Nampak dari tempatnya berdiri Nanta tengah berbincang serius dengan lawan bicaranya di seberang. Laki-laki itu sesekali mengangguk, berkacak pinggang lalu mondar-mandir. Laisa sudah cukup hapal dengan gelagat Nanta yang seperti itu. "Siapa?" Laisa bertanya setelah Nanta selesai bercakap dengan lawan bicaranya di telepon. "Tiffany," jawab Nanta pendek. "Mau apa?" Terdengar nada posesif yang mengisi sekitar atmosfernya. "Minta bantuan buat cari bahan karangan ilmiahnya." "Emang belum cukup sampe kamu bantuin dia buat nyiapin materi lomba debat bulan lalu?" Rasa cemburu menguar di antara kata-kata yang keluar mengudara dari sepasang bibirnya. "Kamu cemburu?" Nanta malah menahan senyumannya. "Bukannya aku cemburu, ya, Nan. Aku cuma nggak nyangka aja kalo kamu bisa segitu mudahnya meluangkan waktu kamu buat orang lain." Nanta menundukkan kepala. Ia tidak bisa menyanggah apa-apa, karena memang faktanya begitu. Menyibukkan diri sampai gak ingat apa-apa lagi mengenai gadis yang berdiri di depannya sekarang ini. Sayang, usahanya selalu gagal. Laisa selalu menghampirinya dalam bentuk bayang-bayang. "Maaf, ya. Saya cuma berpikir karena mumpung kita sedang berada di fase ini. Jadi saya cuma mau mengisi dengan waktu luang yang gak hanya sekedar itu-itu aja." Tangannya bergerak menepuk puncak kepala Laisa dengan penuh rasa sayang. "Udah, yuk, kita makan. Nanti keburu abis sama Teddy." Nanta terkekeh lalu memegang kedua bahu Laisa dan membawanya menuju ruang tak begitu luas yang digunakan untuk ruang makan. Dengan meja dan kursi juga segala perabot yang selalu tertata rapi berkat tangan-tangan terampil Laisa. Meski di sisi lain Nanta harus prihatin saat obsessive compulsive disorder yang Laisa derita sejak peristiwa pahit itu mulai menyerang dan mengganggu pikirannya. "Ini semua kamu yang bikin?" Nanta bertanya takjub saat melihat berbagai macam hidangan kesukaannya tersedia di atas meja. "Hm." Gadisnya hanya bergumam kecil sambil menyiapkan semangkuk makanan untuk Nanta. Nanta menaruh bungkusan berisi kerang tiram putih pesanan Laisa yang dibawanya. "Eh, Nan. Bisa, nih, kita bikin kafe sendiri kalo masakan Laisa seenak ini." Teddy mulai bercelatuk sesuai isi pikirannya yang random. "Nggak usah, lah. Biasanya kalo bikin buat pelanggan jadi nggak enak," tolak Nanta seenaknya, sukses membuat wajah Laisa semakin cemberut. "Jahat lo sama pacar sendiri gitu," tegur Teddy. Nanta hanya terkekeh. "Nggak jahat, saya cuma coba realistis aja. Lagian siapa, sih, yang rela bagi-bagi? Sama kamu aja saya udah nggak rela." "Oh, jadi lo nggak ikhlas, nih, hah?" "Ikhlasin aja, udah." Nanta mengangkat satu kakinya dan bertumpu pada kursi, lalu siku lengannya bertumpu pada lutut. Makan dengan posisi seperti ini memang ... ah, mantap! Tapi tak lama kemudian Laisa menegurnya. "Kakinya dong, Mas. Sopan banget, sih." Tentu, teguran itu hanya dianggap sebagai angin lalu bagi Nanta. Ia tetap melahap makanan yang Laisa buat dengan begitu nikmat. "Oh iya, tugas jurnal yang Pak Seto kasih udah lo garap?" tanya Teddy memulai pembicaraan. Nanta menggeleng-gelengkan kepala. Mengingat satu tugas itu berhasil menambah satu ton beban yang bertengger di pundaknya. "Ngeri, gila. Pak Seto kalo ngasih tugas tuh nggak kira-kira. Mana deadline-nya mepet banget, lagi." "Kalian dapet tugas yang disuruh bikin jurnal sampai 60 halaman juga?" Laisa bertanya dan Nanta menjawabnya seperti tidak ada beban, "Yep!" "Deadline-nya kapan?" Laisa bertanya lagi dan dengan singkat sambil terus menikmati makanannya Nanta menjawab, "Lusa." "Kamu udah ngerjain, Nan?" Kini perhatian Laisa teralih penuh pada Nanta. "Belum." Terlihat jelas Nanta tidak ingin membahas apapun itu yang berkaitan dengan segala macam tugas kuliahnya. Sudah cukup. Sudah cukup ia tertekan dengan segala tuntutan Bapak kepadanya. "Kebetulan aku udah hampir selesai ngerjainnya. Barangkali kamu mau liat." Laisa menawarinya. Ah, tidak seperti Laisa yang pandai dengan banyak bidang sehingga cukup memudahkannya untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dalam waktu singkat. Bagi Laisa, 60 halaman tidaklah begitu berat. Lain lagi bagi Nanta yang justru seperti tengah dilemparkan ke dalam jurang penderitaan. Tidak hanya Nanta. Sepertinya Teddy pun begitu. "Saya sama Teddy nggak bisa lama-lama, La. Kami harus ke kafe sore ini." Nanta tidak langsung menanggapi tawaran yang Laisa berikan dengan amat terbuka. "Soal jurnal, biar saya coba kerjain dulu. Nanti kalo mulai kerasa buntu, saya bisa hubungi kamu." Laisa hanya mengangguk. Tepat dengan datangnya Eliana sebagai teman sekaligus sahabat satu flat Laisa, Nanta dan Teddy berpamitan. Sebelum pergi ia memberikan dua buah buku novel cetakan lama yang ia keluarkan dari tas selempang di bahunya. Sebuah buku berjudul Tarian Badai yang menggambarkan gejolak kesengsaraan rakyat jelata pada Orde Baru dibalut dalam tarian nan menyayat hati. Juga satu buku lainnya yang berjudul 1998 dan mengisahkan seorang pujaan hati yang harus hilang dan tak pernah ditemukan saat pecahnya peristiwa Orde Baru. "Kalo ada waktu senggang kamu baca, ya. Biar kita review bareng-bareng." Senyuman manis tercetak jelas di dua sudut bibir milik Nanta. "Bukunya dapat saya pinjam dari perpustakaan. Masih ada sisa empat hari lagi sebelum harus dikembalikan," lanjut Nanta. "Iya, aku akan baca sebelum jatuh tempo." Laisa menyanggupi. Dua sorot netranya menatap tulus pada lelaki yang selalu mampu menjadi apa pun. Seorang kakak, kekasih, bahkan sahabat gila sekalipun. Meski lelaki di hadapannya ini memiliki sejuta laku yang kaku, tapi Nanta tetaplah anugrah Tuhan yang patut ia syukuri. "Nanta ngasih apa, tuh?" Eliana bertanya saat setelah Nanta menghilang di balik pintu lift. Laisa mengangkat dua buku yang dipegangnya. Menunjukannya pada Eliana. "Hm, lo sadar nggak, sih, kalo Nanta itu manusia jadul yang lahir di jaman modern?" Eliana terkikik. Laisa terdiam berusaha mencerna kata-kata yang terlontar dari mulut Eliana. Perlahan kepalanya mengangguk tanda setuju meski ada sedikit rasa ragu. "Iya juga, ya. Kok gue baru sadar?" gumamnya pelan berhasil memancing Eliana untuk tertawa. TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD