Hari silih berganti. Kabut tebal kembali menyelimuti desa. Suara ayam berkokok lirih di depan halaman rumah. Ryan selalu terbangun pagi-pagi buta – membantu ibunya merapikan rumah, mengurus adiknya hendak berangkat sekolah, lalu menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah.
Pagi itu, awan gelap menutupi langit. Rintikan hujan terdengar dari atap rumahnya. Ryan melihat ke arah jalan yang telah basah hendak berangkat ke sekolah. Ia mengenakan payung agar tidak kebasahan saat di sekolah. Payung itu tampak usang, terdapat tambalan kecil di atasnya. Ia tetap jalankan semua aktivitasnya dengan ceria, seperti tidak ada masalah apapun.
Sesampainya di gerbang sekolah, Ryan melihat sebuah mobil sport berhenti di depan sekolahnya Raini. Ia melihat seseorang hendak turun dari bangku depan mobil itu. Bertepatan dengan momen itu, Raini turun dari bangku depan mobil. Ia berlarian kecil sambil menutupi kepalanya dengan tas menuju ke kelas. Hati Ryan tiba-tiba berdebar. Ia merasakan sesuatu yang aneh yang sama dalam dirinya.
Pada saat di kelas, Ryan duduk termenung di bangkunya. Pikirannya terngiang-ngiang pada saat melihat momen itu. Ia hingga tidak fokus mendengarkan materi guru karena pikirannya itu. Ia berusaha menenangkan diri, namun hatinya masih bergejolak.
Jam istirahat tiba. Ryan hendak keluar dari gerbang, lalu duduk di depan warung sederhana yang kemarin ia kunjungi bersama Raini. Ia kembali termenung, mengingat semua momen yang pernah ia lalui sebelumnya – menolong Raini, cerita bareng, jajan bareng, hingga melihat ia turun dari mobil.
Pada saat itu, Raini melihat Ryan dari gerbang sekolahnya. Ia tampak bingung melihat sikapnya yang tidak biasa.
Ia menghampirinya, lalu menyapa.
"Ryan..." sapanya pelan.
Ryan tertegun saat Raini tiba ada di sampingnya.
"Raini..." balasnya pelan. "Kamu mau jajan juga di sini?"
Raini menatapnya, lalu tersenyum tipis.
"Enggak. Aku sudah di bawakan bekel sama mamaku tadi," jawab pelannya, lalu meletakan bekelnya di meja.
Hati Ryan kembali bergetar. Ia tidak tahu kenapa hatinya selalu seperti ini saat bertemu dengan Raini. Ia bertanya-tanya pada batinnya, apakah ini perasaan suka padanya? Perasaan takut? Perasaan malu? Bahkan perasaan lainnya yang tidak diketahui dalam dirinya?
Raini kembali menatapnya.
"Kamu enggak apa-apa?" tanyanya lirih.
Ryan tertegun, menoleh cepat.
"Aku enggak apa-apa," jawabnya gugup.
Raini memperhatikan sikapnya yang aneh, seakan ada yang disembunyikan darinya. Ia ingin menanyakan sesuatu padanya, namun kilatan cahaya dan suara gemuruh menggelegar yang membuat dirinya kaget.
"Aaaaaaahhhhhh..." suaranya kencang, namun takut. Ia reflek memeluk erat lengan Ryan.
Ryan menoleh cepat ke arahnya. Ia melihat Raini memeluk lengannya dengan erat. Hatinya berdebar semakin kencang, perasaannya makin sulit ditebak. Ia merasakan ada kehangatan yang muncul dalam dirinya.
Raini tersadar, lalu melepaskan pelukannya pelan.
"Maaf... aku enggak sengaja memelukmu tadi," suaranya gugup dan malu.
Ryan menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
"Enggak apa-apa. Namanya juga kamu lagi kaget," ucapnya pelan.
Raini terdiam. Hatinya terguncang setelah tidak sengaja memeluknya – tersipu malu, pipinya memerah.
Pada saat di kelas, Raini duduk di bangku depan, lalu menatap depan dengan tatapan kosong. Ia mengayunkan kedua kakinya, lalu bertopang dagu seakan ia sedang memikirkan sesuatu. Pikirannya terngiang-ngiang pada momen itu saat jam istirahat.
Salah satu temannya melihat dirinya, lalu mengipaskan tangan di depan tatapannya.
"Hei, Raini," sahutannya pelan.
Raini tertegun, lalu menoleh cepat.
"Ada apa?" tanya Raini pelan.
"Kamu kenapa termenung seperti itu? Jangan-jangan kamu sedang memikirkan seseorang ya," ucap temannya yang menggoda.
Raini terkekeh.
"Mana ada. Aku enggak pikirin apa-apa," ucap lirihnya.
Temannya menatap Raini lama, seakan mengetahui kalau Raini memang sedang memikirkan seseorang. Ia tidak ingin bertanya lebih dalam, namun hanya memberinya saran.
"Kalau kamu butuh teman curhat, hubungi saja aku ya," ucapnya lirih.
Raini mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis.
"Iya... aku akan ingat itu," balasnya pelan.
Temannya hendak pergi ke tempat duduknya, sambil menoleh ke arah Raini dengan tatapan rasa iba.
Bel pulang sekolah bergema. Namun kali ini pulangnya lebih lama dari biasanya. Ia keluar dari kelas jam 15.00 dari jam biasanya pulang. Ia seharusnya sudah pulang dari jam 12.00, namun ada kegiatan ekstrakulikuler yang telah dilakukan.
Hujan telah usai, namun awan kelabu masih menutupi langit cerah. Ryan melangkah keluar gerbang sekolah sambil membawa payung yang dikuncupkan. Pada saat itu, ia berpapasan dengan Raini yang baru saja keluar dari gerbang sekolah.
"Kamu baru pulang jam segini?" tanyanya lirih.
Raini menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
"Iya... soalnya aku ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Jadi aku pulangnya lebih lama," jawabnya pelan.
Beberapa menit kemudian, mobil sport yang di naiki Raini berhenti di depan gerbang sekolahnya – mobilnya berwarna hitam, besar, dan kaca jendela yang gelap. Mesin mobil di matikan, lalu seorang sopir turun dari mobil itu. Sopir itu melangkah ke arah Raini.
"Nona... ayo kita pulang. Mama sudah menunggumu di rumah," ucapnya pelan.
Raini mengangguk pelan, lalu memasuki mobil di bangku depan. Ia menoleh ke arah Ryan, lalu tersenyum tipis.
"Aku harus pulang dulu. Nanti kita bertemu lagi di sekolah ya," ucapnya lirih.
Ryan menatapnya, lalu tersenyum kecil.
"Iya... hati-hati di jalan," balasnya lirih.
Sopir masuk kembali ke dalam mobil, lalu meninggalkan Ryan sendiri di sekolah.
Hati Ryan kembali berdetak. Perasaan yang masih mengganjal di dalam dirinya. Ia tidak bisa mengungkapkan sedang yang terjadi dengan perasaannya, bahkan ia tidak tahu perasaan aneh yang sedang ia rasakan. Ia melangkah pulang perlahan, namun pikirannya masih terngiang-ngiang tentang Raini.
Petang tiba, Ryan sampai di rumah. Cahaya senja yang menerangi desa. Ia masuk ke kamar, lalu mengganti pakaiannya. Ia duduk sejenak di meja belajarnya, sambil menatap langit senja yang terang. Benaknya kembali menampilkan momen-momen yang baru saja ia lalui. Pertama kali, ia merasakan hati yang berat.
Saat itu, ibunya mengetuk pintu kamarnya pelan.
"Nak. Kamu lagi ngapain di situ?" tanyanya lembut.
Ryan tertegun.
"Aku sedang mengganti pakaian, Bu," jawabnya pelan.
Ibunya terdiam sejenak, lalu berkata lembut.
"Kalau sudah selesai, kamu makan dulu ya. Ibu sudah siapkan semuanya."
Ryan balasnya pelan.
"Iya Bu. Nanti aku ke sana."
Malam hari tiba, hujan kembali mengguyur pedesaan. Hujan lebat bersamaan dengan tiupan angin kencang menyapu bersih jalan. Atap rumahnya bocor pada saat badai itu menerpa. Ryan menampung tempat bagian yang bocor – bagian ruang tamu, kamarnya, kamar mandi, hingga gudang. Rumahnya yang sudah tua, warna dinding tampak pudar, pondasi atap rumah mulai rapuh itu rumah satu-satunya yang mereka tempati sejak Ryan lahir hingga saat ini.
Ryan makan bareng keluarga di ruang tamu. Meskipun keadaan rumahnya yang tak sebagus dulu, mereka tetap menjalankan kehidupannya dengan ceria, seolah tidak ada masalah besar yang dihadapi.
Larut malam, ia kembali ke kamarnya. Kedua adiknya sedang tertidur di kamarnya. Ia selalu tidur bersama dengan adik-adiknya. Ia tersenyum tipis saat melihat adiknya tertidur pulas, seakan ia merasakan kebahagiaan yang begitu dekat. Namun senyuman itu memudar saat pikirannya menggema lagi di benaknya. Ia terduduk di meja belajar, lalu menunduk sambil mengusapkan kepalanya pelan. Ia mengambil foto keluarga Raini di laci mejanya, lalu menatap foto itu dengan tatapan sendu dan bergumam lirih:
"Ada apa pada dengan diriku? Mengapa diriku di hantui dengan perasaan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya? Mengapa semenjak aku kenal denganmu, hatiku selalu bergetar tidak karuan? Apakah ini bertanda aku menyukaimu atau hanya sebuah kebetulan? Aku hanya mengetahui satu hal yang pasti: Kamu bukanlah gadis biasa yang baru aku kenal."
Pada saat yang sama, Raini sedang berbaring di atas ranjangnya. Kamarnya yang begitu luas, mewah, dinding yang berwarna pink seakan kamarnya lebih hidup. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil terbayang momen saat bersama Ryan. Momen itu membuat dirinya gelisah dan malu. Ia seakan tidak sadar, mereka tidak hanya sekedar teman biasa. Ia beranjak dari ranjang, lalu menatap ke arah cermin di depan ranjangnya. Ia menatap dirinya, lalu batinnya berkata:
"Apa yang terjadi pada diriku? Kenapa setiap momen-momen bersama Ryan terngiang padaku? Kenapa aku bisa melakukan itu kepadanya? Aku tahu dia anak yang baik, ramah, dan tidak macam-macam padaku... tapi entah kenapa hatiku berguncang saat membayangkan momen itu? Aku tidak tahu cara mengungkapkan perasaanku dan aku tidak bisa menceritakannya."