bc

Jejak Luka Warisan Cinta

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
family
HE
powerful
heir/heiress
blue collar
drama
tragedy
sweet
bxg
lighthearted
serious
scary
city
office/work place
small town
childhood crush
civilian
like
intro-logo
Blurb

Ryan tumbuh di sebuah desa kecil di pinggiran kota. Hidupnya sederhana—bahkan sering kali serba kekurangan. Ayahnya hanya buruh tani, ibunya penjahit kecil di rumah yang nyaris roboh. Namun dari balik kesederhanaan itu, Ryan menyimpan tekad besar: ingin mengubah nasib dan membuktikan bahwa kemiskinan bukan alasan untuk berhenti bermimpi.Di sisi lain, Raini hidup di dunia yang berbeda. Gadis lembut dengan senyum hangat, anak dari keluarga terpandang dan disegani di desa mereka. Hidupnya dipenuhi kemewahan dan perhatian, tapi jauh di lubuk hatinya, Raini merindukan sesuatu yang lebih sederhana—kehangatan yang tulus, bukan sekadar status dan kekayaan.Takdir mempertemukan mereka di ujung gang desa yang sunyi. Awalnya hanya sapaan kecil, lalu pertemanan, hingga perlahan tumbuh menjadi perasaan yang tak bisa mereka sembunyikan.Namun cinta mereka adalah cinta yang dilarang. Keluarga Raini menganggap Ryan tak pantas, sedangkan Ryan sadar, cintanya mungkin hanya akan membawa masalah bagi gadis yang ia sayangi.Ketika Ryan akhirnya harus pergi ke kota untuk kuliah dengan beasiswa, keduanya berpisah dalam diam, menyisakan janji samar: “Kalau cinta ini memang takdir, kita pasti bertemu lagi.”Bertahun-tahun berlalu. Ryan berhasil meraih mimpinya, sementara Raini tumbuh menjadi gadis cantik yang semakin banyak menarik perhatian lelaki kaya. Di antara banyak nama yang mencoba mendekatinya, ada satu yang paling berbahaya—Davin, anak pengusaha besar yang terobsesi pada Raini dan berjanji akan menikahinya, entah Raini mau atau tidak.Ketika Raini menolak lamaran Davin dan memilih tetap setia pada cinta masa lalunya, hidupnya berubah menjadi mimpi buruk. Ancaman, fitnah, dan tragedi mulai menghantui keluarganya. Davin yang merasa dipermalukan bersumpah untuk menghancurkan Ryan dan semua yang dicintainya.Namun Ryan tak lagi lelaki lemah dari masa lalu. Dengan tekad yang sama yang dulu membawanya keluar dari kemiskinan, ia berjuang bukan hanya untuk hidupnya—tapi untuk cinta sejatinya, Raini.Sayangnya, kisah mereka tak berhenti di situ. Luka yang ditinggalkan masa lalu tak hilang begitu saja. Dendam yang ditanam Davin menjadi racun yang menular hingga generasi berikutnya.Anak-anak mereka tumbuh di tengah bayang-bayang kebencian lama, tanpa tahu bahwa mereka sedang mengulang kisah cinta dan luka yang sama—perbedaan, dendam, dan pengorbanan.“Jejak Luka Warisan Cinta” bukan sekadar kisah dua insan yang saling mencintai, tapi kisah tentang warisan luka yang berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga akhirnya ada yang cukup kuat untuk memutus rantai dendam itu dengan cinta yang tulus.Di setiap bab, pembaca akan disuguhi perjalanan penuh emosi:Kemiskinan yang melahirkan kekuatan.Cinta yang bertahan di tengah hinaan.Tragedi yang menguji kesetiaan.Dan cinta baru yang berjuang menebus masa lalu.Dari sebuah desa kecil yang sederhana, kisah ini menjelma menjadi legenda keluarga—tentang bagaimana cinta bisa bertahan, sekalipun dunia berusaha memisahkan.Apakah cinta Ryan dan Raini akan berakhir bahagia?Ataukah dendam masa lalu akan terus meninggalkan jejak luka pada generasi setelah mereka?Hanya waktu, dan cinta yang tak lekang oleh waktu, yang bisa menjawabnya.

chap-preview
Free preview
Eps.1 - Pertemuan di Ujung Gang
Suasana senja yang begitu terang dan tenang. Cahayanya yang begitu menyinari sawah yang dipenuhi padi. Hembusan angin yang lembut menyebarkan aroma tanah yang telah dibasahi hujan singkat, membuat suasana menjadi damai dan sendu. Ryan sedang duduk di depan rumah sederhananya bercat hijau yang tampak memudar. Tangannya memegang secangkir kopi hangat, sambil menatap jauh ke jalan kecil dan melihat anak-anak sedang bermain di sana. Jalan itu menghubungkan rumah-rumah warga antardesa — jalan yang setiap hari ramai dilalui warga antardesa. Dari kejauhan, Ryan tidak sengaja melihat seorang gadis kecil berkerudung hitam menggowes sepeda. Pakaiannya yang sederhana, warna yang tidak mencolok, dan bersih. Tatapannya yang lembut namun malu, seolah ia takut menatap sinar senja. Pada saat itu, Ryan pertama kali melihatnya. Arah sepedanya pun tak sengaja melewati depan jalan rumah Ryan dengan pelan. Pada akhirnya, gadis itu tiba-tiba jatuh dari sepeda. Sepedanya yang tiba-tiba lepas rantai. Ryan menghampiri gadis itu dan menolongnya. "Kamu tidak apa-apa?" ucap Ryan yang khawatir. "Aku tidak apa-apa kok," jawab gadis itu sambil memegang kepalanya. Ryan terdiam sejenak. Ia melihat sebuah luka kecil di tangan gadis itu. Tangannya bergaris, darahnya terus mengucur perlahan. "Aku akan membawamu ke teras rumah," ucap Ryan, merangkul gadis itu ke teras rumahnya. "Sebentar. Aku akan ambilkan obat." Gadis itu terdiam sejenak menahan rasa luka. Ia sambil menatap rumah Ryan yang sederhana. Ryan datang sambil membawakannya obat. "Biar ku lihat lukamu," ucap Ryan, memegang lembut tangan gadis itu. Ryan mengobati luka gadis itu dengan perlahan. Dengan genggaman lembutnya, gadis itu menatap Ryan dengan tatapan tertegun, seolah genggaman itu yang pertama kalinya yang ia rasakan. Ryan selesai mengobati luka gadis itu. Kemudian ia hendak menghampiri sepeda gadis itu, lalu membawa ke halaman depan rumahnya untuk diperbaiki. Ryan mencoba untuk memasangkan kembali rantai pada sepeda itu. "Kamu tidak perlu perbaiki sepedaku," ucap gadis itu akhirnya dengan pelan. "Tidak apa-apa. Aku bisa memperbaikinya," jawab Ryan pelan sambil memasang rantai pada sepeda. Gadis itu terdiam lagi. Ia tersipu malu karena Ryan sudah menolongnya. Ia mencoba beranjak dari kursi, namun kakinya masih lemas. Ryan menatap gadis itu dan tersenyum tipis. "Kamu jangan berdiri dulu, luka kamu belum kering," ucap Ryan pelan. Gadis itu terdiam lagi setelah mendengar ucapan Ryan. Ryan selesai memperbaiki sepeda itu. Ia mencuci tangan di keran luar teras rumahnya. Ia masuk kembali ke dalam rumah. Ia membawakan biskuit kaleng dan secangkir teh hangat untuk gadis itu. "Ayo, dimakan," ajakan Ryan lembut sambil menyodorkan biskuit kesukaannya untuk gadis itu. Gadis itu terdiam sejenak dan menatap sekilas Ryan. Ia malu-malu untuk mengambil biskuit itu. "Tidak usah... aku sudah makan tadi," ucap gadis itu pelan, hampir suaranya tak terdengar. Ryan menatap gadis itu dengan tatapan lembut dan tersenyum tipis. "Kamu tidak usah malu-malu. Anggap saja ini rumah kamu sendiri," jawab lirih Ryan. Gadis itu terdiam sejenak. Ia mulai mengambil biskuit itu. Namun tangannya gemetar saat meraih biskuit itu. Pada akhirnya, ia bisa mengambil biskuit itu dan memakannya. Gadis itu menoleh ke arah Ryan dan tersenyum tipis dan malu-malu. "Terima kasih... kamu sudah menolongku," ucapnya pelan. Ryan mengangguk pelan dan tersenyum tipis. "Sama-sama," jawabnya lirih. Ryan menyeruput kopi hangat. Sedangkan gadis itu terpaku. Bibirnya menutup rapat, seakan ia malu untuk berbicara pada Ryan. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kamu orang baru di desa ini ya?" tanya Ryan sambil meletakkan secangkir kopi. Gadis itu menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Iya... aku baru pindahan kemarin dari kota. Rumahku sekarang berada di dekat ujung sawah sana di ujung gang," ucap gadis itu pelan sambil menunjuk arah rumahnya. Ryan tersenyum kecil, menunjukkan lesung pipi yang jarang muncul. "Perkenalkan namaku Ryan," ucap Ryan ingin berjabat tangan. "Namaku... Raini," balas gadis itu dengan gugup dan berjabat tangan dengan Ryan. Raini terdiam singkat. Ia tersenyum tipis singkat, lalu menunduk. Ada sesuatu di matanya – antara malu dan hati-hati. Namun ia merasakan kehangatan pada saat berjabat tangan pada Ryan. Kehangatan itu masih membekas padanya, yang seakan membuat dirinya sembuh dari luka itu. Di sisi lain, Ryan menebak sikap Raini, yang seakan ada perbedaan di antara mereka. Semua warga desa ini pada tahu tentang keluarga Raini yang barusan membeli rumah mewah di ujung gang, rumah yang dulunya diimpikan oleh warga desa sekitar. Namun bagi Ryan, hal itu tidaklah penting. Gadis itu memanglah keturunan keluarga, namun dia tidak sombong dan selalu berpenampilan sederhana. Matahari kian tenggelam. Langit gelap malam akan muncul. Raini berhasil bangkit dari tempat duduknya dan segera ingin pulang. "Maaf, ini sudah mau malam... aku harus pulang sebelum mamaku mencariku," ucap Raini pelan, hendak ingin pulang. Ryan mengangguk pelan. "Iya. Hati-hati di jalan," balas lirih Ryan. Hari-hari berikutnya mereka sering bertemu. Di pagi yang cerah tepat di akhir pekan, Ryan berpapasan dengan Raini yang sedang bersepeda. Ryan canggung saat berpapasan dengannya. Namun ia menyapanya sebentar, lalu pergi ke sawah. Dengan cangkul dan caping yang di bawanya, ia turun ke sawah sambil menggali tanah. Kemudian, ia menanamkan padi, lalu mengairinya. Tengah hari tiba, Ryan istirahat di gubuk tengah sawah. Ia sambil menyantap makan siangnya dengan lauk sederhana: ikan asin, tempe, sayur lalapan, dan sambal. Pada saat itu, Ryan melihat Raini sedang istirahat di bawah pohon kelapa. Ia sambil meminum air mineral di botol warna pink. Keberadaannya tidak jauh dari sawah. Ryan menyapanya dari jauh "Raini..." sapanya gema. Raini tidak mendengar sapanya. Namun tak sengaja ia melihat Ryan yang melambaikan tangan. Ryan menghampirinya. Ia memanjat pohon kelapa untuk mengambil dugan. Kemudian, ia mengupas dugan yang jatuh dari pohon dengan sebilah golok yang panjang. Ia membagikan air dugan itu padanya sambil mengobrol – tentang sekolah, tentang mimpi, tentang hal-hal sepele yang perlahan menjadi manis. Saat petang, Raini tiba di depan rumah Ryan sambil membawa sekeranjang buah-buahan. Raini mengetuk pintu. "Ryan..." panggilnya lirih. Suara pintu terbuka. "Iya Raini," balasnya pelan dan tersenyum tipis. Raini terdiam sejenak. Ia merasa gugup saat memberikan bingkisan pada Ryan. "Ini... mamaku suruh memberikan ini kepadamu," katanya pelan namun gugup Ryan menerimanya dengan kikuk. "Terima kasih," ucapnya pelan. Ryan mengajaknya duduk di teras rumah, lalu berbincang ringan. Mereka sambil menatap senja yang akan tenggelam. "Kamu sudah kelas berapa sekarang dan dimana sekolah kamu?" tanyanya pelan. Raini terdiam sejenak. Ia masih gugup untuk berkata-kata. "Aku... baru kelas 7 SMP," jawabnya pelan, namun gugup. "Aku sekolahnya tidak jauh dari sini." Ryan terdiam saat mendengar jawaban Raini. Ia tak menduga bahwa umurnya berselisih jauh dengannya. "Kalau aku sudah kelas 12 SMA. Sebentar lagi aku sudah mau lulus dan ingin lanjut kuliah," ucapnya pelan. Raini juga terdiam dan menduga yang sama setelah mendengarkan pernyataan yang sama. "Ouh jadi kamu sudah mau lulus sekolah," ucapnya lirih. "Iya... aku sebentar lagi lulus," ucapnya pelan, namun menunduk. Raini menatap Ryan yang sedang menunduk. Tatapannya seakan ia mengerti masalah yang terjadi dalam dirinya. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya lirih. Ryan kaget, reflek menegakkan badannya. "Aku... tidak apa-apa," jawabnya pelan, namun gugup. Senja berganti malam. Waktu yang tak kerasa setelah perbincangan mereka yang hampir berlarut. Raini segera bergegas pulang dengan sepedanya. Pada saat itu, ia melihat foto yang jatuh di tanah di halaman rumah. Ia mengambil foto itu, ia melihat foto itu merupakan fotonya Raini bersama keluarganya. Foto itu yang mungkin terjatuh dari sakunya Raini. Ia membawa foto itu ke kamarnya, menatap foto itu di meja belajarnya. Foto keluarga besarnya yang kaya raya, berada di rumah mewah pada saat perayaan ulang tahun yang ke 10 tahun Raini. Gambar itu dibuat 2 tahun yang lalu sebelum Raini pindah di desa ini. Ia menatap foto itu lama hingga larut malam sambil memikirkan sesuatu: "Aku ingin sekali mempunyai kehidupan seperti ini. Kehidupan yang penuh kebahagiaan, ketenangan, punya segalanya. Entah kapan aku bisa seperti ini dan bisa membahagiakan orang tuaku? Bahkan siapakah wanita yang akan menjadi jodohku nanti? Aku tidak bisa menjawab semua itu. Aku anak seorang petani, yang ku bisa hanyalah bekerja dan bersekolah untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Kalau memang ada jalan buatku seperti itu, pasti sudah di kasih jalan untuk sukses." gumamnya lirih. Pada tengah malam, Ryan tertidur pulas di atas meja belajarnya sambil menahan foto itu di lengannya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
299.3K
bc

Too Late for Regret

read
234.2K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.5M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
129.6K
bc

The Lost Pack

read
324.8K
bc

Revenge, served in a black dress

read
130.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook