New Place

1151 Words
Saat Abby tiba di ruang makan, tatapannya terpaku pada televisi yang menempel di dinding. Televisi berukuran 24 inch itu memang sengaja diletakkan dekat dapur dan ruang makan. Alasannya sederhana, ibu Abby suka melihat acara memasak ataupun gosip sambil berkutat di dapur. Sedangkan ayah Abby suka melihat berita sambil sarapan atau makan malam, tapi kini televisi itu dikuasai Raline yang mengganti dengan siaran acara musik. Abby tahu makan malam kali ini tidak akan berjalan dengan tenang. Benar saja, tiba-tiba Abby merasakan meja makan bergetar karena Raline memukul-mukul meja. Ia tersenyum-senyum sambil menatap penyanyi idolanya. Anak laki-laki yang seumuran dengan Abby itu sedang memetik gitar sambil bernyanyi. Ia memiliki kulit kuning langsat, tubuh tinggi dan tegap, tatanan rambut comma hair, gigi putih dan rapi, mata yang indah dan senyum yang manis. Suaranya berat dan sedikit serak, siapa yang tidak bertekuk lutut mendengarnya. Raline, adik Abby, yang baru berusia 14 tahun saja sangat mengidolakan penyanyi itu. “Ral, tolong tenang! Kayak mau tawuran aja,” Ayah mengingatkan Raline bahwa mereka sedang di ruang makan. Raline terlalu gaduh, Abby sendiri merasa terganggu, tapi ia lebih memilih diam daripada berkomentar. “Siapa sih Ral?” tanya ibu sambil meletakkan sepiring ayam lada hitam di tengah-tengah meja. “Chandrios Wiguna, Bu. Masak nggak tahu sih. Itu lho penyanyi yang lagi hits, suaranya bikin hati meleleh.” Ibu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak bungsunya itu. “Abby mengidolakan dia juga?” “Dia terlalu sempurna,” gumam Abby sambil menggeleng. Lalu ia menatap ke televisi, menatap Chandrios Wiguna lekat-lekat. Ia tahu bahwa penyanyi itu adalah teman SD-nya dulu. Iya, itu adalah Chan, panggilan akrab yang Sila dan ia berikan; tapi biasanya orang-orang memanggilnya Rios. Rios yang dulu memiliki tubuh kurus kering dan giginya tidak rapi. Banyak bintik-bintik merah di kulitnya, bekas gigitan nyamuk yang mengganas di musim panas. Meskipun Rios telah banyak berubah, Abby masih bisa mengenalinya. Rios yang sekarang hanyalah versi Rios yang sudah tahu cara merawat diri. Lagipula ada berapa nama Chandrios Wiguna di Indonesia yang memiliki rupa seperti teman Abby. Orang tua Abby jelas sudah lupa dengan Rios, karena dulu cowok itu nyaris tidak pernah main ke rumah Abby. Abby tidak mau menjadi sok kenal dengan Rios, meskipun dulu ia mengenal baik Rios. Oleh sebab itu, ia tidak memberitahu siapa pun bahwa Rios yang terkenal itu adalah temannya. Bahkan ia tidak mengikuti akun ** Rios, tapi Raline tentu saja mengikutinya. Setiap cowok itu live di **, Raline akan melonjak kegirangan dan berteriak histeris. Ia selalu mengikuti semua berita terkini tentang Rios, menonton setiap vlog dan acara musiknya. “Yah, izinin aku pergi ke launching album ketiga Rios ya? Ini terbatas banget buat 300 pembeli pertama yang PO mini album bertanda tangan dia. Jadi, pembelian album bakal dimulai besok. Aku harus beli di hari pertama pembukaan biar dapat seat.” Raline menunjukkan tampang memelas agar ayahnya mau membelikan album. “Daripada buat beli album lebih baik uangnya buat beli buku pelajaran, Ral.” “Please, Yah. Itung-itung Ayah habis dapat promosi kan, masak nggak mau bagi-bagi rezeki ke anaknya.” Raline mengatupkan kedua tangannya sambil memohon-mohon kepada Ayah. Abby menyenggol kaki Raline, tapi adiknya itu tidak peduli. Ia terus memohon kepada ayahnya. “Harganya berapa memang?” “Cuma 450 ribu, itu aku dapat kaos dan udah bisa ikutan launching album Rios.” “Mahal banget. Uang segitu lebih baik buat makan yang enak-enak.” Akhirnya Abby buka mulut, setelah dari tadi ia hanya menatap bergantian ke arah televisi lalu piringnya. “Itu lebih murah Kak, daripada tiket konser. Please ya, Yah.” Raline menarik-narik lengan ayahnya. Ayah menghela napas. “Boleh deh.” Meja makan kembali bergetar karena kaki Raline tidak sengaja menabraknya saat ia melonjak kegirangan. Abby mendengus kesal. Semudah itu Ayah menuruti permintaan Raline. “Kalau gitu bisa nggak Yah, Abby balik ke sekolah sebelumnya?” Mata Ayah melotot. “Nggak mungkin dong. Kan kepindahan kamu sudah final. Besok juga hari pertama kamu masuk ke SMK Karya Nusa, kan.” Abby tahu itu adalah permintaan mustahil, tapi barangkali ayahnya sedang khilaf dan mengizinkannya kembali. Hanya iseng mencoba-coba, Abby tentu saja tidak serius dengan permintaannya. Ia hanya tidak suka harus beradaptasi lagi dan lagi setiap kali ayahnya dipindahtugaskan. Apalagi sekarang ia sudah kelas XII akan sangat sulit beradaptasi bagi orang kikuk seperti dirinya. Di SMK terdahulu Abby hanya memiliki segelintir teman dan masuk ke golongan mudah-dilupakan. Tidak hanya kisah pertemanannya yang menyedihkan, tapi juga kisah percintaannya. Sejak dulu, cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Ia harus puas melihat gebetannya jalan dengan cewek lain. Ia tidak yakin sekolah barunya akan lebih menyenangkan daripada sekolahnya dulu. Walaupun di sekolah itu memiliki banyak jurusan, yang artinya banyak kesempatan menjalin pertemanan, tapi ia masih khawatir. Ibu mengelus rambut lurus Abby. Seakan ia bisa melihat raut khawatir di wajah putrinya, ia berkata, “Abby, nggak usah khawatir ya, SMK Karya Nusa itu salah satu SMK favorit lho. Ibu yakin kamu bisa beradaptasi di sana dan mendapat ilmu yang lebih baik.” Abby memaksakan diri untuk tersenyum, meskipun ia masih ragu. Jadi pecundang itu melelahkan. Ia tidak mau bernasib sama di sekolah barunya nanti. Pokoknya kali ini ia harus bisa mengubah nasibnya. *** Tujuh menit sebelum bel masuk sekolah, Abby sudah sampai di sekolah barunya. Ia nyaris terlambat karena kelamaan mengatur penampilannya. Tadi pagi ia menggunakan make up tipis agar tidak kelihatan terlalu pucat. Lalu, ia meminjam hair curling machine milik Raline agar rambutnya kelihatan mengombak di bagian bawah. Bagaimanapun juga penampilan adalah yang pertama dilihat. Abby harus memberikan kesan yang baik pada perjumpaan pertama dengan penghuni SMK Karya Nusa. Kini Abby berdiri di depan gerbang SMK Karya Nusa yang kelihatan megah itu. Gapuranya yang besar terbuat dari beton dengan hiasan batu alam di pinggirannya. Besi hitam melengkung dengan tulisan SMK Karya Nusa beserta motto-nya terbuat dari plat berwarna emas menyambut Abby. “Ab esse ad posse.” Abby membaca kata-kata itu sambil mengernyitkan dahi. Ia tidak tahu apa artinya, bahkan cara pengucapannya mungkin salah. Seseorang menabrak lengan Abby, seolah-olah orang itu tidak melihat Abby yang setinggi 168 cm sedang berdiri di sana. “Ngapain sih ngalangin jalan gue?” Abby mendapati seorang cewek—yang tingginya sebatas telinga Abby—sedang memelototinya. Ia membaca nama terang di seragam cewek itu, Lisha Andaru. Lisha menatap ke atas gerbang, lalu menatap Abby lagi. “Lo kepo itu artinya apa? Coba deh cari pakai Google, gitu aja repot. Atau, lo bisa baca sejarah sekolah ini, kecuali lo datang ke sekolah ini kosongan.” Ia menunjuk-nunjuk ke pelipisnya sendiri, lalu berbalik badan. Abby menelan ludah. Padahal ia hanya berdiri di sana, tidak melakukan apa pun, tapi sudah membuat orang lain sebal. Apa mungkin ia punya aura yang jelek sejak lahir. Kesalahan apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga ia harus dilahirkan kembali sebagai Abigail Galesha yang penuh kesialan. Abby menarik napas panjang, lalu ia berjalan melewati gerbang SMK Karya Nusa. Ia harus tetap optimis, segalanya akan baik-baik saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD