Alya memainkan kalung yang sudah lama melingkar di leher jenjangnya. Kalung yang sangat penting dalam hidupnya. Karena kalung itu adalah salah satu benda yang selalu mengingatkannya pada sosok itu. Sosok yang sama pentingnya dengan kalung matahari yang begitu ia sukai itu.
Alya sangat menyayangi kalung itu. Kalung perak yang merupakan benda yang bisa menjadi penghubung antara dirinya dan teman masa kecilnya itu. Teman masa kecil yang sudah 9 tahun tidak berjumpa lagi dengannya.
Teman masa kecil yang berada di dasar hatinya yang paling dalam. Bahkan sampai sekarang Alya tidak bisa melupakan teman masa kecilnya itu. Alya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan teman masa kecilnya, sesuai dengan janji yang pernah mereka ikrarkan sebelum akhirnya Alya meninggalkan laki-laki itu.
Tapi Alya sedikit ragu untuk bertemu dengan laki-laki itu. Mengingat kondisinya yang sudah berubah jauh saat mereka terakhir bertemu. Alya juga ragu apakah laki-laki itu masih mengingatnya dan janji yang dulu mereka ikrarkan itu.
Andai kaki Alya tidak lumpuh. Andai saat itu keluarganya tidak memutuskan untuk pindah. Andai saat itu kecelakaan itu tidak terjadi. Andai Alya dapat kembali tinggal di rumahnya yang lama. Andai kakinya tidak lumpuh. Semuanya hanya andai, dan tidak akan pernah berubah.
Alya bukannya ingin menyalahi takdir. Sama sekali dia tidak pernah bermaksud menyalahi takdir yang sudah di gariskan Tuhan untuknya. Tapi Alya hanya ingin kakinya bisa berjalan seperti dulu. Karena Alya takut, laki-laki itu akan meninggalkan Alya setelah melihat kondisi Alya yang sangat berbeda jauh dari sebelumnya.
Saat sedang bergerumul dengan pikiran dan bayang-bayang masa lalunya, tiba-tiba Alya mendengar lantunan nada yang indah dari dalam ruang musik yang saat itu berada tidak jauh dari tempatnya berada sekarang.
Dengan pelan Alya mendorong pintu ruang musik yang tidak terkunci tersebut. Alya seolah tersihir dengan lantunan-lantunan yang begitu indah sehingga masuk ke dalam sanubarinya dan begitu menentramkan jiwanya.
Alya mendapati seorang laki-laki sedang duduk di depan piano yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut. Alya mendekati laki-laki itu dan mendorong kursi rodanya dengan sangat pelan. Alya bertepuk tangan tepat pada saat laki-laki itu menghentikan aktivitasnya bermain piano.
Rey sedikit kaget saat mendengar sebuah tepuk tangan yang berasal dari samping tubuhnya. Rey mengira itu adalah Selly, sehingga saat dia menoleh ke samping, dia sudah siap mengeluarkan makian yang akan dia tujukan pada Selly.
Rey langsung mengubur semua makiannya saat melihat seorang gadis yang tengah duduk di atas kursi rodanya sambil menatapnya penuh kekaguman. Gadis yang dia yakini sebagai orang yang disukai oleh Andra. Rey dengan jujur mengakui kalau gadis yang kini berada di depannya ini benar-benar sesuai dengan apa yang di ceritakan Andra kemarin.
“Permainan piano kamu bagus banget!.” puji Alya dengan tulus.
“Eh... ehm... makasih…” sahut Rey sedikit kaku.
Rey terpaku melihat wajah Alya yang begitu natural tanpa sedikit pun sentuhan make up yang berlebihan seperti Selly. Rey merasa jantungnya berdetak tak karuan saat mendengar tawa Alya. Entah kenapa Rey begitu merindukan suara tawa itu. Rey merasa begitu nyaman saat melihat senyuman di wajah Alya.
Alya menatap wajah laki-laki yang berada di depannya. Laki-laki yang tidak dia ketahui siapa namanya. Laki-laki yang baru hari ini dia lihat di sekolahnya. Alya merasa begitu mengenali laki-laki yang ada di hadapannya itu, padahal mereka baru bertemu hari ini. Alya juga merasa rindunya sedikit terobati saat melihat laki-laki itu.
“Kamu ikut estrakulikuler seni juga?” tanya Alya. Memecahkan keheningan yang cukup lama di antara mereka berdua.
Rey mengerjapkan matanya berkali-kali dan membuang jauh-jauh semua yang terjadi padanya saat itu juga. “Enggak kok.” Jawab Rey singkat.
“Kenapa tidak? Yang aku denger, permainan piano kamu sangat bagus, aku sampai merinding mendengarnya. Aku belum pernah mendengar permainan piano seindah yang kamu mainin tadi.” Aku Alya jujur.
“Elo terlalu berlebihan memuji gue. Permainan piano gue gak sebagus yang elo bayangin.”
“Aku gak berlebihan kok, lagi pula aku juga gak memuji kamu. Aku berkata yang sejujurnya. Coba kamu gabung sama estrakulikuler piano, pasti kamu bakal ditarik buat ikut lomba piano yang diadain antar sekolah.”
“Gue gak minat buat ikut lomba, piano ini sekedar untuk mengisi waktu luang gue.” Jelas Rey sambil menekuri tuts-tuts piano di sampingnya.
“Tapi kamu begitu berbakat main pianonya. Kalo kamu ikut lomba, aku jamin, kamu pasti terpilih menjadi juara pertama.”
“Hehe, makasih atas tawarannya, tapi gue bener-bener gak niat buat ikut lomba. Karena gue cukup menikmati sendiri permainan piano gue. Seperti sebelum elo dateng.”
Alya mengangguk sekilas kemudian memutar kursi rodanya menuju pintu keluar. Melihat Alya yang hendak pergi, entah kenapa Rey kemudian menahan Alya untuk pergi. Rey juga tidak tahu kenapa bisa melakukan itu. Tapi hati kecilnya-lah yang menyuruhnya untuk melakukan hal itu.
“Nama lo siapa? Gue Rey.”
Alya menatap Rey dengan tatapan bingung. Kemudian tak sengaja mata mereka beradu cukup lama. Rey merasakan hatinya begitu senang menatap mata hitam yang begitu lembut itu. Alya kemudian memutuskan kontak mata itu karena hatinya merasakan sesuatu yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata.
“Aku Alya.”
***