EMPAT

1410 Words
Rey duduk di atas ayunan di halaman belakang rumahnya. Tangan kirinya menggenggam erat kalung berbandulkan matahari yang melingkar di lehernya. Kalung kenangan antara dirinya dan Alina. Kalung yang dulu dia berikan sebelum Alina meninggalkannya ke tempat yang jauh dan sama sekali tidak ia ketahui. Rey sangat menyukai semua ekspresi di wajah Alina. Saat Alina marah, tertawa, tersenyum, ngambek dan saat Alina berusaha menahan tangisnya. Alina tidak pernah menangis di hadapan Rey. Karena itulah Rey sangat penasaran dengan ekspresi Alina kalau gadis itu menangis. Alina adalah wanita yang selalu menunjukkan wajah ceria. Saat dia jatuh dari sepeda, dia sama sekali tidak menangis. Padahal saat itu lututnya terluka dan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Rey tidak pernah sekalipun mendapati Alina yang sedang menangis. Alina adalah wanita yang lembut dan terlihat kuat walaupun pada saat itu dia sedang sedih. “Alina, gue kangen sama elo. Elo sekarang ada dimana? Apa elo masih inget sama gue? Sama janji kita? Gue selalu inget sama elo, Al. Sama janji kita. Gue gak akan pernah lupain semua tentang elo.” *** Rey memejamkan matanya sambil menikmati lantunan melodi-melodi yang dia mainkan. Jari-jarinya menari dengan indah di atas tuts-tuts berwarna hitam dan putih tersebut. Hatinya terasa tentram saat memainkan piano. Rey melampiaskan rasa rindunya melalui lantunan-lantunan indah yang dia timbulkan. Tiba-tiba Rey merasakan seseorang tengah memeluknya erat dari belakang. Rey langsung membuka matanya dan mengubah posisi duduknya untuk melihat orang yang sekarang tengah memeluknya. “Selly?” tanya Rey kaget saat melihat Selly yang tengah memeluknya erat. “Lepasin…” seru Rey sambil berusaha melepaskan rangkulan Selly. Selly langsung menunjukkan ekspresi cemberutnya pada Rey saat cowok itu menatapnya dengan tatapan emosi. “Iihh… kok elo gitu sih sayang? Gak pernah deh elo lembut sama gue. Padahal sama cewek-cewek yang lain elo bisa bersikap manis. Sedangkan sama gue…” Selly menggantungkan kalimatnya sambil mengangkat bahunya. “Ngapain juga gue mesti bersikap manis sama elo? Cewek lenje kayak elo emang gak pantes dapet sikap yang manis!” Ujar Rey ketus sambil menunjuk wajah Selly. “Ih, Rey jahat deh...” sahut Selly dengan suara manja. “Jangan kasar-kasar dong sama aku. Nanti aku bisa tambah sayang sama kamu Rey-ku sayang…” “Sayang? Kepala lo peyang! Udah deh mending elo keluar dari ruangan ini sebelum mood gue bener-bener berubah jadi jelek dan gue bersikap kasar sama elo!” ancam Rey dengan mata melotot. Dasar nih cewek, gangguin mood gue aja! Lama-lama bisa tua nih gue karena liat tampang lenje dia. Batin Rey kesal. Selly tertawa kecil melihat tampang Rey yang sangat menggemaskan baginya itu. Tanpa aba-aba lagi Selly langsung mencubit kedua pipi Rey. “Ih, lo tambah imut deh kalo lagi marah. Tau gak? Gue itu suka banget tampang elo kalo lagi marah. Ngegemesin.” Bisik Selly sambil menatap lurus mata Rey. “Imut lo bilang? Lo kira gue ini boneka yang bisa lo mainin karena imut? Dasar cewek gila!” maki Rey dan langsung menghempaskan tangan Selly dengan kasar. “Lo bukan boneka kok Rey, lo itu pangeran di hati gue.” “Pangeran lo? Terus elo jadi putri buat gue gitu?” tanya Rey dengan malas. Selly mengangguk antusias saat Rey bertanya. “Semua cewek di sekolah ini juga selalu berharap bisa jadi putri di hati elo, Rey.” “Semua cewek itu gue bolehin buat berharap sama gue. Tapi kalo elo… gue gak mau elo ngarep-ngarep sama gue. Elo itu terlalu bahaya buat gue! Lagian kenapa sih elo itu suka banget, ya, deket-deketin gue? Udah tau gue sering nyuruh elo buat jauh-jauh. Eh, elo malah semakin ngedeketin gue. Gak capek apa lo? Kalo gue jadi elo, gue udah capek setengah mati.” “Rey, asal lo tau, walaupun di dunia ini banyak cowok yang ngejar-ngejar gue, lebih ganteng dari lo, gue gak akan pernah berpaling dari elo. Karena gue cintanya sama elo seorang. Gak ada yang bisa gantiin elo di hati gue. You’re so special, Rey. Walaupun elo selalu ngejauh dari gue, gue gak akan jauh dari lo. Karena gue jatuh cinta sama elo, Rey. Cinta gue ini tulus buat elo.” ucap Selly sungguh-sungguh. Bukannya senang apalagi terharu, Rey malah semakin ngeri mendengar perkataan Selly barusan. “Mending elo gak usah terlalu banyak ngarepin gue deh. Karena di hati gue cuma terukir nama satu cewek. Dan cewek itu bukan elo. Jadi jangan mimpi deh!” Selly terlihat sedih saat mendengar bahwa di hati Rey sudah terukir nama cewek lain. “Kenapa lo gak lupain tuh cewek? Kenapa lo gak berpaling buat gue? Siapa cewek itu, Rey?” “Ngapain sih elo nanya-nanya? Gak penting juga kan elo tau siapa tuh cewek. Mending sekarang lo pergi sebelum gue bener-bener bersikap kasar sama elo!” “Oke! Gue bakalan pergi. Tapi gue gak akan nyerah buat dapetin elo Rey. Ingat itu baik-baik!” *** Andra berdiri di depan pintu ruang lukis di sekolahnya. Dia ragu-ragu untuk masuk ke dalamnya. Tapi akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan tersebut. “Bismillah...” ucapnya sebelum memutar handle pintu tersebut. Senyum merekah di bibir Andra langsung terukir begitu melihat seseorang yang saat ini menjadi alasannya untuk masuk ke ruang melukis tersebut. Perlahan-lahan Andra mendekati gadis yang sedang duduk memunggunginya itu. “Alya,” Panggil Andra pelan. Mendengar namanya di panggil, Alya pun menoleh ke belakang. Alya melemparkan senyumannya saat melihat Andra sedang berdiri di depannya dengan senyum yang terukir sempurna. “Eh kamu, Ndra. Aku kira siapa. Ngapain kamu kesini, Ndra?” tanya Alya ramah. “Ehm… ini loh... ehm... Kebetulan tadi gue lewat sini, terus liat ada elo di dalem, jadi gue masuk deh.” Jawab Andra dengan sedikit gugup. “Oh, aku kira karena kamu mau liatin aku ngelukis. Hehe… aku kege-eran banget, ya?” canda Alya sambil tertawa pelan. Alasan gue yang sebenernya emang buat ngeliatin elo, Al… Batin Andra. Alya kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti karena kehadiran Andra. Saat Alya menarikan kuasnya di atas kanvasnya dengan lincah, Andra semakin kagum pada sosok yang ada di depannya itu. Andra sudah lama menyukai Alya. Bahkan sejak hari pertama MOS diadakan. Andra tidak memperdulikan fisik Alya yang memang tidak sama dengan yang lainnya. Dia menyukai Alya karena gadis itu memiliki hati yang benar-benar suci, bahkan bidadari-bidadari yang ada di surga kalah dengan kesucian hati Alya. Alya sangat bersemangat dalam menjalani semua kegiatannya. Hal itulah yang membuat Andra semakin menyukai Alya. Banyak hal-hal positif yang dia temukan dalam diri Alya. Karena Alya-lah Andra jadi lebih bersemangat pergi ke sekolah. Padahal dulu dia sangat malas pergi ke sekolah. Tapi itu semua tidak berlaku lagi semenjak dia mengenal Alya. Andra sudah lama ingin menyatakan perasaannya pada Alya. Selama ini Andra sering memantau keseharian Alya dari jauh. Dari pemantauannya Andra jadi tau kalau Alya hanya tinggal berdua dengan Ibunya. Alya sering melukis, dan lukisan Alya sangat indah. Dan yang paling membahagiakan adalah sampai sekarang Alya tidak pernah punya pacar. Karena itulah Andra semakin mudah untuk mendekati Alya. Andra tahu betul seperti apa Alya di mata cowok-cowok di sekolahnya. Kurang lebih mereka mempunyai pikiran yang sama dengannya. Andra juga tahu kalau banyak laki-laki yang mengagumi Alya. Tapi tak satu pun dari mereka yang berani mengatakannya pada Alya. Begitu juga Andra. Sebenarnya alasan Andra menemui Alya saat ini juga karena ingin mengatakan sesuatu pada Alya. Sesuatu yang akhirnya ingin dia ungkapkan setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya sebagai seorang pria. “Eh, Al. Sabtu depan elo ada acara gak?” tanya Andra dengan jelas. Alya berbalik badan dan menatap Andra dengan kening mengkerut. “Gak ada, emang kenapa Ndra?” “Jalan yuk.” ajak Andra bersemangat. “Ha, jalan?” tanya Alya tak percaya. “Iya, jalan. Mau gak? Masa elo gak mau sih refreshing dikit aja? Setiap hari gue perhatiin elo itu selalu bergelut dengan lukisan lo. Sekali-sekali lo itu harus keluar dari galeri lo supaya sedikit rileks.” Alya terdiam meresapi kata-kata Andra. Andra memang benar. Dia hampir tidak pernah keluar dari rumahnya, selain pergi ke sekolah. Alya memang malas untuk keluar dari rumahnya setelah kakinya lumpuh. “Mau gak Al?” Tanya Andra lagi. Alya masih terdiam memikirkan ajakan Andra. Kemudian dia menatap Andra sambil tersenyum dan kemudian mengangguk. “Oke, Sabtu depan, kan? Insyaallah aku mau jalan sama kamu.” Jawab Alya. “Beneran?” Tanya Andra tak percaya. “Iya.” jawab Alya singkat. “Makasih Al. Sampai ketemu Sabtu depan ya?” Andra kemudian keluar dari ruang melukis dengan bibir yang tak pernah berhenti untuk tersenyum. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD