30. Pesta

1013 Words
"CEO sudah siap?" tanya Adras yang baru keluar dari ruangannya malam itu. Dia terpaksa harus mandi dan berganti pakaian di kantor hanya untuk mendampingi Harpa pergi ke pesta. "Stylist masih berada di dalam, Pak. Mereka sebelumnya memberitahu akan keluar apabila CEO sudah selesai mengenakan gaunnya," ungkap salah satu penjaga yang berdiri di depan pintu. Adras mengangguk saja. Dia memeriksa jam di pergelangan tangan. Benda bermerk mahal itu Adras pilih di antara puluhan lainnya. Hari ini dia mengenakan tuxedo hitam sesuai dengan dress code acara. Memang pesta digelar secara formal dan menghadirkan para pebisnis di dunia hiburan termasuk artis populer. Pintu ruangan terbuka. Adras memalingkan pandangan ke arahnya. Terbelalak mata Adras melihat tampilan CEOnya malam itu. Harpa mengenakan gaun merah panjang dengan model boat neck yang kerahnya dihiasi kain bergelombang. Rok gaun itu menyapu lantai dan mengembang seperti kebanyakan ballgown. Rambut Harpa dibuat terurai dengan bagian sisi kanannya disisir ke belakang dan dijepit hiasan bunga keemasan. Riasan simple, tapi mewah membuat wajah Harpa jauh lebih cantik dari biasanya. "Kamu kenapa mengo gitu?" tegur Harpa. Jika saja dia tak bicara, Adras mungkin akan mematung di sana hingga tahun depan. Adras menggelengkan kepala. "Sudah waktunya kita berangkat. Saya akan berada di belakang Anda." Adras bergeser ke sisi lorong untuk memberikan Harpa ruang. Gadis itu berjalan lebih dahulu, barulah Adras mengikuti dari belakang. Rambut Harpa bergerak ke sisi kanan dan kiri mengikuti langkah. Sesekali pungungnya terlihat oleh Adras hingga pria itu harus menarik napas panjang untuk menepis rasa kagum. Mereka akhirnya tiba di lobi. Adras bukakan pintu mobil dan membantu Harpa naik. "Nanti di sana, aku gak perlu pidato, kan?" tanya Harpa. "Tidak. Hanya beberapa pebisnis pasti akan mendekati Anda, mengajak bicara basa-basi dan ujungnya akan berlangsung pada bisnis. Di sana pun akan hadir pimpinan label yang akan bekerja sama dengan Callir," jawab Adras. Dia tak berani melihat ke belakang. Khilaf pada mantan yang sulit digenggam akan membuat hidupnya ke depan semakin sulit. "Apa yang harus aku lakukan?" Harpa mengeluarkan cermin dari tasnya. Di luar pemandangan tampak gelap dan hanya lampu pertokoan yang menyinari. "Yang pasti jangan sembarangan tergoda bujuk rayuan. Tak semua bisnis harus Anda setujui. Cukup berikan kesan Anda seolah tidak menerima, tidak pula menolak. Apabila ada hal penting, ingat baik-baik dan minta saya mencatatnya," jelas Adras. Harpa memeriksa hasil riasan. "Tapi kayaknya di sana aku akan menarik perhatian banyak pebisnis muda lelaki. Aku cantik banget ya, kan? Aku sendiri saja sampai kagum dengan wajahku. Coba sejak sekolah dulu aku sering dandan begini. Semua cowok populer sekolah pasti akan mengejarku," ucap Harpa dengan penuh percaya diri meski yang dia katakan benar. Adras hanya berdeham. Pria itu Memeriksa ponsel dan memastikan tak ada pesan yang masuk, apalagi dari rekan bisnis Harpa. Dia harus menggunakan dua ponsel yang berbeda untuk itu. "Adras, menurut kamu tentang grup perempuan di Callir itu gimana? Mereka cantik-cantik?" tanya Harpa. "Saya harus memberikan penilaian objektif sebagai apa?" tanya Adras. Harpa terkekeh. "Tentu sebagai pria. Aku pikir perlu mengevaluasi grup wanita. Di luar negeri sana grup wanita jauh lebih memiliki banyak dukungan dari fans. Kalau memang kita bisa memiliki dua pasar, kenapa hanya fokus pada salah satu, kan?" tanya Harpa. "Mereka cantik, menarik dan berbakat," jawab Adras. "Mana yang membuat kamu lebih tertarik? Jawab jujur saja, aku gak akan beritahu Okna." Harpa menyimpan kembali cermin dalam tasnya. Adras tersenyum. "Bukannya semua pria sama? Awalnya dari kecantikan, lalu mencari hal yang membuat nyaman dan berakhir jatuh cinta," jelas Adras. Harpa menepuk tangannya. "Benarkan? Bakat dilihat setelah wajah." "Hanya fans juga akan kabur kalau tahu artisnya hanya modal tampang," timpal Adras. Harpa mengangguk mengerti. Mobil menepi di depan sebuah hall besar yang dibangun di atas sebuah lapangan luas. Seorang petugas membukakan pintu mobil mendahului Adras. Harpa berdiri memukau beberapa tamu yang masih ada di teras. Dia melangkah lebih dulu dan diikuti Adras di belakangnya. Saat masuk, Adras yang mengisi daftar tamu dan memperlihatkan undangan. Begitu masuk saja Harpa sudah disambut beberapa rekan bisnis. "Nona Kariswana, Anda begitu cantik sekali," puji seorang wanita yang juga mengenakan gaun merah dengan lengan panjang. Harpa menunduk tanda hormat. "Beliau Nyonya Sulivan dari PT Pribadi Jaya, perusahaan yang memproduksi piringan album artis Callir," bisik Adras. Harpa tersenyum. "Salam kenal Nyonya Sulivan, terima kasih banyak selama ini sudah menjadi rekan kami yang memberikan banyak kontribusi," ucap Harpa. "Sama-sama, Nona. Selama ini agensi yang bekerjasama dengan kami, Callir yang paling lama. Mana mungkin kami berani membuat Anda kecewa," timpalnya. Mereka sempat berbincang tentang rencana album diamond. "Jadi Hipe sudah resmi mengakuisisi Callir?" tanya Nyonya Sulivan. "Benar. Namun, mereka memberikan segala kebijakan di tanganku. Jadi, Callir tidak akan kehilangan jati diri yang selama ini dibangun," jelas Harpa. "Artinya untuk album selanjutnya," Nyonya Sulivan tidak berani melanjutkan pertanyaannya. "Masih tetap perusahaan Anda yang akan memproduksi. Malah aku ajukan pada mereka agar ikut bekerjasama," tegas Harpa, Nyonya Sulivan terlihat sangat senang. Harpa pamitan untuk menyapa pebisnis yang lain. "Sampai di sini, apa yang aku lakukan sudah benar, kan?" tanya gadis itu. Adras mengangguk. Harpa bertemu pula dengan pimpinan label yang akan bekerja sama dengannya. "Andai aku punya anak lelaki, sudah aku jodohkan dengan Anda," puji Tuan Sartono. Harpa melengkungkan bibirnya. Senyum manis gadis itu begitu hangat memancar. "Tentu saya juga sangat senang menjadi menantu dari pimpinan perusahaan sehebat Anda." Semua orang yang hadir malam itu begitu terlihat fashionable. Pakaian yang mereka kenakan sangat mewah dan berkelas. Berjalan semakin ke dalam, mata Harpa berpapasan dengan pria yang mengenakan jas hitam serta kemeja putih. Mereka saling berbagi senyuman. Pria itu mendekati dan menunduk. "Seperti biasanya Anda selalu terlihat cantik, Nona," pujinya. "Dios Aryanto pun selalu terlihat tampan," balas Harpa. Adras mendelik. Dia langsung memperlihatkan ekspresi tidak nyaman. "Anda ingin minum? Biar saya ambilkan," tawar Dios. "Aku bisa bawakan untuknya," tolak Adras. Harpa mengangguk. "Kalau begitu bawakan aku minuman yang merah di sana. Biar aku bicara dengan Dios di sini," pinta Harpa membuat Adras tertegun hingga menggigit bibir bagian bawahnya. Meski kesal, Adras tetap melakukan apa yang Harpa minta. "Dia kelihatannya cemburu padaku," komentar Dios. "Benarkah? Dia punya tunangan, by the way," kilah Harpa. "Kami sama-sama pria, bisa jelas terlihat dari wajahnya. Hanya ini menyenangkan untukku," canda Dios.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD