Bab 1. Sentuhan Mantan
“Mey … aku sampai.”
Damian memekik ketika pertahanan dirinya jebol. Dengan gerakan patah-patah ia bergerak menumpahkan benihnya di dalam rahim Meysa. Sementara wanita itu hanya bisa memejamkan mata. Sedikit ragu jika apa yang mereka lakukan akan aman-aman saja.
Setelah pergumulan itu selesai, Damian mengusap kening Meysa yang berkeringat. Dengan lembut pria itu memperlakukan Meysa yang telah memberinya banyak sekali kebahagiaan.
“Aku akan nikahin kamu. Aku janji,” katanya kemudian.
Saat itu, Meysa tak butuh hal lain lagi selain dekapan Damian yang hangat. Sampai kenyataan pahit menamparnya tanpa aba-aba. Damian menghilang, meninggalkan benih yang kini terbaring kaku di rumah sakit.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan anak Anda. Kami sudah mencoba semaksimal mungkin. Tapi, dia terlambat dibawa ke sini. Sekali lagi, kami minta maaf,” ucap dokter.
Dunia Meysa seakan-akan runtuh mendengar ucapan dokter. Bagaimana mungkin sang anak bisa pergi secepat ini meninggalkannya. Tangis wanita itu pecah. Tubuhnya terasa tak bertulang hingga luruh ke lantai marmer rumah sakit. Ucapan dokter cukup menjelaskan bagaimana bocah berusia 3 bulan itu terpaksa meregang nyawa karena tidak segera dibawa ke rumah sakit. Semua sepenuhnya salah Meysa. Namun, tetap saja sang papa harus bertanggung jawab.
“Jangan tinggalkan, Mama, Nak,” teriak Meysa yang kemudian bangkit dan memeluk tubuh biru anaknya di brankar.
Penyesalannya tiada bertepi. Sebab, telah membuat sang anak menunggu uluran tangan bapak biologisnya yang kemudian memilih untuk angkat tangan. Dalam ponsel Meysa, ratusan pesan dan panggilan keluar terpampang jelas. Bagaimana wanita itu begitu putus asa karena tidak punya uang untuk membawa sang anak ke rumah sakit. Namun, si pria yang sudah menghancurkannya memilih mengabaikan semua mengenai Meysa dan sang putra. Damian memiliki kehidupan sendiri yang jauh lebih baik.
Saat ini, di rumah sakit yang sama, pria itu sedang menunggu kelahiran anak dari istri sahnya. Sementara Meysa, wanita sederhana yang ia hamili, dibiarkan menderita dengan segudang masalah yang terjadi usai bayi dalam kandungannya lahir. Meysa tidak bisa bekerja karena harus menjaga sang buah hati. Sialnya, Damian pun enggan membantu finansialnya hingga malam ini pun datang.
Bayi itu demam tinggi sejak sepekan ke belakang. Namun, tidak ada yang bisa Meysa lakukan selain mengompresnya. Tidak ada uang, tidak punya sanak saudara. Wanita itu akhirnya berlari ke rumah sakit yang sialnya, ketika di jalan ia malah tertabrak mobil. Namun, ia beruntung. Si pengemudi akhirnya membawanya ke rumah sakit bersama bayinya yang sudah lemas.
Malang tak dapat ditolak ketika dokter menyerah mengenai keadaan sang putra. Bayi itu akhirnya meninggal dunia. Meysa masih menangis ketika tepukan di bahunya membuatnya sedikit merasa lega.
“Aku ikut sedih,” ucap Jo yang ternyata adalah orang yang menabrak Meysa tadi.
Pria itu juga terburu-buru karena adiknya akan melahirkan di rumah sakit ini. Namun, bantuannya benar-benar terlambat. Bayi Meysa tetap tidak bisa diselamatkan.
“Iya, terima kasih banyak untuk semuanya,” jawab Meysa kemudian.
Jo mengangguk lemah. Rasa ibanya tak akan menyelesaikan apa-apa jika ia tak membantu wanita itu. Walaupun tampak lusuh, tapi kecantikan Meysa tak bisa ditutupi begitu saja. Dengan tanpa sadar, daya pikat itulah yang kemudian membawa Jo untuk bisa membantu wanita itu sekali lagi.
“Kita siapkan pemakamannya. Aku akan membantumu,” katanya.
Tidak ada kata yang keluar dari bibir tebal Meysa. Wanita itu hanya mengangguk lemah karena ia masih merasa dunia tidak pernah adil. Entah di mana pun ia berada.
***
“Apa? Ibu s**u? Untuk apa, Rose? Kamu, kan, bisa menyusui anak kita,” ucap Damian mencoba bernegosiasi dengan sang istri.
“Udahlah. Biar aku yang urus semuanya. Aku akan jamin Bastian akan tumbuh jadi anak yang cerdas walaupun tanpa minum ASI-ku. Lagi pula, aku ini wanita karir. Aku punya banyak klien dan aku tidak mau penampilanku terlihat buruk di mata mereka,” kata Rose.
Wanita itu mengambil duduk di depan cermin dan menatap wajahnya yang cantik dengan bangga. Setelah mengandung selama 9 bulan, ia perlu kembali memperbaiki tubuhnya. Jika ia harus menyusui juga, akan butuh waktu lama untuk membuatnya kembali sempurna seperti sedia kala. Jadi, ia memutuskan untuk membayar ibu s**u untuk sang anak.
“Ya, tapi bukannya lebih baik kamu yang menyusuinya. Ini anak kita, loh. Bukan siapa-siapa.”
Damian masih mencoba untuk mengubah keputusan sang istri, tapi sepertinya semuanya sia-sia. Rose tetap pada pendiriannya untuk membayar orang demi menyusui sang putra.
“Udah, ya, Damian. Kamu diam aja. Aku udah dapat orangnya. Dia janda tanpa anak dan suami. Dia tak punya keluarga jadi dia bisa tinggal di sini selama menyusui Bastian. Aku akan kembali ke kantor besok. Jadi, siapkan semuanya,” jelas Rose.
“Aku bisa gantiin kamu kerja di kantor, jadi kenapa buru-buru? Kamu bisa menghabiskan waktu dengan Bastian di rumah,” kata Damian.
Rose menoleh, lalu membuang napasnya dengan kasar. Ia bersedekap, lantas menatap Damian dengan nyalang.
“Kamu? Kamu enggak bisa diandalkan, Damian. Ingatkan proyek besar kita waktu itu. Kamu melepasnya hanya karena kamu enggak suka sama pakaian mereka. Udahlah, jangan mengajakku berdebat lagi.. Aku harus bersiap sekarang.”
Rose kembali mengubah duduknya menghadap cermin. Sementara Damian hanya bisa membuang napasnya dengan kasar usai mendengar ucapan sang istri. Rose memang lebih piawai mengatasi bisnis daripada dirinya. Perusahaan di mana Damian bekerja juga milik keluarga Rose. Jadi, mau tak mau ia harus tetap tunduk pada keinginan wanita itu. Walaupun kadang, rasa kesal muncul karena tidak dihargai sama sekali. Nyatanya, Damian tidak peduli. Hidupnya sudah seratus persen tergantung pada Rose. Jadi, lebih baik ia manut saja.
Pria itu lantas ikut bersiap. Ia juga harus pergi ke kantor setelah ini. Tak lama kemudian, satpam mengantar seorang wanita menuju ke pintu utama kediaman Rose. ART di sana mempersilakannya masuk, lantas naik menuju ke kamar sang majikan.
Tok-tok-tok.
“Masuk!”
Rose memberikan izin tanpa menoleh. Saat pintu terbuka, ART bernama Murni itu langsung membuka suara.
“Maaf, Nyonya. Ada tamu. Katanya sudah janjian sama Nyonya,” ucapnya.
“Oh, iya. Aku turun sebentar lagi,” katanya.
“Baik, Nyonya.”
ART berlalu. Bersamaan dengan Damian yang selesai memakai dasinya. Ia menoleh ke arah Rose yang sudah cantik dengan dandanannya dan melempar tanya.
“Siapa tamunya?”
“Orang yang akan menyusui Bastian,” jawab Rose.
Damian masih terdiam ketika sang istri menambahkan informasi.
“Dia akan bekerja mulai hari ini. Jadi, aku bisa bersiap untuk besok kembali ke kantor,” kata wanita itu seraya berlalu.
Damian membuang napasnya dengan kasar, lantas menggeleng lemah. Tidak lagi ingin mendebat keputusan Rose, karena akan sama saja. Wanita itu tidak akan mau mendengarkannya.
Setelah selesai dengan sepatu dan jasnya, Damian akhirnya turun demi menyusul istrinya menemui si ibu s**u. Ketika menuruni anak tangga, pria itu mendengar suara sang istri yang coba menjelaskan semua yang harus wanita itu kerjakan. Semua aturan yang boleh dan tidak boleh ia kerjakan. Sampai akhirnya Damian sampai di anak tangga terbawah. Ia menoleh ke arah ruang tamu di mana Rose dan wanita itu bicara. Ketika kemudian Rose memanggilnya untuk dikenalkan pada ibu s**u anaknya.
“Oh, iya. Ini suamiku. Namanya Damian. Damian, ini wanita yang akan menyusui anak kita mulai hari ini,” jelas Rose.
Dada Damian berdebar keras. Bibirnya bahkan kelu hanya untuk menyebutkan namanya. Apakah ia tidak salah lihat?
“Selamat pagi, Pak. Saya Meysa. Saya yang akan menyusui anak Bapak mulai hari ini,” ucap wanita itu memperjelas semuanya.
Sementara Damian makin pucat. Ia menggeleng lemah, ketika kemudian pria itu juga menyambut uluran tangan bekas kekasihnya hingga telempap mereka bersentuhan.
“Damian,” bisiknya seraya mengingat sentuhan sang mantan yang hangat.