2. Ikut Pulang

1004 Words
Tak ada yang tahu. Di daerah Ringinsari, hujan kembali lebat. Jalanan hampir tak terlihat. Padahal lampu motor saya cukup terang karena saya modifikasi sendiri. Jam segini jalanan juga sudah sepi. Maklum lah, malam sudah larut. Dari kejauhan saya melihat seseorang di kanan jalan. Memakai jilbab warna kuning. Ia kehujanan karena tak membawa payung ataupun mengenakan jas hujan. Saya sempat suudzon. Maklum lah. Jam segini ada wanita berdiri sendirian di pinggir jalan. Mana mungkin itu manusia? Apalagi saya sering dengar cerita tentang Farida. Farida kerap kali menampakkan diri dalam sosok wanita cantik untuk menarik hati para laki-laki. Jangan-jangan itu juga Farida. Tapi semakin dekat dengan sosok itu, saya semakin yakin ia adalah manusia. Karena kakinya menapak tanah, tidak melayang. Lagipula jika benar itu Farida, atau makhluk astral lain, mungkinkah mengenakan jilbab? Mana gayanya lumayan gaul. Jika benar itu hantu, maka ia adalah hantu syariah yang fashionable. "Mau ke mana, Mbak?" tanya saya saat jarak kami sudah dekat. "Ke Wonorejo, Mas. Saya tadi naik motor. Tapi motor saya mogok karena knalpotnya kerendem air. Dari tadi hujan deres terus nggak berhenti-berhenti." Duh ... kasihan sekali Mbak ini. Saya jadi ingat sepupu-sepupu saya yang perempuan. Bagaimana jika ada salah satu dari mereka ketiban sial seperti Mbak ini, tapi tidak ada yang menolong. "Di mana motornya, Mbak?" "Itu." Si Mbak menunjuk motor yang dipinggirkan tak jauh dari sini. Wajar tadi saya tidak melihat. Namanya juga gelap di mana-mana. Apalagi daerah sini minim pemukiman penduduk. Ada beberapa rumah, tapi jaraknya cukup jauh satu sama lain. "Coba saya lihat, ya, Mbak!" Saya mulai turun dari motor. "Mana kelihatan, Mas. Udah malem ini." "Iya, sih. Tapi ya mau gimana lagi? Nggak mungkin Mbak e nunggu di sini sampai pagi, kan?" Saya langsung membuka jok untuk mengambil beberapa peralatan yang selalu siap sedia di sana. Jaga-jaga bila sewaktu-waktu motor saya sendiri mogok. Atau kalau ada yang memerlukan pertolongan mendadak seperti ini. Saya mulai memeriksa keberadaan baut-baut yang menghubungkan bodi motor. Saya punya senter kecil untuk penerangan--salah satu dari peralatan perbengkelan saya. Belum juga saya mulai membuka baut dengan obeng, eh, senter saya tiba-tiba mati. Sial. Baterainya habis. "Mbak, HP Mbak masih nyala, nggak?" Si Mbak menggeleng penuh sesal. "Sudah mati dari tadi, Mas. Mana kehujanan pula." "Duh, HP saya juga udah matot, Mbak. Mati total." Mbak e hanya meringis menanggapi ucapan saya. Saya benar-benar bingung harus bagaimana. Niat ingin menolong, eh, malah seperti ini. Saya jadi sungkan sekaligus malu pada si Mbak. "Gini, Mbak. Jadi ini kan saya mau ke Rembang. Wonorejo sebelah utaranya Rembang. Apa Mbak mau bareng saya aja?" Si Mbak terlihat berpikir. "Nggak repotin, Mas? Saya Wonorejonya hampir perbatasan Manisrenggo, lho." Manisrenggo adalah perbatasan Kediri Kabupaten dan Kediri Kota. Cukup jauh memang dari Rembang. Tapi tak masalah daripada si Mbak kebeteng di sini semalaman. "Nggak apa-apa, Mbak. Nggak repotin kok." "Duh ... saya jadi nggak enak, Mas." "Nggak apa-apa, Mbak. Besok pagi Mbak e ambil motornya sama Bapak atau saudara laki-lakinya, Mbak." "Iya, Mas." Saya segera membereskan peralatan yang telanjur berceceran di tanah. Lalu saya mendahului si Mbak naik ke motor duluan. "Mbak, jangan lupa motornya dikunci ganda dulu!" peringat saya. "Iya, Mas." Si Mbak segera mengunci ganda kendaraannya. "Acara hari ini gimana, Buk?" tanya saya akhirnya. "Hari ini masih kirim doa aja. Acara inti, ijab kabul sama temu manten masih besok. Harus full energi buat jadi peladen sepanjang hari." Ibuk mengeluarkan otot lengannya yang super utuh dan berisi. Hasil pemberian nafkah dari Bapak yang tak pernah kurang. Ibuk minta makan apa saja dituruti. Makannya jadi gembul begitu. "Ya udah, kalau gitu sekarang aku langsung tidur aja, Buk. Siap-siap tenaga buat besok." Saya melenggang pergi meninggalkan Ibuk yang masih betah nongkrong di depan bersama ibu-ibu, saudara-saudara, dan tetangga-tetangga. Mereka sedang sibuk membuntel lemper sebagai salah satu kudapan asul-asul para pengiring dari keluarga mempelai laki-laki. "Nggak makan dulu?" tanya Ibuk. "Nggak, deh, udah kenyang minum air hujan!" Seketika Ibuk tertawa mendengar jawaban saya. Ibuk kok tidak ada peka-pekanya. Anak kehujanan sepanjang hari sampai malam malah ditertawai bukannya disayang-sayang. Eh, tapi saya kan pemuda strong luar dalam. Anti manja-manja club. Malu sama kucing. Meong meong meong. Saya langsung masuk ke kamar Mas Wisnu--kakak dari Mbak Winda--yang besok menikah. Kamar masih kosong. Karena Mas Wisnu masih sibuk di depan, menata kursi untuk para tamu undangan. Kasihan Mas Wisnu. Ia harus rela dilangkahi sang adik karena jodoh yang datang lebih cepat. Senyum saya seketika menghilang. Suara siapa itu tadi? Lirih. Hanya bisikan. Namun jelas. Suaranya rendah. Sedikit bergetar. Seperti kedinginan dan menahan sakit. Suasana sekitar yang semula sejuk, kini menjadi cukup dingin. Tapi tidak ada siapa pun di sini. Hanya saya seorang. Mungkin itu tadi hanya perasaan saya, kan? Saya terlalu mendalami cerita si kriwul j*****m di warung. Makanya nama Nina terngiang-ngiang di benak. Saya kembali berbaring dengan tenang. Mulai memikirkan kembali paras manis nan ayu Mbak Cantik berjilbab kuning. "Saya, Nina, Mas. Makasih udah anter pulang, ya." Saya segera bangkit, duduk melihat ke sekitar. Masih tak ada orang. Hanya saya seorang di sini. "Saya yang ngomong, Mas." Terdengar lagi. Kali ini suaranya menjauh. Saya ikuti arah suaranya. Dari dinding yang berhadapan dengan kasur ini. Samar-sama mulai terlihat satu sosok. Wanita ... berambut panjang. Sebenarnya saya cukup takut. Mengingat jelas yang saya lihat sekarang bukanlah manusia. Sosok itu mulai terlihat jelas. "Iya, Mas. Ini saya," ucapnya sembari tersenyum. "Terima kasih, ya, Mas." Saya benar-benar tak sanggup berkata apa-apa. Ternyata yang saya temui di jalan tadi, yang motornya mogok, yang saya antar pulang ... bukan manusia. "Terima kasih sudah dengar cerita Mas Hamdan. Karena kalau Mas nggak dengar, saya akan tetap bersama dia. Bukannya berpindah dengan Mas Ramda yang tampan dan beriman." Sebenarnya saya tak mengerti. Hamdan siapa? Kapan saya mendengar ceritanya? "Mas Hamdan ... si kriting yang ngobrol sama Mas Ramda di warung dekat makam saya." Sialan ... si kriwil j*****m itu! Ya Allah ... hantu itu bisa membaca pikiran saya. "Iya, Mas. Saya bisa baca. Mulai sekarang, saya akan bersama, Mas. Tolong jangan bercerita tentang saya pada siapa pun dalam waktu dekat. Karena saya masih ingin bersama Mas Ramda."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD