“Mama kenapa? Kenapa Mama terlihat sangat penasaran pada Nilam? Mama harus ingat, Nilam yang telah merebut King dari putri kita, dan Nilam juga yang membuat putri kita terluka,” kata Handoko menatap sang istri yang saat ini duduk menunduk di mobil.
“Apa Papa nggak merasa sesuatu yang beda ketika dekat dengan Nilam?”
“Maksudnya?”
“Entah mengapa Mama ngerasa udah deket banget sama Nilam, Pa. Walaupun kita baru bertemu, Mama juga nggak tahu alasannya, tapi Mama itu jadi sayang banget sama Nilam,” jawab Diana.
“Ma, jangan sampai ini membuat Eren terluka,” kata Handoko.
“Iya. Mama tahu, Eren pasti akan terluka. Tapi, Mama nggak bisa bendung perasaan Mama.”
Handoko terdiam, ia juga melihat perubahan sikap Diana, menjadi sangat gelisah dan menjadi cukup membingungkan, Diana selalu mengikuti Nilam kemanapun seolah ingin tahu lebih banyak tentang Nilam.
“Mama ngerasa dia anak kita, Pa,” kata Diana.
“Lalu Eren? Bukan anak kita? Mama jangan berpikir aneh-aneh deh. Papa tidak mau jika ini menyakiti Eren, dia anak kita dan dia yang harus Mama pikirkan, bukan Nilam. Ingat penderitaan Eren ketika kecil,” kata Handoko mengingatkan Diana tentang kejadian beberapa puluh tahun yang lalu.
Diana mendesah napas halus dan berkata, “Mama udah keterlaluan ya sama Eren, Pa?”
“Banget. Jadi, Mama lupakan Nilam,” kata Handoko merangkul istrinya.
Diana mengangguk dan menghela napas halus, ia harus berpikir jernih, ia tak mungkin memikirkan orang lain dan melupakan putrinya yang sudah banyak menderita selama ini.
“Buang jauh-jauh pikiran Mama tentang Nilam, ingat Nilam adalah perusak rumah tangga King dan Eren,” sambung Handoko.
Diana mengangguk lagi, tidak mau bersiteru dengan suaminya hanya karena Nilam, Diana mendesah napas halus dan mengelus kepalanya, ia tidak tahu mengapa ia begitu ingin terus dekat dengan Nilam, seolah ada kontak batin dengan Nilam.
***
“Jadi, ini pekerjaan yang kamu banggakan? Biasanya kami itu dapat prospek sampai 50 orang dalam sehari, lah ini kamu hanya 27 bangga banget,” kata salah satu teman kerjanya membuat Nilam terluka atas kata-kata itu.
“Maafkan saya, saya kan masih baru,” jawab Nilam.
“Kamu harus ke tempat yang berbeda hari ini,” sambung Darma.
“Tapi—”
“Menolak? Ya suah jangan bekerja.”
Nilam langsung terdiam, ia tak mungkin mengecewakan dirinya. Nilam pun mengiyakan.
Sesaat kemudian, Sadly masuk ke ruang kerja bosnya, lalu berkata, “Tuan, Nona Muda Nilam akan pergi lagi membagi brosur,” kata Sadly.
“Apa? Lagi?”
Sadly mengangguk.
“Hanya Nilam?”
“Iya.”
“Sepertinya itu sebuah intimidasi,” kata King mengelus dagunya.
“Beritahu Darma, mulai besok yang pergi ke lapangan membagi brosur dan prospek akan di lakukan orang yang aku suruh, dan itu sudah bukan tugas mereka lagi. Jadi, katakan seperti itu.”
“Baik, Tuan,” jawab Sadly.
“Dan, kamu cari orang yang bisa melakukannya. “Lakukan satu minggu dua kali, jangan setiap hari.”
“Baik, Tuan,” jawab Sadly.
King lalu bangkit dari duduknya dan berkata, “Kamu panggil Nilam suruh temui aku.”
Sadly mengangguk lalu melangkahkan kakinya meninggalkan bosnya.
Sadly masuk ke kantor tim marketing dan mencari Nilam.
“Eh, Pak Sadly, apa kabar?” tanya Darma.
“Nilam mana?”
“Nilam baru saja pergi,” jawab Darma. “Apa Nilam membuat kesalahan?”
Sadly lalu melangkah pergi dan menuju lift. Untungnya Nilam masih didepan lift menunggu, Sadly menghampirinya dan berkata, “Nona, Tuan mau bertemu dengan Anda.”
“Apa? Mau bertemu dengan saya?”
Sadly mengangguk. “Anda di suruh ke ruangan beliau.”
“Tapi saya harus bekerja,” kata Nilam. “Sampaikan kepadanya kita bisa bicara di rumah.”
“Tapi beliau ingin bicara dengan Anda sekarang.”
Nilam lalu melangkah menuju ruang kerja suaminya, Nilam mendesah napas halus dan masuk ke ruang kerja suaminya, melihat suaminya tengah berdiri memunggungi pintu.
“Ada apa, Tuan?” tanya Nilam.
“Nilam, kamu sibuk?”
“Iya. Saya harus ke lapangan lagi,” jawab Nilam. “Ada apa?”
“Temani saya sebentar,” kata King.
“Temani untuk?”
“Ya temani saya di sini,” jawab King lagi, berusaha mencari jawaban yang tepat dan tidak konyol. “Maksud saya—”
“Saya harus bekerja, jadi nanti suruh yang lain saja temani.”
King membulatkan mata, membuat Nilam tersenyum. Nilam salah bicara. King lalu duduk disebelah Nilam. Bisakah seperti ini? Pura-pura tak ada Eren? Tidak mungkin, bukan?
“Tuan, aku harus bekerja, aku punya target hari ini,” kata Nilam.
“Gampang.”
Tak lama kemudian, Darma datang dan membawa laporan penjualan ke ruang kerja King, Darma terkejut ketika melihat Nilam ada di sini.
Nilam yang melihatnya langsung bangkit dari duduknya. “Saya permisi.”
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Darma, membuat langkah kaki Nilam terhenti.
“Memangnya kenapa kalau dia di sini?” Pertanyaan itu datang dari King.