Tangisan Cahaya

1287 Words
Bayangan saat melihat wajah pucat ketiga keluarganya yang sudah terbujur kaku di rumah sakit, kembali terlintas di pikiran Cahaya. Ia ingin menangis menjerit seperti tiga malam sebelum kehadiran Aryo yang datang untuk menemani dan mengajaknya tinggal di Jakarta. Namun, ia sadar, ini bukan rumahnya sendiri dan ada dua penghuni rumah selain dirinya. Maka, meredam tangis sambil menutup mulut adalah cara yang tepat untuk saat ini. Tanpa melihat dari depan pun, orang lain pasti tahu Cahaya sedang menangis karena terlihat dari bahunya yang bergetar. Tetapi, tidak semua orang paham dengan tangis Cahaya termasuk Bintang. Bukannya menenangkan, ia malah menegur Cahaya dengan galak. “Bisu! Kenapa malah diem di situ, bukannya siapin makanan gue?!” hardik Bintang. Bintang datang ke dapur untuk mengatakan pada Cahaya agar membuat sandwich, tapi begitu tiba di dapur, bukannya melihat makanan yang disiapkan, malah melihat orang yang ia perintahkan sedang menangis. Cahaya langsung menghentikan tangisnya dan membersihkan jejak air mata tanpa menghadap Bintang. “Maaf, Kak. Aya mau siapin sekarang juga,” balasnya lalu mengambil piring. “Satu lagi peraturan dari gue, gue gak mau liat lo cengeng selama tinggal di sini!” ujar Bintang, ketus. Cahaya langsung membalikkan badannya menghadap Bintang dengan sisa-sisa isakkan. “Aya kengen sama keluarga Aya. Apa Aya salah nangisin mereka?” “Buat apa lo tangisin orang yang udah gak ada. Air mata lo gak akan bikin mereka balik lagi.” “Aya nangis bukan karena pengen mereka balik lagi, tapi Aya nangis karena Aya masih belum bisa terima kepergian mereka.” “Rasa gak terima lo itu, bakal bikin lo sedih terus-terusan.” “Apa tangisan Aya ini salah, Kak?” “Gak salah, tapi gue muak ngeliatnya!" celetuk Bintang. Cahaya semakin tidak bisa menahan tangisnya saat tidak ada sedikit pun rasa iba di hati pria yang berprofesi sebagai guru ini. Harusnya dia berusaha menghibur atau paling tidak menenangkan, bukan malah membuat dirinya semakin sedih. “Aya minta maaf udah bikin Kak Bi muak,” ucap Cahaya di tengah isakkannya. Sebenarnya hati kecil Bintang juga tidak tega melihat Cahaya menangis dengan isakkan yang terlihat sulit dihentikan, tapi ia tidak tahu cara menghibur dan lebih memilih berdiam diri dengan tatapan kesal. “Kak Aya, kenapa nangis?” tanya Prita tiba-tiba yang datang dari arah belakang Bintang dan langsung mendekati Cahaya. “Kamu masih ada di rumah? Gak kuliah?” tanya Bintang pada adik satu-satunya itu. “Nanti jam sembilan aku baru pergi,” jawab Prita sambil memeluk Cahaya yang semakin menunduk. “Kak Bintang kenapa Kak Aya bisa nangis kayak gini? Kakak apain dia?” “Aku dateng dia udah nangis,” elak Bintang lalu pergi. “Bisu, buatin gue dua sandwich. Gue tunggu sekarang juga!” teriaknya. “Kak, namanya Cahaya, bukan Bisu!” protes Prita. Namun, Bintang mengabaikannya dan tidak berniat mengganti panggilan yang sejak kecil sudah ia gunakan untuk memanggil Cahaya. Kemudian Prita mengusap-usap punggung Cahaya yang sedang berusaha menghentikan tangis kerinduannya. "Kakak kenapa? Kak Bintang gangguin, ya?” Cahaya mendongakkan kepalanya sambil mengusap air mata yang sulit dihentikan. "Aku kangen Bapak, Ibu, sama Eyang.” Prita tersenyum pada wanita yang dua setengah tahun lebih tua darinya itu. Lalu mengambil tisu di belakang Cahaya yang seharusnya menjadi alas untuk masakan berminyak, tapi malah dijadikan untuk mengusap air mata. “Kak Aya sabar, ya. Biarin mereka tenang di sana. Kakak di sini udah punya keluarga baru dan pasti sayang sama Kakak,” hibur Prita sambil bantu mengusap air mata Cahaya. “Aku belum siap kehilangan mereka.” “Kak, dengerin aku, kalo Kakak ikutin rasa gak terima, Kakak pasti butuh waktu bertahun-tahun, itu juga belum tentu bisa. Karena ditinggal orang yang kita sayang sampai kapan pun gak akan bisa terima, kalo Kakak gak bisa ikhlas. Kak Aya harus ikhlas supaya gak sedih terus.” Cahaya mengangguk sambil mengambil alih tisu yang ada di tangan Prita untuk mengusap air matanya. "Makasih, ya, udah mau hibur aku.” Prita kembali memeluk Cahaya sambil mengusap-usap punggungnya. “Sekarang Kak Aya itu kakak perempuanku, jadi aku harus bisa hibur kakak perempuanku kalo lagi sedih. Aku juga yakin nanti Kak Aya bakalan hibur aku kalo liat aku nangis.” Cahaya tersenyum tulus di bahu Prita dan balas memeluknya. Setelah merasa Cahaya mulai tenang dan bisa menghentikan tangisnya, Prita kembali melepas pelukannya. “Kalo Kak Bintang suruh yang macem-macem, cuekin aja, dia emang suka gitu kalo lagi ada masalah sama ceweknya.” “Bintang udah punya pacar?” tanya Cahaya sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil selada lalu ke meja makan mengambil roti tawar. “Setau aku udah, tapi gak tau mereka pacaran beneran apa gak. Yang aku denger mereka cuma dekat aja. Karena Kak Bintang tuh, tipe cowok yang takut bilang cinta, dan dia lebih suka sama hubungan yang ngalir gitu aja tanpa ada kata-kata resmi. Malahan dulu waktu SMA, cewek yang lagi deket sama Kak Bintang direbut sama kakak kelasnya, karena Kak Bintang gak bisa kasih kepastian.” “Siapa nama pacarnya Bintang yang sekarang?” “Mbak Dena—guru di sekolah tempat Kak Bintang ngajar sekarang. Kemarin aku liat Kak Bintang nganterin Mbak Dena pulang.” Merasa obrolan mereka semakin menarik, Cahaya duduk di kursi tepat di depan Prita dan lupa dengan sandwich yang akan ia buat. “Bintang pernah bawa pacarnya ke rumah?” selidiknya. Prita ikut duduk di kursi meja makan lalu mengambil roti tawar. “Belum. Kak Bintang mana berani bawa pacar ke rumah, datang ke rumah pacarnya aja belum tentu berani. Pokoknya kalo urusan percintaan, Kak Bintang munafik dan pengecut banget. Dia cuma bisa nunjukin cintanya lewat ketulusan dan perbuatan sama Si Cewek itu aja. Kadang juga cara nunjukin cintanya pake kemarahan gak penting yang menurut aku aneh dan anti mainstream. Pokoknya, sikap Kak Bintang kalo masalah percintaan suka gak jelas, semau dia aja. Makanannya hubungan gak ada yang awet. Kebanyakan cewek ninggalin dia tiba-tiba karena sifat pengecut dan munafiknya itu.” “Kamu mau aku buatin sandwich juga?” tawar Cahaya saat melihat Prita mengambil roti. “Enggak, Kak, aku gak terlalu suka sama sandwich,” tolak Prita sambil mengoles rotinya dengan selai kacang. “Prita, biasanya Om Aryo sama Tante Diva pulang jam berapa?” “Ayah pulang nanti sore. Biasanya abis dari sekolah, dia langsung cek beberapa steamnya. Kalo Bunda abis dari sekolah langsung pulang, nanti jam dua juga Bunda pasti udah sampe rumah.” “Om Aryo punya beberapa Steam?” “Punya enam, di sekitar pasar sama sekolah tempat Ayah—Bunda ngajar, terus dua steam di kompleks perumahan ini.” “Aku harus seneng apa minder, ya, tinggal di keluarga guru? Om sama Tante PNS, Kak Bintang guru. Kamu juga calon guru. Aku cuma anak desa, lulusan SMA pula.” Tiba-tiba Cahaya menunjukkan wajah lesunya. “Gak usah minder, Kak. Kita ini sama, cuma beda pekerjaan aja,” hibur Prita. “Kak, besok ikut Ayah cek steamnya, yuk!” ajaknya “Emang boleh?” tanya Cahaya yang seketika merubah ekspresi lesunya berubah jadi penuh harap. Prita tersenyum melihat ekspresi Cahaya yang menunjukkan pengharapan. “Ya boleh, Kak. Aku sama Kak Bintang suka gantiin ngecek kalo Ayah lagi males pergi.” “Aku mau, biar sekalian aku jalan-jalan,” balas Cahaya lagi penuh semangat. “Bener juga. Kak Aya harus sering jalan-jalan biar tahu seluk-beluk kompleks sini.” “Iya, biar nanti aku bisa pergi ke mana-mana sendiri.” “Biar bisa nongkrong bareng sama aku juga dan Kak Aya punya temen di sini.” “Iya, aku pengen temenan sama orang Jakarta.” Baru saja Prita membuka mulut untuk menjawab, tapi keduanya mendengar suara teriakkan Bintang dari lantai dua. “Bisu, mana sandwich gue?!” “Aduh!” pekik Cahaya sambil menepuk keningnya. Cahaya langsung membelalakkan matanya dan segera beranjak dari duduknya untuk membuat permintaan Bintang yang terabaikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD