Pikiran berkecamuk, hati hancur, kombinasi yang sempurna untuk membuat Naia runtuh. Air mata yang mengalir di sepanjang perjalanan hanya bisa ia hapus dengan tisu berkala. Tak sanggup menahan cairan bening itu runtuh padahal ia ada di dalam taksi. Beruntung sopir taksi tak bertanya. Dia bersikap profesional mengantarkan tiba di rumah.
"Terima kasih pak." Naia membayar ongkos taksi. Lalu masuk ke rumah, berharap bi Siti tidak di sana. Ia tidak mau orang yang ikut dengannya itu merasa khawatir.
Naia menjatuhkan dirinya ke ranjang, menangis diam-diam tanpa ada yang tahu segala rasa sakit yang ia tanggung. Dia hanya ingin menangis untuk mengobati rasa sakit di hatinya. Sambil menunggu kedatangan Dirga dan penjelasan pria itu.
Naia tertidur usai menangis, Bi Siti membangunkannya di sore hari untuk mengingatkan Naia agar makan.Tangannya terulur untuk menyentuh suari hitam panjang sang majikan. Namun segera panik saat tahu Naia mengalami demam.
"Non, ya ampun. Badannya kok panas sekali. Bibi panggil dokter ya?" ucap Bi Siti yang panik.
"Enggak usah Bi, cukup bawakan obat saja..." jawab Naia lemas. Dia serasa kehilangan energi karena kepala yang berdenyut.
"Iya."
Bi Siti membawa obat untuk Naia, lalu dia menghubungi Dirga dengan ponsel Naia. Akan tetapi pria itu tidak mengangkat ponselnya, bahkan memblokir nomor Naia.
"Duh tuan Dirga gimana sih. Kok ponselnya mati," gerutu Bi Siti.
Naia tersenyum lemah. Dia tahu benar kalau Dirga enggan diganggu.
" Ngak usah hubungi mas Dirga lagi Bi. Dia pasti sibuk," ucap Naia. 'Sibuk dengan kekasihnya, ' lanjutnya dalam hati.
Di sisi lain, Dirga menatap ponselnya yang bergetar lalu memutar matanya ke Silvi. Kekasihnya cemberut, itu karena panggilan dan kedatangan Naia ke kantor.
" Kalau kamu pulang sekarang, aku ngak akan mau bicara sama kamu lagi."
Dirga memeluk Silvi sambil tersenyum. Kemarahan Silvi harus ia redam. Gadis ini sudah menderita karena ia tinggal menikah jadi Dirga enggan membuatnya sedih.
" Jangan khawatir, aku nanti menginap di rumahmu kok."
Silvi mengeluarkan nada manja, ia merasa menang telak dari Naia. "Gitu donk Sayang. Biar dia tahu kalau posisinya itu hanya penyusup."
"Buat kamu, apa sich yang enggak."
Dirga pun mengajak Silvi pulang ke rumahnya. Dia bahkan lupa dengan janji pada Naia untuk menjelaskan hubungannya dengan Silvi. Dia bahkan tidak perduli dengan pesan singkat yang dikirim oleh asistem rumah tangga Naia. Padahal ia membaca pesan Bi Siti yang mengatakan kalau Naia sedang sakit.
'Masa bodoh, pasti dia pura-pura agar aku luluh. Dasar wanita tak tahu diri.'
...
Seperti awal pernikahannya, Naia tidak mendapati Dirga pulang. Uang yang ia pinjam dari saudaranya juga segera habis. Dia mulai bingung dan berniat mencari kerja. Dari sikap Dirga, Naia tahu kalau ia tidak berniat melakukan kewajiban sebagai seorang istri.
"Aku harus cari kerja di mana ya?" guman Naia. Walau kepalanya masih pusing, ia tetap berpikir untuk mendapatkan uang. Ia tidak mungkin pinjam ke saudaranya terus menerus apalagi meminta pada sang ayah. Pasti ayahnya akan mengatakan ribuan cacian padanya karena tidak berusaha mengambil hati Dirga.
"Nduk, Non Fitri berkunjung," ucap Bi Siti setelah mengetuk pintu kamarnya.
"Suruh masuk Bi."
Tak lama kemudian Fitri menyerbu masuk ke kamar Naia. Dia melihat temannya dengan wajah cemas. Sebenarnya ia mengetahui kalau Dirga berselingkuh. Itu karena rumah simpanan Dirga ada di kompleks yang sama dengan rumahnya.
"Naia, ya ampun Ney. Kamu kok jadi kayak gini sich?" Fitri tanpa sadar meneteskan air mata.
"Biasa saja. Aku agak kecapean, tapi kamu jangan nangis donk."
Fitri terbawa emosi kala ia melihat Naia berusaha menyembunyikan masalahnya. " Sudah ngak perlu bohong. Aku tahu apa yang kamu pikirkan Ney. Aku tahu kalau pria tak tahu malu itu punya..." Fitri tak sanggup menyelesaikan ucapannya. Bagaimana bisa, baru beberapa hari mereka menikah tapi kenyataan kejam harus mereka terima. Dirga memiliki simpanan padahal pada saat pernikahan, Fitri adalah orang yang paling semangat menggoda Naia karena memiliki suami yang bisa mewakili kata sempurna buat Naia.
"Sudahlah Fit. Dia dan Silvi itu kekasih sejak kuliah."
"Dirga pengecut. Kalau dia punya kekasih kenapa mau dijodohkan sama kamu. Pria itu ngak punya otak. Otak dengkul, otak udang, otak- otak, eh otak-otak ikan kan enak..." rentetan makian keluar dari mulut cantik Fitri. Dan itu agak menghibur Naia. Temannya yang satu ini memang lucu kalau marah, bukannya seram justru terlihat konyol.
"Fit, bantuin aku cari kerja donk. Aku harus cari pekerjaan sekarang, " pinta Naia.
Fitri semakin sedih melihat sang sahabat. "Kau pasti diabaikan sama ulet keket putih itu." Wajah Naia segera muram.
"Jangan khawatir, kamu kan pandai mendesain. Kamu gabung saja ke butik mbakku lalu jualan on line hasil rancanganmu. Aku yakin banyak yang suka."
Fitri tahu Naia memiliki bakat mendesain baju. Sangat disayangkan kalau bakatnya sia-sia.
"Terima kasih ya Fit."
"Ney, jangan diam saja. Kau juga harus memberi pelajaran pada ulat keket putih itu. Buat dia menyesal. "
Naia sama sekali tidak berpikir tentang hal itu. Lagi pula bagaimana caranya.
"Bagaimana caranya Fit, aku cuma wanita yang ngak punya jabatan."
"Sekarang, orang-orang sangat sensitif sama pelakor dan perselingkuhan. Kalau kamu menunjukkan sama semua klien Dirga, pasti mereka tidak akan mau bekerja sama dengannya lagi. Istri mereka yang akan melarang, mereka pasti takut suaminya terpengaruh dengan Dirga."
Cukup masuk akal. Naia sangat berterima kasih pada sang sahabat. Walau ia ingin meminjam uang pada Fitri, tapi ia urungkan. Akan lebih baik kalau dia menggadaikan cincin pernikahan mereka. Lagi pula Dirga membenci cincin itu kan.
....
Dua hari kemudian Dirga pulang ke rumah. Wajahnya tetap acuh tak acuh, bahkan ke arah jijik pada Naia. Sedangkan Naia hanya tersenyum pada Dirga. Namun ada api di matanya yang terlihat oleh Dirga.
"Seperti yang kau lihat, jangan pernah mengharapkan cinta dariku."
Naia tidak menjawab, dia meneruskan kegiatannya. Baginya pria ini tidak lagi ia anggap suami. Di benaknya hanya ada rasa marah yang tak bisa ia ungkapkan.
'Suatu saat, kau akan membayar semua perlakuanmu padaku.'
Dirga terus mengoceh panjang lebar, namun semua tidak didengarkan sedikitpun oleh Naia. Dia hanya memasang wajah tersenyum pada Dirga. Bersikap seolah tak ada yang terjadi.
"Ya, ya sudah kalau kamu mengerti. Aku sangat mencintai Silvi. Jadi jangan macam-macam sama dia. Jangan ke kantor lagi karena Silvi sakit hati. Kau harus menjaga perasaannya. Mengerti?"
Sekali lagi Naia mengangguk dan tersenyum. Itu membuat Dirga bingung. Ia pun menuju ke kamar. Dia merasa seolah bicara sama patung tersenyum.
Flashback Off.