01. Pertemuan Pertama
“Aku suka sama kamu! Maukah jadi pacarku?”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Luna Kinanti, anak baru kelas 1-B, yang baru saja salah masuk kelas.
Saat hendak masuk, ia tak sengaja melihat sosok cowok tertampan di sekolah barunya. Seolah dikirim oleh Tuhan dari surga saja. Tanpa pikir panjang, Luna memaju langkah dan sangat berani menghampiri cowok dari kelas sebelah.
Seisi kelas 1-A terdiam, bahkan kapur di tangan guru yang sedang menulis di papan sampai terhenti di udara. Semua pasang mata menatap gadis berambut panjang itu yang kini berdiri tegak di depan kelas, wajahnya merah merona namun senyumnya penuh keyakinan.
Sementara yang dituju, seorang cowok berwajah dingin di bangku dekat jendela, hanya menaikkan alis tanpa ekspresi. Dialah Ares, si anak kelas A yang terkenal ganteng, pintar, kaya raya, dan… jutek.
Beberapa detik hening, lalu bisik-bisik mulai pecah.
“Siapa dia?”
“Anak baru, kan?”
“Gila, berani banget nembak Ares hari pertama!”
Namun Luna tidak gentar. Tatapannya lurus, penuh keberanian, seolah dunia mendukung keputusannya untuk melakukan pengakuan itu.
Sayangnya, dunia tidak berpihak padanya.
Ares menatapnya datar, lalu menghela napas singkat.
“Maaf. Aku nggak tertarik.”
“WOOOO!” sorak seisi kelas pecah. Ada yang menepuk meja, ada yang tertawa ngakak, bahkan ada yang bertepuk tangan seolah baru menonton drama paling lucu.
Luna membeku di tempat. Senyum penuh percaya dirinya retak dalam sekejap, namun dia buru-buru menegakkan dagu.
“Baiklah! Kalau begitu, mulai hari ini… aku akan berusaha sampai kamu suka sama aku!” katanya lantang, membuat kelas semakin gaduh.
Ares menatapnya lagi, kali ini dengan sedikit kilatan aneh di matanya, antara kesal atau heran, namun kembali menunduk, pura-pura tidak peduli.
Dan begitulah, hari pertama Luna di sekolah barunya dimulai. Dengan penolakan cinta paling dramatis yang pernah disaksikan kelas 1-A.
“Kembali ke kelasmu!” tegur guru tadi padanya.
Luna sadar. Gadis berambut panjang hitam sepinggang itu pun tersenyum kecil.
“Baik, Bu.”
Sempat melirik sekilas ke Ares, Luna segera membawa langkah menuju kelas yang sebenarnya.
Bel berbunyi, tanda jam pelajaran selesai. Siswa kelas A berhamburan keluar, masih sambil bergosip soal adegan barusan.
“Gila, berani banget sih dia.”
“Pasti besok-besok nyerah deh.”
“Atau malah makin nekat?”
Luna berdiri di koridor, menunggu sosok yang baru saja meremukkan hatinya. Begitu Ares keluar kelas dengan wajah datar, Luna langsung menghadang di depannya.
“Ares!” serunya sambil mengangkat tangan seperti reporter yang mau wawancara artis. “Kamu yakin nggak mau mempertimbangkan jawabannya? Aku ini paket lengkap, lho! Lucu, rajin, dan… uh, bisa bikin kamu ketawa tiap hari!”
Ares berhenti sejenak, menatapnya singkat dari ujung kepala sampai kaki, lalu mendengus
“Kamu ribut banget.”
“Ribut? Ini namanya semangat!” bantah Luna dengan ekspresi yakin. “Lagipula, cinta itu harus diperjuangkan. Kata pepatah, usaha tidak akan mengkhianati hasil.”
“Kalau usahanya salah, hasilnya juga salah,” balas Ares dingin, kemudian melangkah melewatinya.
Luna tidak menyerah. Dia melangkah cepat mengejar di samping Ares.
“Kalau gitu, aku akan pastikan usahaku benar. Mulai hari ini, kamu nggak bakal bisa lepas dari aku, Ares!”
Ares menoleh sekilas, ekspresinya tetap datar. “Kedengarannya lebih seperti ancaman daripada janji.”
Luna justru terkekeh, tidak merasa tersindir sama sekali. “Anggap aja aku ancaman manis.”
Beberapa siswa yang lewat menahan tawa melihat keberanian Luna, sementara Ares hanya menghela napas panjang seraya menggeleng kepala. Namun dibalik tatapan dinginnya, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan: sedikit rasa penasaran terhadap gadis konyol yang baru saja mengacaukan rutinitasnya.
Ya, bagi Ares… ini cewek pertama yang gak tau malu. Sudah ditolak, masih dengan penuh percaya diri buat mendapatkan apa yang dia mau dari Ares.
Sejak duduk di bangku SMP, di sekolah yang sama, Ares memang terkenal dengan ketampanannya. Bukan hanya tampan. Dia juga siswa terpintar, anak dari orang kaya. Dan satu lagi, bersifat dingin.
Sudah berapa banyak cewek yang ditolaknya. Banyak yang memberikan surat pernyataan cinta, tapi langsung dibuang ke tong sampah sebagai penolakan. Memberikannya makanan, coklat, permen dan berbagai macam yang didapat oleh Ares sejak SMP dan SMA. Tapi… para cewek yang sudah ditolak biasanya tau diri. Berbeda dengan Luna, makhluk dari mana itu?
“Sok manis!” Ares pergi begitu saja meninggalkan Luna.
“Luna!” panggil teman sekelas Luna, Celo, menghentikan langkahnya.
Luna menoleh. “Apaan, Cel?”
“Kamu nggak usah kejar-kejar Ares lagi, Lun. Susah buat deketin itu anak,” kata Celo, sudah berdiri di depan Luna.
“Bener, Lun. Banyak yang udah ditolak Ares. Yang ada kamu yang malu,” timpal Alice, teman baru sekaligus teman sebangkunya.
Luna menggeleng kepala. Tampak sedikit berjinjit mengarah pandangan ke Ares, yang sudah pergi dan memunggungi posisinya.
“Nggak masalah teman-teman. Aku mau kejar Ares dulu. Bye….”
Luna meninggalkan keduanya seraya berlari kecil ke arah kepergian Ares.
“Ares! Pulang bareng yuk!”
Teman-teman Ares cekikikan, menepuk punggungnya.
“Wah, Ares, ada penggemar baru tuh. Lucu juga ya anak kelas B. Lucu dan cantik. Sempurna ini, Res,” kata Hans, dengan kekehan.
Ares mendesah kesal, lalu menyalakan earphone dan melangkah cepat.
Namun, Luna bukannya menyerah. Ia malah semakin berlari menyesuaikan langkah. “Eh, kita searah kan? Anggap aja aku pengawal pribadimu. Gratis, lho!”
“Berisik.” Ares mendengus tanpa menoleh.
“Kalau aku berisik, berarti kamu dengerin aku dong? Wah, hatimu mulai terbuka ya?” Luna nyengir, berhasil menyalip dan berjalan mundur menghadapnya.
Ares menatapnya sekilas, mencoba menahan senyum yang hampir muncul. Dia benci mengakuinya, tapi tingkah cewek ini… memang konyol sekaligus menghibur.
“Terserah.” Itu saja jawabannya sebelum ia melangkah lebih cepat, meninggalkan Luna yang tertawa sendiri.
Namun dari pantulan kaca toko di pinggir jalan, Ares sempat melirik ke belakang. Cewek itu masih mengikutinya, wajahnya ceria seperti matahari. Agak langkah pikir Ares, dengan sifat cewek seperti Luna kali ini.
“Kamu beneran mengabaikan aku?” tanya Luna dari belakang dengan suara yang dibuat lirih. Dia sama sekali tidak memperdulikan siswa lain di sekitar mereka.
Ares tidak berhenti melangkah, seolah-olah suara Luna hanya angin lalu. Tapi di dalam hati, ia jelas mendengarnya.
Luna berlari kecil lagi, kali ini lebih mendekatkan diri ke posisi Ares. “Hei, aku serius nanya. Kamu beneran mau abaikan aku terus?”
Ares menghentikan langkahnya. Ia menoleh pelan, menatap Luna dengan tatapan dingin khasnya. “Apa gunanya aku menjawab? Bukankah kamu akan tetap ribut mengikutiku?”
Luna malah terkekeh. “Wah, berarti kamu sudah hafal kebiasaanku. Ih, so sweet banget.”
Beberapa siswa lain yang lewat mulai melirik mereka, sebagian tertawa kecil. Ares mendengus kesal, lalu kembali melangkah cepat. Tapi kali ini, ada sesuatu di matanya seolah ia sedang menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi lain.
Luna berlari kecil, lagi dan lagi, sampai akhirnya berdiri sejajar. “Dengar ya, Ares. Kamu boleh nolak aku hari ini, besok, bahkan minggu depan. Tapi aku nggak akan berhenti suka sama kamu. Jadi siap-siap aja, aku akan jadi penguntit resmi mu mulai sekarang.”
Ares menghentikan langkah sejenak. “Kamu menyebalkan. Jangan memaksakan diri.”
“Tapi kamu harus ingat namaku.” Luna tersenyum lebar, seperti baru memenangkan lotre. “Namaku Luna Kinanti. Calon istri masa depannya Ares.”
Ares hanya diam, melangkah lagi tanpa komentar, hingga memilih berlari kecil ke seberang jalan area parkiran. Disana, ia sudah ditunggu oleh sopir pribadinya.
Luna berhenti, tepat saat Ares baru saja masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam. Dan tak lama… mobil itu sudah berlalu pergi.
Luna menggenggam erat tas sekolahnya, hatinya berdebar. “Lihat aja, Ares. Aku akan bikin kamu jatuh cinta padaku, cepat atau lambat.”
Bersambung….