Bab 6

1594 Words
Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik jendela ruang makan keluarga Hannan. Lila duduk dengan manis di meja makan, menatap hidangan yang tersaji dengan penuh semangat. Meskipun pernikahannya dengan Hannan terjadi secara mendadak dan penuh jebakan, keluarga suaminya justru menyambutnya dengan baik. Letta, ibu mertuanya, bahkan telaten mengajarinya memasak. Sebenarnya, Lila bisa memasak, hanya saja sebatas makanan sederhana seperti nasi goreng, mi instan, atau telur dadar. Sedangkan keluarga suaminya terbiasa dengan makanan yang tampak mewah dan rumit. "Oh ya Nak Lila, hari ini kamu ada acara nggak? Kalau nggak ada, ikut Mommy yuk," ujar Letta membuka obrolan di tengah sarapan. Lila yang sedang mengunyah, pelan-pelan menelan makanannya. "Ikut ke mana, Tan? Hari ini aku ada janji sama teman," jawabnya santai. Letta mengerutkan dahi, lalu menatapnya dengan senyum lembut. "Loh, kok panggilnya Tante? Panggil Mommy atau Mama dong, sama seperti Hannan," protesnya. Lila tersenyum canggung, merasa salah tingkah. "Iya Ma, eh Mom," katanya cepat. "Terserah kamu mau panggil Mama atau Mommy, yang penting jangan Tante ya. Mulai sekarang, Mommy juga ibu kamu," Letta menegaskan dengan senyum ramah. Lila mengangguk, lalu melirik Hannan yang duduk di seberangnya. Suaminya itu langsung mendengus sinis. "Sok anggun!" gumam Hannan dengan nada mengejek. Lila langsung menoleh, menatap suaminya dengan seringai jahil. Ah, ide nakal langsung terlintas di kepalanya. Dia mengambil sepotong ayam dari piringnya, lalu dengan sengaja meletakkannya di piring Hannan. "Om, suapin dong," ucapnya dengan suara manja. Hannan yang sedang menyeruput kopi langsung tersedak. Semua orang di meja makan mendadak terdiam, lalu beberapa detik kemudian mulai terkekeh penuh arti. "Lila, jangan aneh-aneh," bisik Hannan dengan suara tertahan, wajahnya memerah. "Nggak ada yang aneh, Om. Emang apa salahnya kalau seorang istri minta disuapin suaminya? Apalagi kita pengantin baru," Lila semakin menggoda, bahkan bergelayut manja di lengan Hannan. "Lepas Lila, atau saya lempar kamu keluar," ancam Hannan lirih, tapi jelas penuh amarah. Lila menggeleng dengan bibir mengerucut. "Nggak mau. Aku maunya disuapin," rengeknya semakin manja. Seolah tak peduli dengan wajah kesal suaminya. Billa, tantenya Hannan, tertawa melihat adegan itu. "Duh pengantin baru bikin iri deh," godanya. "Nggak usah iri, Tan. Kan Tante Billa punya Om Rama. Bisa tuh ikutan minta disuapin juga," sahut Ghania—kakak kedua Hannan, terkekeh. "Kami mah udah tua. Udah nggak pantas romantisan di depan anak-anak," sahut Billa dengan senyum geli. Hannan mengembuskan napas panjang, menatap Lila dengan kesal campur frustasi. "Cepat habiskan makanmu dengan tenang! dan jangan bikin masalah lagi." Perintahnya dengan suara tertahan. Semua pasang mata menatap ke arah mereka berdua. "Suapin!" Lila masih bergelayut manja di lengan Hannan. Hannan mengepalkan tangannya, wajahnya semakin merah. Dengan geram, dia meraih sendok, menyendokkan nasi, lalu diam-diam menambahkan sambal yang cukup banyak sebelum menyuapkannya ke mulut Lila. "Ayo buka mulutnya, aaa…," katanya dengan seringai licik. Begitu suapan itu masuk ke mulutnya, mata Lila langsung membelalak. Panas menjalar dari lidahnya ke seluruh rongga mulut. "Aaaa… pedes Om!" jeritnya dengan mulut kepedesan. Sampai membuat wajahnya memerah. "Emang tadi ada sambalnya ya? Perasaan cuma pakai sayur deh. Mungkin nempel di sendok," kata Hannan pura-pura polos. Tanpa rasa bersalah sedikitpun. "Om! Mana mungkin sambal nempel segini banyaknya! Om jelas sengaja mau ngerjain aku kan?!" teriak Lila marah. Lila buru-buru meneguk air, tapi rasa pedasnya tak kunjung hilang. Wajahnya semakin merah. "Hannan, kamu sengaja nyuapin Lila pakai sambal?" tegur Letta dengan tatapan tajam. Hannan langsung menggeleng cepat. "Nggak kok, Mom. Aku beneran nggak tahu kalau ada sambalnya," bantahnya. "Cepat ambilkan air lagi buat istrimu! Kasihan tuh dia kepedesan," tegur Kaffa, akhirnya angkat bicara. Dengan malas, Hannan akhirnya pergi ke dapur. Tapi tentu saja, dia bukan Hannan kalau tidak membalas keisengan Lila. Dengan licik, dia menyendokkan garam cukup banyak, lalu diaduk agar larut dalam air minum. “Nih minumnya,” kata Hannan meletakkan gelas di hadapan Lila. Lila langsung meraih gelas tersebut, tanpa curiga sedikitpun. Baru tegukan pertama, Lila langsung menyemburkan air karena rasanya yang aneh. "Om Hannan!!” pekiknya semakin kesal. “Ada apa lagi Lila?” tanya Letta khawatir. “Ini loh Mom, airnya asin banget,” jawab Lila cemberut. Letta langsung menoleh ke arah putranya dengan tatapan tajam. Hannan tersenyum puas. "Kok bisa asin sih? Apa mungkin garamnya nempel di gelas," jawabnya santai. Tentu saja, setelah itu dia mendapatkan omelan panjang dari Letta. Tapi bagi Hannan, itu sepadan. Setidaknya, dia berhasil membalas kejahilan istrinya. Setelah sarapan dan insiden pedas itu, Hannan buru-buru pergi dari rumah. Sebenarnya, hari ini dia tidak ada jadwal praktik, tapi dia sengaja pergi dari rumah untuk menghindari Lila. Sebelum ke rumah sakit, dia mampir ke rumah Alfa, kakak pertamanya. "Loh Hannan? Kok ke sini sendirian? Istrimu mana?" tanya Alea, kakak iparnya. "Di rumah," jawab Hannan datar. "Pengantin baru kok udah keluyuran sendirian? Harusnya lagi ranum-ranumnya berduaan," ledek Alfa. Hannan mendengus. "Please deh, Kak. Nggak usah ngeledek gitu," tukasnya marah. Alfa tertawa kecil. "Siapa yang ngeledek? Aku cuma bicara sesuai kenyataan. Kamu sama Lila kan saling mencintai, sampai-sampai nggak sabar buat unboxing." Ledeknya tertawa. "KAK ALFA! Udah berapa kali aku bilang kalau aku nggak suka sama Lila? Dia yang ngejebak aku!” Hannan berteriak hingga membuat di dahinya menonjol. "Iya iya, Kakak percaya. Udah deh, jangan teriak-teriak gitu. Kasihan Anin jadi kaget," kata Alfa, melirik anak keduanya yang ada di pangkuan istrinya. Hannan mendengus, melirik keponakannya yang baru berusia 8 bulan itu. "Terus kamu ngapain pagi-pagi udah ke sini? Memangnya kamu nggak kerja?" tanya Alfa mulai serius. "Ya nanti habis dari sini aku berangkat ke rumah sakit kok," jawab Hannan. "Kak Alfa sendiri kenapa nggak berangkat kerja?" tanyanya balik. "Ya suka-suka aku dong. Yang punya perusahaan kan aku, jadi bebas mau datang kapan aja," jawab Alfa dengan santai. Hannan mencebikkan bibirnya. Kadang ia iri pada kakaknya yang bisa berangkat kerja semaunya. Tapi ia juga tidak mau jika disuruh melanjutkan bisnis kakeknya. Ia lebih memilih mengikuti jejak sang ayah menjadi dokter spesialis. "Oh ya Kak, aku ke sini mau minta tolong untuk selidiki identitas Lila. Kemarin kami menikah secara tiba-tiba jadi aku nggak tahu latar belakang wanita itu. Dilihat dari sikapnya, sepertinya dia bukan wanita yang baik-baik," kata Hannan dengan wajah serius. "Dia bukan wanita baik? Kalau gitu kenapa kamu bisa sampai mengenal dia, Hannan? Biasanya kamu sangat hati-hati memilih teman. Apa lagi ini kamu sampai terikat pernikahan dengannya," tanya Alea penasaran. "Aku bertemu dia secara nggak sengaja, Kak. Aku nolongin dia saat dikejar preman. Mana aku tahu kalau ujungnya seperti ini? Kalau tahu ternyata dia wanita licik, pasti aku nggak akan mau nolongin dia," jawab Hannan mendengus kesal. “Kalau begitu nanti Kakak akan coba selidiki latar belakangnya. Tapi bagaimanapun masa lalunya, kamu harus tetap mempertahankan pernikahan ini, Hannan. Jika dia memang bukan wanita yang baik, maka bimbinglah dia untuk menjadi wanita baik-baik. Kalau bisa usahakan menikah hanya satu kali saja seumur hidup," tutur Alfa menasehati. "Aku nggak tahu, Kak. Aku nggak bisa janji. Lihat aja ke depannya," jawab Hannan dengan ekspresi dingin. Alfa menghela nafas panjang. “Hannan… Kalian itu baru nikah kemarin, masa sudah mau cerai. Paling tidak kamu coba mengenal Lila lebih dalam dulu. Barangkali saja nanti kalian cocok,” nasehatnya. “Gak perlu, Kak. Baru satu hari aja tensiku udah naik terus. Apalagi lama? Bisa-bisa aku kena struk!” dengkus Hannan dengan cepat. “Justru karena itu Hannan. Biasanya cinta itu diawali dengan kebencian,” goda Alea. Membuat Hannan semakin kesal. Ia pun segera berpamitan berangkat ke rumah sakit. Hannan mengusap wajahnya dengan kasar. Sudah sore, tapi ia masih malas pulang. Ia belum siap menghadapi keisengan Lila. Yang tentunya bisa menguras kesabarannya. Namun, ternyata menghindari Lila bukan perkara mudah. Istrinya itu benar-benar titisan Jailangkung, suka muncul tiba-tiba tanpa diundang. “Hai, Om!” Hannan tersentak mendengar suara ceria yang baru saja menyapanya. Ia menoleh dan menemukan Lila berdiri di depan pintu ruang praktiknya dengan senyum sumringah. "Lila? Ngapain kamu ke sini?" tanyanya kesal. "Aku ke sini buat jemput Om lah. Ini udah sore kok belum pulang sih? Sebagai istri yang baik, aku harus memastikan suamiku pulang sampai rumah dengan selamat. Aku juga harus memastikan kalau suamiku nggak macam-macam saat bekerja," kata Lila melangkah masuk. Hannan memindai penampilan istrinya. Meski baju yang ia pakai jauh lebih sopan dibandingkan lingerie semalam, tapi tetap saja bagian d4danya terlalu terbuka dan hampir mengekspos aset berharga Lila. "Apa kamu nggak punya baju yang lebih sopan? Kenapa bajumu kurang bahan semua?" komentar Hannan dengan sinis. "Emang baju aku kenapa, Om? Ini kan udah panjang. Lihat tuh udah di bawah lutut ini," kata Lila memperlihatkan kakinya. "Itu memang panjang, tapi lihat tuh bagian depannya terlalu ke bawah! Kamu nggak malu aset kamu dipamerin ke orang-orang? Dijadikan objek gratisan? Kamu itu perempuan! Tolong hargai diri kamu sendiri sebelum meminta orang lain menghargai kamu," nasehat Hannan dengan tatapan tajam. Wajahnya terlihat sangat serius. "Harga diri?" gumam Lila, tersenyum sinis. "Kalau aku punya harga diri, aku nggak mungkin bisa nikah sama kamu, Om. Kalau aku punya harga diri, aku nggak akan bisa hidup sampai sekarang. Yang aku butuhkan itu bukan harga diri Om, tapi uang, uang dan uang!" katanya penuh penekanan. Hannan mengerutkan keningnya, penasaran dengan maksud ucapan Lila. Lila menarik nafas panjang, lalu berjalan mendekati Hannan. "Udah sore, ayo pulang, Om,” bisiknya dengan manja. “Kalau nggak mau lihat aku pakai baju terbuka kayak gini, Om harus beliin aku baju yang sopan dong" Kedua matanya berbinar-binar menggoda. Hannan langsung melotot. Ia tak mungkin menolak. Lebih baik kehilangan uang daripada jadi omongan orang, karena istrinya berpakaian terbuka. "Ya sudah, saya siap-siap dulu. Kamu tunggu di luar saja," katanya dengan terpaksa. Lila tersenyum senang. Ia segera berlari keluar dan menunggu di kursi depan ruangan suaminya. "Gak salah penilaian aku. Meskipun mulutnya pedas, tapi sebenarnya Om Hannan baik. Aku yakin rencanaku pasti berhasil," gumamnya sambil tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD