Malam itu hujan turun begitu deras, membasahi jalanan kota Jakarta yang sudah sepi. Di balik kemudi, Hannan menghela napas panjang. Rasa lelah menjalar ke seluruh tubuhnya setelah menangani operasi darurat di rumah sakit. Sebenarnya ia ingin tidur di rumah sakit, tapi sang mommy baru saja menepon dan memintanya untuk pulang.
Hannan menginjak pedal gas, membelah malam dengan kecepatan yang cukup tinggi. Namun, tiba-tiba…
CKITTT!
Seseorang melompat ke tengah jalan!
Refleks, Hannan membanting setir ke kiri dan menginjak rem sekuat tenaga. Mobilnya berhenti mendadak, hampir menyentuh trotoar. Jantungnya berdebar kencang. Dengan gerakan cepat, ia menurunkan kaca mobil dan meluapkan kekesalannya.
“Kamu punya nyawa berapa sih? Ngapain lari ke tengah jalan kayak gitu? Bosen hidup kamu?!” teriaknya dengan emosi.
Sosok yang hampir ia tabrak ternyata seorang wanita muda dengan wajah pucat, rambut berantakan dan napas tersengal. Matanya merah, entah karena menangis atau karena ketakutan.
“Tolong saya Om… Saya dikejar orang jahat! Mereka mau melecehkan saya!” suaranya terdengar bergetar, tubuhnya terlihat gemetar.
Dari kejauhan, beberapa pria tampak berlari mendekat. Tidak butuh waktu lama bagi Hannan untuk menyadari bahwa wanita ini tidak berbohong. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu mobil.
“Cepat masuk!”
Wanita itu langsung melesat masuk. Hannan segera tancap gas, meninggalkan para pengejar yang terus berteriak di belakang.
Suasana di dalam mobil sunyi, hanya terdengar suara rintik hujan yang menabrak kaca. Hannan melirik sekilas ke arah wanita di sampingnya. Bajunya basah kuyup, tangan mungilnya menggenggam erat kerah pakaian seakan berusaha menutupi tubuhnya.
“Kenapa mereka mengejar kamu? Siapa mereka?” tanya Hannan, memecah keheningan.
Wanita itu tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Hannan menghela napas, merasa iba. Ia pun meraih sesuatu dari kursi belakang.
“Ini, pakai saja dulu.” Hannan menyerahkan sebuah baju warna biru muda. “Baju kamu basah. Ini punya kakakku, baru saya ambil dari toko tadi sore,” imbuhnya menjelaskan.
Wanita itu menatap Hannan sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Makasih, Om,” lirihnya malu-malu.
Wanita itu menoleh ke belakang, dengan wajah kebingungan.
“Saya akan turun dulu. Agar kamu bisa ganti di dalam mobil,” kata Hannan seolah bisa membaca pikiran wanita di sebelahnya. Ia segera keluar, berdiri di bawah payung sambil membelakangi mobil.
Tak lama kemudian, wanita itu membuka kaca mobil.
“Om, aku udah selesai. Silahkan masuk!” panggilnya dengan suara lembut.
Hannan menganguk dan segera masuk ke dalam mobil.
Saat Hanan mulai melajukan mobilnya, wanita itu tiba-tiba menyodorkan tangannya.
“Hai Om. Kenalin nama aku Adeeva Khalila Putri. Atau biasa dipanggil Lila,” katanya dengan wajah ceria.
Hannan hanya mengangguk tanpa membalas uluran tangan itu. Ia kembali fokus mengemudi, tak menggubris tatapan jahil Lila.
Lila mendengkus, ia tak suka diabaikan.
“Kamu tinggal di mana? Saya antar pulang,” tanya Hannan dengan ekspresi datar.
Lila menoleh, ia menatap Hannan sejenak lalu tersenyum. “Rumah saya lumayan jauh Om,” sahut Lila.
“Iya di mana?” tanya Hannan menahan kesal.
Lila mengulum senyumnya, lalu menyandarkan punggungnya di kursi. “Lurus aja terus. Nanti kalau belok aku kasih tau,” jawabnya.
Hannan menganguk dan kembali fokus mengemudi.
Suasana di dalam mobil kembali hening. Hanya terdengar suara rintik hujan saja. beberapa kali Lila menghela nafas berat, menandakan dirinya tengah dilanda kebosanan.
Tak tahan dengan keheningan, Lila berinisiatif untuk menggoda Hannan. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat pada Hannan, sengaja menaikkan roknya sedikit, menurunkan kerah bajunya, dan menatap Hannan dengan lirikan menggoda.
“Om….” Panggilnya dengan suara yang seksi. Jangan lupakan tatapannya yang sangat genit.
“Astaghfirullah… titisan kuyang dari mana lagi ini?” gumam Hannan dalam hati.
Lila semakin berani. Tangannya mulai menyentuh lengan Hannan, bahkan tanpa ragu merayap ke pahanya. Dengan tatapan yang dibuat se-menggoda mungkin.
“Astaghfirullah! Apa-apaan kamu?!” Hannan buru-buru menghentikan mobilnya secara mendadak.
BRUK!
Lila terpental dan kepalanya terbentur dashboard.
“Aww! Kok berhenti mendadak sih, Om?! Sakit tahu!” protesnya sambil mengelus keningnya yang terlihat memerah.
“Kamu itu yang apa-apaan?! Jangan pegang-pegang saya! Dan itu…” Hannan menunjuk baju Lila yang sedikit melorot. “Kenapa kamu turunin?! Kalau masih begini, lebih baik turun sekarang juga!” teriaknya marah.
Lila langsung merapikan pakaiannya dan duduk dengan tenang.
“Halah sok jual mahal. Padahal pengen,” cibirnya pelan.
Hanan melirik tajam. “Sekali lagi kamu ganggu saya, saya lempar kamu keluar,” ancamnya dengan serius.
Lila mencebikkan bibirnya, dengan wajah tidak terlihat takut.
Setelah itu, perjalanan kembali tenang. Lila hanya diam, tapi sesekali melirik Hannan dengan tatapan penuh rasa penasaran.
“Masa sih dia gak tergoda?” gumam Lila dalam hati.
Jalanan yang sepi membuat perjalanan terasa begitu lama. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang berpapasan dengan Hannan. Selain sudah larut malam, hujan yang deras pun jadi penyebabnya.
Saat tengah mengemudi dengan tenang, tiba-tiba, mobil Hannan berhenti di tengah jalan.
“Kok berhenti, Om?” tanya Lila mengerutkan keningnya.
Hannan tak menjawab, ia mencoba menghidupkan mesin, tapi tidak berhasil. Ia mendesah, lalu keluar untuk memeriksa.
“Gimana, Om?” teriak Lila dari dalam mobil.
“Nggak tahu. Saya bukan montir.” Hannan kembali masuk ke dalam mobil, mencoba mencari ponselnya. Tapi ia baru ingat, ponselnya tertinggal di rumah sakit.
“Kamu bawa HP nggak?” tanyanya menoleh pada Lila.
Lila mengangguk, mengambil ponsel dari tasnya, tapi tiba-tiba senyum licik muncul di wajahnya. Ia pura-pura mematikan ponselnya dan memasang wajah sedih.
“Ternyata HP-ku mati, Om…” ucapnya, sembari menunjukkan ponselnya.
Hannan menghela napas panjang. “Sial banget sih hari ini,” gumamnya mengusap wajahnya dengan prustasi.
Ia pun keluar lagi untuk mencari bantuan. Lila hanya menatapnya dari dalam mobil, dengan perasaan tak menentu. Lila menggelengkan kepala, lalu kembali melihat ke depan. Tapi ekor matanya tak sengaja melihat botol minum yang ada di konsol tengah.
Lila tersenyum licik, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Dengan cepat, ia mencampurkan sesuatu ke dalam botol minum itu.
Setelahnya ia melongokkan kepalanya ke jendela, dan pura-pura perhatian.
“Om, hujannya makin deras. Mending tunggu di dalam mobil aja, nanti kalau ada mobil lewat baru cari bantuan. Dari pada baju Om basah semua.”
Hannan berpikir sejenak, lalu mengangguk dan masuk kembali ke dalam mobil.
“Om kerjanya apa? Kok jam segini baru pulang?” tanya Lila, mencoba mencairkan suasana.
“Saya dokter,” jawab Hannan masih dengan ekspresi datar.
“Oh! Om dokter,” seru Lila dengan heboh. “Dokter apa, Om? Terus tugasnya di rumah sakit mana?” tanyanya dengan antusias.
Hannan mendesah lelah. Ia mengambil botol minum dan meneguknya. Membuat Lila tersenyum puas.
Beberapa menit kemudian, kelopak mata Hannan mulai terasa berat. Tanpa bisa melawan kantuknya, ia akhirnya tertidur pulas.
Lila tersenyum penuh kemenangan. “Barang bagus. Sayang kalau dianggurin.”
Hannan mengerjapkan matanya, kepalanya terasa berat, seperti habis begadang semalaman. Ia mengangkat tubuhnya perlahan dan menegakkan duduknya di kursi pengemudi.
Baru saja ia ingin merapikan dirinya, pandangannya jatuh pada kemeja yang ia pakai—kusut dan…
"Astaghfirullah!"
Matanya membelalak saat melihat noda merah di d**a, leher, serta kemejanya.
Jari-jarinya menyentuh tanda merah itu.
"Bekas lipstik?"
Hannan buru-buru melihat ke spion. Wajahnya penuh noda merah berbentuk bibir.
Jantungnya berdebar tak karuan. Ia menyapu pandangan ke dalam mobil, mencari seseorang. Lila. Tapi, wanita itu sudah tidak ada. Hanya ada dirinya… dan…
Sesuatu yang berenda….
Hanan menelan udahnya dengan kasar. Menatap kain berenda berwarna merah muda yang tergeletak di bawah jok mobilnya. Dengan ragu, ia memungutnya dengan ujung jari, tapi langsung melemparkannya lagi seolah itu adalah bom.
“Mommy… Anakmu din0dai!” teriaknya histeris.
Panik mulai merayapi pikirannya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi tadi malam, tapi tidak ada satu pun yang jelas. Yang Hannan ingat hanya mobilnya mogok, hujan deras, dan… Lila.
Hannan buru-buru mengambil tisu dan menghapus noda lipstik di wajah dan lehernya. Tapi semakin ia usap, semakin pusing kepalanya.
"Jangan-jangan… Gue ngelakuin sesuatu tadi malam?"
Hannan menggelengkan kepalanya, berusaha mengumpulkan pikirannya. Ia yakin tidak terjadi sesuatu apapun. Tapi… kenapa tubuhnya penuh dengan bekas lipstick?
Tiba-tiba, suara klakson mengagetkannya. Ia menoleh dan melihat mobil derek berhenti di sampingnya.
Seorang pria keluar dan mengetuk kaca mobil.
Hannan segera menurunkan kaca mobilnya. Dan menatap pria itu penuh tanda tanya.
“Dokter Hannan, kan?”
Hannan mengernyit. “Iya. Dari mana Anda tahu nama saya?” tanyanya dengan curiga.
“Ada seorang wanita yang menelepon kami, katanya ada mobil dokter Hannan yang mogok di sini.”
Hanan terdiam. “Apa mungkin itu wanita semalam,” tebaknya dalam hati.
Antara kesal dan lega, Hannan pun mengangguk dan membiarkan pria itu mengurus mobilnya.