Bab 2

1610 Words
Hari-hari berlalu, Hannan berusaha melupakan kejadian aneh itu. Ia kembali fokus bekerja di rumah sakit, meski kepalanya masih penuh dengan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. Namun, satu hal yang pasti. Jika ia bertemu dengan Lila lagi, ia akan menuntut penjelasan. Pagi itu, Hannan sedang duduk di ruang praktiknya. Wajahnya terlihat sangat serius, seperti sedang memikirkan sesuatu. “Dok, Dokter,” panggil suster Rahma—asisten perawat Hannan. Hannan tak bergeming. Ia masih larut dalam lamunannya. Suster Rahma pun memberanikan diri menepuk pundak Hannan dengan kuat. “Dokter Hannan!” serunya sedikit berteriak, membuat Hannan langsung terlonjak kaget. “Apa-apan sih, Sus! Ngapain teriak-teriak segala?” ketusnya dengan wajah kesal. Suster Rahma menghela nafas panjang. “Harusnya saya yang tanya begitu, Dok. Ngapain dokter pagi-pagi udah ngelamun? Lagi mikirin apa sih? Apa jangan-jangan lagi putus cinta ya?” ledek suster Rahma. Hannan mendengus. “Sembarangan! Gimana mau putus cinta, pacar aja gak punya!” “Makanya cari Dok. Jodoh itu gak akan ketemu kalau gak dicari,” nasehat suster Rahma. Hannan mencebikkan bibirnya. “Dari pada kamu banyak bicara, cepat panggil pasien pertama. Praktiknya kita mulai sekarang!” “Siap, Dok.” Rahma menganguk, dan segera keluar dari ruang praktik Hannan. Hannan menegakkan tubuhnya, sembari merapikan jas putihnya. “Selamat pagi, Dokter,” sapa seorag pasien, melangkah masuk ruangan. Diikuti oleh suster Rahma di belakangnya. “Selamat pagi juga,” balas Hannan dengan ramah. Ia mengangkat kepalanya, siap melayani pasien pertamanya. Tapi…. Matanya langsung membulat, jantungnya mencelos, saat melihat siapa yang ada di hadapannya. “Kamu…!” gumamnya, dengan rahang mengeras. Lila tersenyum lebih lebar, lalu mendekat dengan langkah yang anggun. “Kok tatapannya kayak mau nerkam saya sih, Dok?” tanyanya jahil. Hannan menarik napas panjang. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan malam itu?!” tanyanya dengan nada setengah berbisik, mencoba menahan emosinya. Lila memiringkan kepala, berpura-pura berpikir. “Malam yang mana, ya?” Hannan ingin melemparkan stetoskopnya ke arah wanita ini, agar ingatannya kembali. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kenapa pagi harinya saya bangun dengan keadaan seperti itu?!” bisik Hannan, masih berusaha mengontrol emosinya. Lila menaikkan alisnya. “Keadaan seperti apa, Om?” tanyanya polos. Membuat Hannan semakin emosi. “Baju saya berantakan, ada bekas lipstik di mana-mana, dan… ini!” Hannan merogoh tas kerjanya dan meletakkan benda berenda merah yang terbungkus plastik di atas meja. Lila menatapnya sejenak, lalu tertawa keras. “Ya ampun Om. Om kerja sambil bawa-bawa begituan? Saya gak nyangka Om punya hobi aneh begini.” gumamnya geleng-geleng kepala. “Saya masih punya banyak yang model begini. Kalau Om suka, nanti ambil aja di rumah,” bisiknya mengedipkan sebelah matanya dengan genit. Hannan melotot, ia hampir tersedak ludahnya sendiri. “Cepat beritahu apa yang terjadi malam itu!” tuntutnya dengan tatapan tajam. “Coba Om tebak sendiri.” Lila tersenyum tipis, enggan menjelaskan apapun. Membuat Hannan semakin penasaran. “Jadi… kamu memang sengaja melakukan sesuatu malam itu, iya?!” tanya Hannan. Lila kembali memasang wajah polos. “Melakukan apa sih, Om?” sahutnya dengan suara manja. Hannan nyaris membenturkan kepalanya ke meja. Dia benar-benar menyesal sudah bertemu dan menolong Lila. Hannan memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Hari-harinya sudah cukup melelahkan, dan sekarang dia harus menghadapi pasien yang tidak masuk akal seperti Lila. “Baiklah kalau kamu gak mau menjelaskan. Cepat pergi sekarang! Saya masih banyak pekerjaan,” usirnya menunjuk ke arah pintu. “Rahma, panggil pasien selanjutnya!” suara Hannan terdengar tegas dan ketus. Namun, bukannya beranjak, Lila justru memasang wajah sedih. “Aku ini juga pasien loh Dok. Masa dokter gak mau meriksa aku dulu,” ujar Lila, bibirnya sedikit mengerucut seperti anak kecil yang sedang merajuk. Hannan menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau begitu, cepat sebutkan keluhanmu. Jangan buang-buang waktu saya!” Lila tersenyum manis, menyandarkan tubuhnya dengan santai di kursi. “Jantung saya sakit, Dok. Sering berdebar-debar.” Tangan Hannan mulai menulis sesuatu di atas kertas putih. “Seperti apa sakitnya? Sudah berapa lama? Apa pernah diperiksakan sebelumnya?” tanyanya dengan nada profesional. Lila menggeleng pelan. “Belum pernah sih, Dok. Ini pertama kalinya. Gejalanya muncul sejak…” Ada jeda beberapa detik. Sebelum Lila melanjutkan lagi, “malam itu,” lanjutnya, sambil mengedipkan mata dengan genit. Hanan menarik napas panjang. Tangannya langsung menegang di atas meja. “Saya serius, Lila. Kalau kamu hanya bercanda, lebih baik pulang. Ini rumah sakit, bukan tempat bermain.” Suster Rahma yang berdiri di sudut ruangan ikut melirik ke arah mereka berdua, dengan penuh minat. “Saya juga serius, Dok,” Lila berkata sambil memegangi dadanya dengan dramatis. “Jantung saya berdebar setiap kali mengingat sentuhan dokter. Tangan kekar dokter yang menyentuh tubuh saya… ah, rasanya ingin terulang lagi. Saya benar-benar nggak bisa melupakan malam itu, Dok. Saya ketagihan,” bisiknya menggoda. Hannan hampir tersedak udara. Matanya melebar, dan ia segera melirik ke arah Rahma yang kini menatap mereka dengan ekspresi bingung. “Suster Rahma,” Hannan berkata dengan nada frustrasi, “tolong suruh pasien ini keluar. Sepertinya dia salah alamat. Seharusnya dia menemui dokter psikolog, bukan dokter spesialis jantung.” Lila mendengus kesal. “Saya serius, Dok! Jantung saya hanya dokter yang bisa menyembuhkan!” katanya sambil meraih tangan kanan Hannan dan menggenggamnya erat. Hannan terkejut dan langsung menepis tangan Lila, bahkan mendorongnya hingga wanita itu hampir jatuh ke lantai. “Cepat usir wanita gila ini dari ruangan saya!” bentaknya marah. Ia meraih tisu dan mengusap tangannya seolah ingin menghilangkan jejak sentuhan Lila. Lila berdecak kesal dan bangkit dengan gerakan dramatis. Ia menatap Hannan dengan sorot mata penuh arti. “Oke, hari ini Om bisa usir aku, tapi jangan harap kamu bisa lepas. Om harus tanggung jawab!” katanya penuh penekanan. Ruangan itu mendadak sunyi. Suster Rahma menatap mereka bergantian, lalu berbisik, “Tanggung jawab untuk apa, Dok? Jangan-jangan dokter menghamili dia ya?” “DIAM KAMU, RAHMA!” teriak Hanan frustasi. “Cepat usir wanita gila ini sebelum saya kena rabies!” Rahma menahan tawa. “Iya, iya, Dok. Jangan marah-marah, nanti cepat tua loh,” ledeknya. Ia pun segera menggandeng lengan Lila. “Ayo Mbak saya antar keluar. Sebelum dokter satu ini keluar tanduknya.” Lila berjalan keluar dengan anggun, tetapi sebelum benar-benar menghilang, ia menoleh sekali lagi dan melemparkan tatapan penuh arti ke arah Hannan. Hannan meremas rambutnya dengan frustrasi. “Dasar… wanita gila.” Setelah menghadapi berbagai kekacauan di rumah sakit, akhirnya Hannan bisa pulang. Ia menghirup aroma masakan ibunya yang sedap dan langsung merasa sedikit lebih baik. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Ayahnya, Kaffa, menunggunya di ruang tengah dengan tatapan tajam. “Loh, Daddy ada di rumah? Nggak ke rumah sakit?” tanya Hannan heran. Hannan mengikuti jejak ayahnya, menjadi dokter spesialis jantung. Berbeda dengan kakak pertamanya, yang memilih melanjutkan bisnis kakeknya. Sedangkan kakak kedua Hannan, menjadi dokter juga. Tapi mengambil spesialis kandungan. “Ikut Daddy sekarang,” kata Kaffa dengan nada dingin. “Ikut ke mana? Aku lapar Dad, mau makan dulu,” Hannan terlihat enggan. Perutnya sudah keroncongan, minta segera diisi. “Makan?” ulang Kaffa melotot. “Masih sempat-sempatnya kamu mikirin perutmu, setelah kekacauan yang kamu buat!” bentaknya marah. Hanan mengernyit. “Kekacauan apa? Aku kan nggak ngapa-ngapain, Dad. Seharian ini aku di rumah sakit.” Kaffa melemparkan beberapa lembar foto ke meja. Mata Hannan membelalak saat melihatnya. Itu foto dirinya bersama Lila di dalam mobil, dalam keadaan yang… ah, tak pantas untuk dijelaskan. “Dari mana Daddy dapat foto ini? Dan kenapa ada mukaku di dalamnya?!” seru Hanan panik. Kaffa menatap putra bungsunya dengan tajam. “Kok kamu malah tanya Daddy. Terus Daddy harus tanya siapa lagi?” sinisnya. “Tapi aku juga gak tau Dad, kenapa ada fotoku di sini,” gumam Hannan menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja terasa gatal. “Sudahlah Hannan. Berhenti berpura-pura lagi. Daddy benar-benar kecewa sama kamu! Kalau kamu memang sudah nggak tahan, Daddy bisa carikan istri untuk kamu! Tapi bukan dengan cara seperti ini!” geram Kaffa menahan emosi. “Tapi aku nggak ngapa-ngapain, Dad. Ini nggak seperti yang Daddy pikirkan!” bantah Hannan dengan cepat. “Oh ya? Terus kenapa pakaian kalian berantakan? Kenapa leher kamu merah semua?!” tanya Kaffa dengan tatapan tajam. Hannan terdiam. “Aku juga nggak tahu, Dad….” gumamnya lirih. Mata Hannan langsung berbinar saat ia teringat sesuatu. Bukankah malam itu ponsel Lila mati? Lalu kenapa ada foto ini? Dilihat dari sudut pengambilan gambarnya, jelas foto ini diambil oleh Lila sendiri. Hannan mengepalkan tangannya. “b******k! Berarti semua ini rencana Lila! Hp-nya nggak benaran mati!” geramnya marah. Kaffa mendengus. “Jadi, kamu kenal gadis ini?” Hannan langsung menggeleng. “Enggak! Aku cuma ketemu dia dua kali! Malam itu aku nolongin dia dari kejaran preman, terus tadi pagi dia tiba-tiba muncul di rumah sakit dan bikin kegaduhan!” jelasnya dengan cepat. Kaffa mendecak. “Kalau begitu bawa gadis ini ke rumah. Kita akan periksakan dia. Jika dia hamil, kamu harus menafkahinya. Dan setelah anak itu lahir, baru kalian menikah. Jika dia tidak hamil, kalian harus menikah sekarang juga!” tegasnya dengan serius. “Aku nggak mau nikah sama dia, Dad! Aku bisa kena stroke kalau tiap hari berhadapan sama wanita gila itu!” tolak Hannan dengan cepat. Kaffa tetap bersikeras. “Pokoknya cari gadis itu. Bawa dia pulang hari ini juga!” Hanan mengacak rambutnya dengan frustasi. “Cari ke mana Dad? Aku aja nggak tahu dia tinggal di mana! Dia itu titisan Jelangkung, suka muncul tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Kalau mau manggil dia, Daddy siapin aja kemenyan sama kembang tujuh rupa. Barangkali dia muncul!” dengkusnya dengan asal. “Terserah kamu cari ke mana. Itu urusan kamu. Pokoknya bawa dia pulang secepatnya!” Kaffa menegaskan sebelum melangkah pergi. Hannan menatap punggung ayahnya dengan putus asa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD