Bab 12. Pertengkaran Pertama

1265 Words
"Kamu cari Sherly, Nak?" Dimas menganggukkan kepala pelan, pria itu berusaha mempertahan senyum manisnya. Pria itu datang ke kediaman orang tua Sherly karena tak menemukan Sherly di rumah, dari apa yang dipaparkan oleh Deby membuat Dimas mengambil kesimpulan jika sang istri masih berada di kediaman sang mertua. Tari menggeser tubuhnya, wanita itu mengulas senyum manis pada sang menantu. Dimas yang mengerti maksud dari Tari pun segera masuk ke dalam disusul oleh Tari setelah wanita itu menutup pintu. Mereka berjalan beriringan dengan Tari yang berhasil menyusul langkah sang menantu, wanita itu menoleh dia memandang Dimas dengan tatapan penuh kehangatan. Sementara itu, Dimas berusaha sekeras mungkin untuk bersikap hangat pada ibu mertuanya. "Pasti kamu ke sini karena Sherly nggak izin kamu dulu ya?" tanya Tari. Dimas menganggukkan kepala sebelum menjawab, "Hahaha ... iya." Tari yang sadar sang menantu canggung sontak menepuk pelan bahu lebar Dimas, dia menghentikan langkahnya di depan anak tangga diikuti oleh Dimas. Tersenyum tipis, sikap hangat Tari itu membuat Dimas merasa asing dengan apa yang dia lihat dan rasakan saat ini. "Kamu bisa langsung ke kamar Sherly ya, Nak! Kamarnya paling ujung, pintu warna biru laut," suruh Tari. Dimas mengangguk mengerti. "Terima kasih, Bun," balas pria itu lantas pergi menaiki tangga dengan sendirinya. Dimas melangkah sedikit cepat, wajah pria itu berubah dingin. Dia akan memarahi sang istri yang telah berani pergi tanpa izin, sedari tadi Dimas telah berusaha menahan. Akan tetapi, kali ini tidak lagi. Dia akan memberikan pelajaran pada istri kecilnya itu. Langkah kaki Dimas terhenti di depan pintu berwarna biru, pria itu sontak memutar gagang pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dapat Dimas lihat tubuh Sherly yang tersentak kaget, sedangkan wanita yang tengah menonton drama favoritnya itu langsung mengubah posisi menjadi duduk. Dia memandang was-was Dimas yang kini tengah menatap dirinya dengan tajam. Tak peduli dengan ketakutan sang istri, Dimas segera menutup dan mengunci kamar Sherly. Dia membalikkan badan menatap Sherly, sedangkan Sherly berdiri dengan ragu dan tak bergerak sama sekali. "O—om, mau ngapain?" gagap Sherly dengan cukup waspada. "Kamu ngerasa keren?" Alis Dimas menukik, kedua tangan pria itu terkepal. Dia sangat ingin melampiaskan emosinya, tetapi pria itu tak ingin membuat Sherly merasa ketakutan. "Maksudnya?" tanya Sherly memberanikan diri menatap Dimas. Dimas tersenyum miring, dia berjalan mendekati sang istri. "Menurut kamu, kamu keren pergi tanpa izin dari saya, hm?" desis pria itu. Sherly paham sekarang apa yang menjadi permasalahan mereka, wanita itu menarik napas panjang. Sungguh, dia merasa dalam bahaya saat ini. Tatapan tajam dari sang suami dan rahang Dimas yang mengeras membuat Sherly merasa waspada, wanita itu bahkan tak ragu untuk memundurkan langkahnya perlahan. Sherly menelan air liur secara kasar, napas wanita itu rasanya tercekat di paru-paru. Menarik napas panjang, Sherly memaksakan untuk tersenyum. Namun, wanita itu tanpa sadar justru tersenyum canggung. Dimas yang melihat gerak-gerik sang istri menaikkan satu alis, dia cukup heran dengan tingkah Sherly yang sangat jelas tengah menghindari dirinya. Terkekeh samar, Dimas berjalan mendekat membuat Sherly semakin memundurkan langkah. Akan tetapi, Dimas dengan cepat menarik tangan Sherly dengan kasar membuat tubuh wanita itu menabrak tubuh Dimas. Meringis pelan, Sherly merasa sakit pada keningnya yang harus menghantam d**a bidang milik sang suami. "Bukankah istri kecilku ini terkesan tak tahu diri, hm?" desis Dimas dengan tangan yang mencengkram pergelangan tangan Sherly. Sherly meringis, dia berusaha melepaskan pergelangan tangannya. Namun, tangan wanita itu justru kian memerah dan perih. Sherly mendesis pelan, dia memandang nyalang sosok Dimas. Sherly bersumpah demi apa pun, dia merasa takut berhadapan dengan sang suami. Menggeram tertahan, Sherly berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan sang suami. "Enggak! Gue nggak boleh kalah, kalau gue kalah yang ada makin ditindas," batin Sherly. Wanita itu menarik napas panjang, dia lantas menyentak keras tangannya. Akan tetapi, kekuatan Dimas jauh lebih besar membuat Sherly mengerang merasakan sakit. Wanita itu memberanikan diri memandang manik mata Dimas, gigi Sherly bergemelatuk pelan. Meski ada ketakutan, tetapi Sherly tak ingin kalah begitu saja. "Sakit, b******n! Lepas!" erang Sherly dengan mata menyorot nyala, marah. Dimas yang mendengar umpatan Sherly menaikkan satu alis, ibu jari Dimas berpindah mencengkeram erat dagu Sherly. Pria itu mengusap bibir Sherly dengan ibu jarinya, dia memandang lekat bibir merah milik sang suami. Terkekeh sinis, tatapan Dimas beralih pada manik mata milik sang istri yang masih memandang nyalang dirinya, seperti ada kobaran api di sana. "Apa bibirmu itu tak bisa berbicara dengan sopan?" tanya Dimas dengan suara tertahan. "Sopan? Sopan sama orang yang tanpa sadar nyakitin istrinya?!" cibir Sherly dengan nada rendah, tetapi mengandung emosi tertahan di sana Sekali lagi, Sherly menyentak tangan kuat berharap tangan Dimas tidak lagi mencengkeram pergelangan tangan miliknya. "Lepas, Bego! Gue bilang lepas ...!" jerit Sherly. Dimas dapat melihat dengan jelas napas sang istri mulai memburu, wajah wanita itu bahkan memerah menahan emosi. Tanpa mengatakan apa pun, Dimas segera melepaskan cengkeraman tangannya. Pria itu terdiam membantu melihat pergelangan tangan sang istri yang memerah bahkan tak ada ekspresi di wajah itu selain ekspresi datar, sedangkan Sherly segera mendekatkan tangannya ke dekat bubur dan meniup-niup pelan diikuti dengan usapan lembut di sana. Sedikit mengangkat kepala, Sherly melirik sinis Dimas. Pria itu bahkan tak mengutarakan kata maaf. Muak dengan sikap Dimas yang terlalu arogan, Sherly menurunkan tangan. Wanita itu mengangkat tinggi-tinggi wajahnya, dia memandang manik mata Dimas dengan sorot tajam. Sherly tak peduli jika nanti sang suami akan mengamuk, tetapi saat ini Sherly ingin mengingatkan Dimas jika perbuatan pria itu salah dan keliru. Mereka belum genap satu bulan menikah, tetapi Dimas justru menyakiti dirinya. "Om gila?! Om sadar nggak ini masuk kekerasan dalam rumah tangga, ha?!" sembur Sherly berapi-api. "Ini murni kesalahan kamu bukan saya! Istri macam apa kamu yang keluar tanpa izin dari suami? Istri macam apa kamu yang pergi dari rumah tanpa mengatakan apa pun pada siapa pun?" Dimas membalas dengan begitu santai, nada suara pria itu bahkan terkesan datar. Sherly terkekeh hambar, wanita itu melipat tangan di depan d**a. Dia memandang Dimas dengan begitu lekat, wanita itu bahkan memandang Dimas dari atas sampai bawah. "Ulang! Om apa izin dulu ke aku sebelum pergi?! Bahkan Om nggak pulang! Apa aku ada protes sedikit pun?!" cerca Sherly dengan mata membulat, wanita itu cukup kesal dengan sikap arogan Dimas. "Saya ini suami kamu, Sherly!" "Terus kenapa, ha?! Itu artinya Om bisa bebas untuk lakuin apa pun?! Enggak!" Napas Sherly terengah, Dimas bahkan bisa mendengar dengan jelas. Tatapan yang menyorot tajam itu diiringi dengan d**a Sherly yang naik turun, Dimas cukup tahu jika emosi sang istri saat ini tengah ada di puncaknya dan sedikit pun Dimas tak ingin mengalah ataupun sekadar menenangkan. Ego pria itu terlalu tinggi untuk sekadar mengucapkan maaf atas kesalahan dirinya. "Oke, aku tau pernikahan ini nggak pernah kita inginkan. Apa susahnya Om sedikit hargain aku sebagai istri, hm? Jangan cuman mau dihargain, tapi Om sendiri nggak bisa hargain aku!" "Udah? Udah ngomongnya?" sela Dimas dengan tatapan tajam, Sherly mendengus kesal lantas membuang muka. "Kamu ini istri saya, kamu harus tunduk sama suami kamu!" tegas pria itu. Sherly tertawa sumbang, dia lantas kembali menatap Dimas. "Oh, patriarki ya? Seorang Dimas Pradipta menganut patriarki? Wow ...!" ejek Sherly. "Sherly, apa-apaan kamu ...!" "Apa?!" tantang Sherly. Dimas mengacak rambutnya frustasi, Sherly berhasil membuat pria itu merasa tertekan. Di awal, dia pikir Sherly adalah perempuan penurut dari apa yang dia perhatikan. Namun, wanita itu ternyata bukan wanita penurut melainkan wanita pemberontak yang menyamar di balik topeng lugu dan pendiamnya. Menarik napas panjang, Dimas mencoba meredakan emosinya. Dia tak ingin berujung menyakiti sang istri apalagi membunuh Sherly meskipun Dimas telah menyakiti Sherly, tetapi pria itu tak ingin ini terulang lagi. "Kenapa kamu membesar-besarkan masalah sepele?!" kesal Dimas yang membuat Sherly tertawa sumbang. "Aku atau Om?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD