Posisi Dewa dan Harmoni masih berada di tengah jalan raya, tepatnya di depan moncong mobil Harmoni yang masih terbuka karena ulah Dewa yang ingin memastikan bagian mesin mana pada mobil CEO cantik itu yang bermasalah.
Harmoni masih mengambil satu lembar tisu basah lagi untuk membuat wajah Dewa semakin bersih dari cipratan oli tersebut.
Setelah Dewa merasa wajahnya sudah cukup bersih, akhirnya pria itu sedikit membuka kelopak matanya untuk memastikan, jika tak ada rasa perih yang tersisa.
Kelopak mata Dewa sedikit terbuka seperti orang yang tengah mengintip sesuatu.
Harmoni yang awalnya fokus dengan wajah Dewa, akhirnya gadis itu melihat ke arah mata pria itu yang terbuka sedikit kelopak matanya dengan lensa mata yang juga ikut terlihat meskipun hanya sebagian saja.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Harmoni sedikit cemas akan penglihatan Dewa, sehingga ia lupa, jika pria yang berada di hadapannya ini bukan manusia biasa.
"Baik, tapi apakah semua cairan itu sudah bersih dari wajahku?" tanya Dewa pada Harmoni dengan tangan gadis cantik tersebut masih berada di wajah Dewa.
"Sudah," sahut Harmoni singkat.
Akhirnya kedua mata Dewa terbuka lebar dan ia bisa melihat dengan jelas wajah Harmoni yang di sinari oleh lampu jalan, terlihat seksi dan lebih cantik dari biasanya.
Tanpa sadar, Dewa mengangkat telapak tangannya dan mengarahkan telapak tangan kekarnya itu pada wajah Harmoni.
"Pasti kau sangat lelah," gumam Dewa masih menikmati lembutnya pipi CEO cantik tersebut.
"Tidak! aku tak merasa lelah," elak Harmoni jujur.
"Kenapa? bukankah kau sudah seharian penuh berkunjung ke dua tempat berbeda untuk merayakan ulang tahun dua orang sekaligus hari ini," cicit Dewa masih memperhatikan tiap lekuk wajah Harmoni intens.
"Karena aku bersama dengan malaikatku," jelas Harmoni tanpa ingin menyembunyikan perasaannya.
Harmoni dan Dewa memang sudah sepakat dengan diri dan hati mereka, jika mereka berdua aku mengikuti arus takdir yang sudah digariskan, tanpa ingin mengelak seperti kemarin yang hanya akan berujung pertengkaran antara keduanya.
"Siapa malaikat yang kau sebut? Hicob? atau Mona?" tanya Dewa memberikan beberapa pilihan nama pada Harmoni.
Gadis itu meletakkan tisu basah bekas membersihkan wajah Dewa sembarangan dan tangan Harmoni ia letakkan tepat di telapak tangan Dewa yang saat ini tengah menyentuh pipinya.
Gadis itu memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan Dewa pada pipinya dan beberapa detik kemudian, akhirnya Harmoni membuka kelopak mata dan menatap intens ke arah Dewa.
"Orang yang yang berada di hadapanku," jelas Harmoni membuat Dewa tak kalah intens menatap ke arah kedua lensa mata Harmoni.
Dewa ingin mencari tahu lewat lensa mata gadis itu, adakah kebohongan di sana dan kenyataannya tak ada kebohongan, yang ada hanya sebuah cahaya kejujuran dari mata Harmoni.
"Mengapa kau menganggapku seperti itu?" tanya Dewa yang masih ingin tahu lebih jauh alasan Harmoni menganggapnya sebagai malaikat.
"Jika aku bersamamu, aku pasti dalam keadaan aman, jika kau jauh dariku, aku yakin, kau pasti akan datang padaku saat keadaan genting menimpaku," ungkap Harmoni dengan sangat tulus.
Dewa tersenyum manis pada Harmoni sembari terus mengusap lembut pipi gadis cantik tersebut.
"Apa kau sudah tak merasa sungkan lagi padaku? kau sudah mengungkapkan perasaanmu, jika kau sudah ketergantungan padaku, Nona!" ejek Dewa membuat Harmoni mengigit bibir bawahnya dengan wajah tertunduk.
Dengan sigap, Dewa mengangkat dagu Harmoni dan melihat dengan sangat jelas, bagaimana gadis itu mengigit bibir bawahnya yang berwarna cerry.
"Jangan gigit lagi, bibirmu bisa terluka," pinta Dewa menyentuh bibir Harmoni dengan lembut dan gadis itu melakukan apa yang diminta oleh Dewa tanpa penolakan sedikitpun.
Arah tatapan mata Dewa, kini terarah pada bibir cerry milik Harmoni.
"Jangan lukai dia," gumam Dewa dengan suara cukup berat dan lensa mata yang perlahan berubah menjadi jingga namun, tak berubah secara total.
Harmoni yang sadar akan perubahan lensa mata Dewa, segera menyentuh kedua kelopak mata pria itu, agar Dewa tak merasa kesakitan.
"Apa kau bisa mengatakan padaku? mengapa warna lensa matamu bisa berubah menjadi warna jingga, kau masih berhutang penjelasan padaku dan membuat orang lain penasaran itu tak baik, Tuan!" tutur Harmoni pada Dewa.
Senyum di wajah pria itu seketika terbit diiringi dengan kedua tangannya yang menurunkan telapak tangan Harmoni, agar tak menghalangi pandangannya.
"Apa kau sungguh ingin tahu?" tanya Dewa dengan nada suara cukup lembut.
"Ya, karena aku tak suka, jika ada rahasia diantara kita," jujur Harmoni yang memang merasa penasaran pada perubahan lensa mata Dewa.
"Apa kau siap menanggung konsekuensinya, jika kau tahu makna dari perubahan warna ini?" tanya Dewa lagi yang masih ingin memastikan.
Harmoni masih diam mencerna tiap pertanyaan yang diajukan oleh Dewa padanya.
"Aku harus bagaimana? apa aku harus menjawab pertanyaan terakhir ini atau tidak? tapi aku merasa sangat penasaran dengan perubahan warna matanya," bingung Harmoni yang masih menimang, jawaban apa yang akan ia berikan pada Dewa.
"Apa aku ... harus menanggung konsekuensinya?" tanya balik Harmoni pada Dewa.
"Tentu karena semuanya pasti bersumber darimu," sahut Dewa mantap.
Warna lensa mata Dewa berubah semakin pekat dan Harmoni semakin takut terjadi sesuatu pada pria di hadapannya ini.
"Ba-baiklah!"
"Apa kau yakin?" tanya Dewa lagi yang semakin membuat hati Harmoni ragu dan bimbang.
"A-aku ya-yakin!"
Dewa hanya bisa tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Kau masih belum siap untuk menanggung konsekuensinya, Harmoni!"
Jantung Harmoni serasa di pukul oleh ribuan palu yang membuat jantung itu semakin terpompa cepat.
Baru kali ini seorang Dewa memanggilnya dengan namanya, tanpa embel-embel Nona.
"Aku siap," sahut Harmoni sesegera mungkin.
"Kau masih belum siap, kau masih ragu," jelas Dewa kembali menolak untuk menjelaskan semuanya pada Harmoni mengenai perubahan pada lensa matanya.
Dewa perlahan melepaskan genggaman tangannya pada Harmoni yang memang sedari tadi di genggam oleh Dewa.
Dengan cepat, Harmoni langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Dewa dan lensa mata pria bersuhu dingin itu kembali menjadi lebih pekat lagi karena rangsangan dari kedua tangan Harmoni yang mengalung indah di lehernya.
Ctakk
Sekali jentik, tempat yang mereka tempati awal tengah jalan, kini berubah berada di sebuah taman dengan posisi mereka berada di bawah pohon yang di hiasi oleh lampu kelap-kelip di pohon tersebut, sehingga terlihat seperti dekorasi pohon natal.
Harmoni menelisik sekelilingnya karena ia sudah tak berada di perkotaan.
"Ini dimana?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Tempat yang tak dapat diganggu oleh orang lain," jelas Dewa sembari menarik pinggang Harmoni, agar lebih dekat dengannya.
Tubuh ramping itu seketika tersentak saat pinggang rampingnya di sentuh oleh telapak tangan yang cukup dingin membelitnya.
Di tempat lain, Hicob sudah sampai di sebuah hutan, di mana tempat tersebut adalah markas anak buahnya berada.
Dengan kemampuan teleportasinya, setelah turun dari mobil taksi, tubuh Hicob langsung menghilang begitu saja dan pria berkacamata tersebut sudah berada di sebuah rumah cukup besar.
Para anak buahnya sedang melakukan tugas mereka masing-masing.
Ada yang bertugas melakukan telepati dengan anak buah lainnya yang mengintai kediaman Damian, ada yang bertugas menghapus jejak para mata-mata lainnya.
"Hal penting apa yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Hicob berjalan dengan gerakan santai menuju ke arah sofa rumah itu.
Pria berkacamata dengan setelan baju casual-nya duduk dengan tampannya sembari menunggu anak buahnya menceritakan semua hal yang mereka tahu mengenai Damian dan Dalgon, yang tak lain paman dari Dewa.
"Ada pencapaian besar yang sudah dilakukan oleh Dalgon," jelas anak buah Hicob tersebut.
"Apa itu?" tanya Hicob yang masih bisa menunggu penjelasan dari anak buahnya tersebut.
"Dia sudah mendapatkan sekutu yang sangat kuat dan dapat membantunya untuk melakukan pemberontakan pada kerajaan, jika yang mulia pangeran masih belum bisa mendapatkan kristal miliknya dan segera naik tahta karena hanya dengan kekuatan Kristal itu, suku kita bisa terbebas dari pemberontak Dalgon," jelas anak buah Hicob itu.
"Siapa dia?" tanya Hicob mulai mengencangkan kedua alisnya yang nampak sedikit mulai tak sabar.
"Raja iblis dari suku Gondalia," jelasnya.
"Raja iblis yang mirip dengan banteng itu?" tanya Hicob ingin memastikan lagi pada anak buahnya.
"Benar, Anda bisa menyimpulkan sendiri, bagaimana , jika seorang raja sudah dapat ditaklukkan, maka semua rakyatnya juga akan menjadi sekutu."
Hicob diam mencerna tiap kenyataan yang ada dan memikirkan bagaimana cara sukunya bisa menang dalam pemberontakan Dalgon, jika paman dari Dewa benar-benar akan melakukan pemberontakannya.
"Raja Gondalia masih masuk dalam kategori raja tinggi kedua, 'kan?" tanya Hicob memastikan.
"Benar, Tuan!"
"Jika pertempuran itu harus terjadi, hanya ada satu jalan untuk membuat pasukan kita bisa menang telak," jelas Hicob.
"Apa maksud Anda kita harus berurusan dengan Raja Dominic?" tanya anak buah Hicob yang nampak tak yakin dengan rencana tuannya.
"Benar!"
"Tapi, Raja Dominic, bukan raja yang gampang untuk diajak bekerja sama, dia adalah raja yang sangat adil dan tak mau melakukan hal yang melanggar aturan, kecuali kita membawa bukti padanya untuk berkoalisi," jelas anak buah Hicob lagi.
"Aku tahu itu dan aku akan mencari tahu, bagaimana cara, agar kita bisa bekerjasama dengan Raja Dominic karena hanya dia harapan satu-satunya, agar suku kita tetap ada," ujar Hicob yang mantap akan niatnya untuk melakukan kerjasama dengan Raja Dominic, raja dari bagian suku peri bunga di planet Amoora dan dia merupakan raja yang sangat bijak dalam mengambil keputusan.
Posisi Dewa dan Harmoni masih sama seperti tadi.
"Apa kau tak merasa dingin dekat denganku?" tanya Dewa dengan jarak mereka yang sangat dekat.
"Tidak!"
"Kenapa? bukankah saat pertama kali kau menyentuh kulitku, kau merasa terkejut karena suhu tubuhku yang seperti mayat hidup," ujar Dewa kembali mengingatkan Harmoni awal pertemuan keduanya.
"Mungkin karena aku sudah terbiasa denganmu," jujur Harmoni dan lagi-lagi senyum tampan seorang calon raja planet Amoora kembali terukir.
"Jadi sudah siap menerima konsekuensinya?" tanya Dewa ingin mengingatkan Harmoni kembali perihal obrolan keduanya.
"Sudah sangat siap," sahut Harmoni dengan suara mantap tanpa ada keraguan di dalamnya.
Karena sudah mendengar persetujuan dari mulut Harmoni secara langsung, akhirnya Dewa tanpa sungkan semakin mengikis jaraknya dengan Harmoni dan gadis itu diam saja, tanpa memberontak sedikit pun.
"Jadi ... perubahan pada lensa mataku ini karena aku mengalami ketertarikan terhadap lawan jenisku," jelas Dewa dengan singkat, padat, dan jelas.
"Maksudmu, kau tertarik padaku?" tanya Harmoni yang masih tak dapat memastikan penjelasan Dewa yang ia tangkap itu benar atau tidak.
"Intinya aku memiliki rasa tertarik pada seseorang dan kau harus meredakannya, Nona!"
Mata Harmoni melotot pada Dewa. "Kenapa aku? bukan hanya padaku kau mengalami hal itu, 'kan? pada kekasihmu yang lain, kau pasti mengalaminya, minta saja konsekuensi pada mereka untuk meredakan perubahan pada lensa matamu, jangan meminta pertanggungjawaban padaku," tolak Harmoni yang masih belum sadar, jika dirinyalah penyebab lensa mata Dewa berwarna jingga seperti itu.
Dewa mendekatkan bibirnya pada daun telinga Harmoni sembari berbisik, "Aku tak pernah menjalin kasih dengan gadis manapun di bumi ini karena mereka sangat manja jadi, aku tak mau mengurus perempuan manja yang sangat merepotkan."
Harmoni menjauhkan sedikit wajahnya, agar ia dapat melihat wajah Dewa.
"Apa kau bilang? perempuan bumi merepotkan? apa kau yakin dengan semua ucapanmu itu?" tanya Harmoni yang cukup kesal dengan pernyataan Dewa.
"Ya, karena perempuan yang aku kenal selama di bumi ini hanya dirimu dan kau sangat merepotkan, suka mengomel, suka marah-marah tak jelas, suka ...."
Cup
Harmoni mengecup pipi Dewa dengan cepat.
"Suka mengecup sembarang dan itu poin plusnya jadi, jangan pernah katakan, aku seorang perempuan yang merepotkan bagimu karena aku juga memiliki sisi plusnya juga, buka minusnya saja yang kau ingat," jelas Harmoni pada Dewa.
Pria itu tersenyum mendengar penjelasan yang dilontarkan oleh Harmoni kepadanya.
"Mengecup sembarang itu bukan poin plus, tapi masuk poin minus jadi, jangan bangga dengan perbuatanmu itu," ejek Dewa membuat Harmoni mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal pada Dewa.
Harmoni bergerak hendak melepaskan belitan tangan kekar Dewa pada pinggangnya namun, usaha gadis itu tak membuahkan hasil.
"Mau kemana?" tanya Dewa pada Harmoni.
"Mau kabur, aku tak ingin berlama-lama bersama pria tak tahu berterima kasih seperti dirimu," rajuk Harmoni pada Dewa.
"Memangnya apa yang kau lakukan padaku, sampai aku harus berterima kasih padamu?" tanya Dewa yang masih tak paham jalan pikiran Harmoni.
"Dengar ya tuan pangeran yang baik, apa kau tahu, aku tadi sudah berusaha menghilangkan urat malu yang aku punya, agar aku bisa mendapatkan poin plus darimu, aku mengecup pipimu sekilas hanya ingin mendapatkan poin baik di matamu, tapi apa? kau malah berkata itu termasuk poin mines dan otomatis usahaku gagal dan kecupan pertamaku untuk suamiku kelak sudah berada di pipimu," racau Harmoni pada Dewa.
Pria itu masih senantiasa tersenyum mendengar ocehan Harmoni.
Cup
Tanpa banyak pikir, Dewa balik mengecup pipi CEO cantik tersebut.
"Apa yang kau ...."
"Mengembalikan kecupanmu dan aku tak berhutang kecupan apapun padamu," jelas Dewa membuat mulut Harmoni menganga.
"Hei, bukan ini yang aku maksud, aku hanya ...."
Dewa langsung memeluk Harmoni, meletakkan kepala gadis itu pada ceruk lehernya.
"Jangan lakukan pembuktian itu pada orang lain, jika bukan aku, sudah pasti mereka akan mengira, jika kau suka padanya dan mereka akan mengejarmu sampai mendapatkan dirimu," tutur Dewa mengusap lembut rambut Harmoni yang mengeluarkan aroma wangi bunga lavender.
"Tidak akan ada pria yang mau padaku, yang ada mereka hanya ingin balas dendam," ujar Harmoni merendahkan diri di hadapan Dewa.
"Jason pasti suka padamu," cetus Dewa membuat Harmoni langsung mendongakkan kepalanya menatap ke arah wajah Dewa dan pria itu yang merasakan pergerakan kepala Harmoni pada ceruk lehernya, langsung menundukkan kepalanya.
"Kenapa?" tanya Dewa pura-pura tak tahu.
"Kenapa membahas dia lagi? bukankah gara-gara dia, kita berdua jadi bertengkar," jengkel Harmoni pada Dewa yang masih membahas mengenai Jason, akar dari pertengkaran keduanya.
"Karena dia memang suka padamu," kukuh Dewa.
Harmoni melihat ke arah dekapan tangan kekar Dewa yang melingkar di tubuhnya saat ini karena posisi mereka berdua tengah berpeluang sangat erat seperti sepasang kekasih.
Dewa mengikuti arah penglihatan Harmoni.
"Ini dekapan seorang teman dan seorang malaikat yang ingin melindungi seseorang yang ingin dilindungi," jelas Dewa penuh kebohongan.
"Benarkah?" tanya Harmoni memastikan lagi.
"Benar!"
"Terserah kau saja," acuh Harmoni yang kembali meletakkan kepalanya pada ceruk leher Dewa, menikmati dekapan pria itu karena hal tersebut cukup bisa menenangkan pikirannya.
Harmoni berpikir, mungkin itu pengaruh dari pelukan seorang malaikat terhadap orang yang dilindunginya.