Setelah selesai dengan urusan mengganti pakaian, akhirnya Harmoni keluar dari kamar mandi umum itu dengan baju yang pastinya sudah kering tak basah kuyup seperti tadi karena ia sudah berganti baju dan pakaian ia dapatkan berasal dari Dewa, si pria alien yang biasa di sapa seperti itu oleh Harmoni.
"Bagaimana? pas?" tanya suara seorang pria yang ternyata sedaritadi menunggu Harmoni di luar.
Wajah gadis itu nampak terkejut kala ia melihat keberadaan Dewa di luar.
"Untuk apa kau masih di sini? ini kamar mandi umum khusus perempuan, bukan untuk kaum seperti dirimu," serang Harmoni.
Dewa hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pikiran gadis yang kini berada di hadapannya.
"Apa kau tak bisa berterima kasih padaku? aku sudah menunggumu dari tadi, apa tak ada kata-kata lain selain kata-kata yang cukup menyakiti hatiku," sergah Dewa menatap Harmoni dengan tatapan kecewa.
Harmoni masih diam tak menjawab apapun karena gadis itu bingung harus menjawab apa saat ini.
Harmoni hanya diam memperhatikan Dewa yang saat ini menatap dirinya dengan tatapan yang sama yaitu kecewa.
Karena tak ada tanggapan dari mulut Harmoni, akhirnya Dewa memutuskan untuk berdiri meninggalkan gadis itu yang masih diam mematung di ambang pintu kamar mandi umum tersebut.
Seorang ibu-ibu melihat kejadian pertengkaran kecil yang mana menurut ibu-ibu itu adalah sebuah pertengkaran antara sepasang kekasih yang masih dalam masa cinta-cintanya.
Harmoni keluar dari kamar mandi tersebut dan memberikan uang kepada ibu-ibu pemilik kamar mandi tersebut.
"Ini, Bu!" Harmoni memberikan uang biaya penggunaan kamar mandi umum itu.
"Saya boleh bertanya, Neng?" tanya ibu tersebut pada Harmoni yang masih fokus menatap ke arah Dewa yang saat ini sudah semakin jauh dari tatapannya.
"Ah, iya!" sahut Harmoni sedikit terkejut karena saat ini tubuhnya boleh berada di tempat itu, tapi hati dan pikirannya nampak tak berada pada tempatnya.
Ibu tersebut tersenyum melihat ke arah Harmoni sembari menatap gadis tersebut dengan tatapan tahu apa yang saat ini ada dalam benak Harmoni.
"Jika memang anak muda tadi salah atau kehadirannya tidak dikehendaki, seharusnya tidak boleh seperti tadi, Neng! kasihan dia, dari tadi sudah menunggu di sini sampai Neng keluar dari kamar mandi," jelas ibu tadi pada Harmoni dan rasa bersalah Harmoni semakin menguap kala penjelasan ibu itu semakin menambah penyesalannya karena sudah bersikap tak baik pada Dewa yang memang berniat menolongnya.
"Apa benar itu?" tanya Harmoni yang hanya basa-basi untuk menghilangkan rasa bersalahnya pada Dewa.
"Benar! bahkan dia sampai berkeliling mencari baju yang Neng pakai saat ini karena rata-rata baju di daerah pantai semuanya terbuka dan dia tak mau membeli baju seperti itu dan beruntungnya masih ada baju yang Neng pakai, cukup tertutup dan apa Neng tahu? bagian dalam yang neng pakai juga dia yang mencarinya, saya tahu kalau dia malu sekali, tapi dengan wajah merah menahan malu, pria itu menahan rasa malunya dan membeli pakaian tersebut untuk Neng," Jelas ibu-ibu pemilik kamar mandi umum tersebut.
Harmoni yang awalnya fokus menatap ke arah ibu tersebut, seketika langsung menoleh ke arah Dewa yang sudah lenyap dari pandangannya.
Mata Harmoni terus mencari keberadaan Dewa di segala sudut tempat itu namun, nihil, tak ada terlihat bayangan pria yang tadi sempat ia sapa salah karena telah menunggunya.
"Kenapa aku bisa merasa bersalah seperti ini?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri sembari terus mencari keberadaan Dewa.
"Sebaiknya dicari saja, sebelum dia benar-benar kesal, jika saya jadi dia, saya juga akan merasa kesal," saran ibu pemilik kamar mandi tersebut.
"Terima kasih, Bu!"
Harmoni langsung berjalan cukup cepat dengan dress semata kakinya yang terlihat begitu anggun saat ia kenakan.
Harmoni membawa sekantung pakaian basah yang ada di tangannya sembari kedua matanya terus mencari keberadaan Dewa.
"Hei!"
Suara seorang pria dari kejauhan begitu terdengar dengan jelas ditelinga Harmoni.
Gadis itu mengira, jika suara tersebut adalah milik Dewa.
Secepat kilat, Harmoni langsung menoleh ke arah sumber suara.
Rasa kecewa yang saat ini menghampiri Harmoni karena apa yang ia pikirkan tak sesuai dengan kenyataan.
"Sedang apa kau di sana?" tanya pria itu yang tak lain adalah Jason.
"Aku ... sedang ganti baju," sahut Harmoni dengan senyuman yang ia paksakan.
"Apa kau masih ingin menikmati keindahan tempat ini?" tanya Jason pada Harmoni dan gadis itu masih diam tak menjawab pertanyaan pria yang saat ini menjadi rekan kerjanya sekaligus pria yang menaruh hati padanya.
"Kenapa diam? apa kau memikirkan sesuatu?" tanya Jason pada Harmoni.
"Eee ... tidak! aku hanya lelah saja karena tadi habis bermain air di pantai," elak Harmoni pada Jason.
"Oh, aku kira kau sedang ada masalah! kau nanti pulang denganku saja," pinta Jason membuat kedua alis Harmon nampak menyatu.
"Kenapa aku harus pulang denganmu? bukankah ...."
"Dia sepertinya sudah kembali lebih dulu karena tadi aku tak sengaja melihatnya menuju ke arah parkiran," jelas Jason pada Harmoni yang sebenarnya bukanlah pria itu yang melihatnya melainkan, asisten pribadinya yang melihat hal tersebut.
Wajah Harmoni langsung berubah kebingungan.
"Apa dia sampai sebegitu marahnya padaku? aku hanya berkata seperti itu, tapi kenapa dia sampai marah seperti ini?" tanya Harmoni dalam hati.
"Bagaimana? kita pulang bersama?" tanya Jason lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari mulut Harmoni.
"Nanti aku akan menghubungimu lagi, ada sesuatu yang harus aku urus lebih dulu," tutur Harmoni pada Jason.
Gadis itu tanpa pamit langsung meninggalkan Jason yang masih berdiri menatap kepergiannya dengan wajah penasaran tingkat tinggi karena Harmoni tiba-tiba langsung merasa panik setelah tahu, jika Dewa pulang lebih dulu.
"Apa mungkin mereka ada hubungan yang tak aku ketahui?" tanya Jason langsung mengambil ponselku dari dalam saku celananya.
"Bagaimana? sudah kau temukan siapa pria itu?" tanya Jason pada asistennya.
"Sudah, Tuan!"
"Baiklah, aku akan segera menemuimu," tutur Jason langsung mematikan sambungan teleponnya lebih dulu.
Sementara Harmoni saat ini mulai terus berlari menuju ke arah tempat parkir.
Gadis itu berharap, jika dirinya akan menemukan pria yang sedari tadi ia cari.
Saat sudah berada di halaman parkir tempat tersebut, napas Harmoni ngos-ngosan karena ia sedari tadi terus berlari dan berlari, agar dirinya bisa bertemu dengan Dewa, meminta maaf pada pria itu karena ia sudah mengakui kesalahannya sudah tak menghargai niat baik Dewa padanya.
Kedua bola mata Harmoni terus mencari keberadaan pria bermata biru tersebut namun, tak ada mobil Dewa di tempat itu, yang ada hanya mobil Jason yang terparkir di tempat yang sama saat awal mereka datang.
"Apa dia sudah benar-benar pulang?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri.
Masih tak putus asa, Harmoni berjalan cukup pelan, mengelilingi tempat parkir roda empat tersebut dan sudah dua kali ia mengulangi hal tersebut namun, tak ada mobil Dewa di barisan para mobil mewah yang terparkir rapi di tempat itu.
"Apa kau sudah benar-benar pergi?" tanya Harmoni yang tersenyum kecut menerima kenyataan yang ada saat ini.
Ini semua karena keegoisan dirinya yang selalu menganggap Dewa pria seenaknya sendiri, padahal pria itu berniat baik padanya.
"Apa kau sudah mulai benci padaku?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri yang tak sengaja menundukkan kepalanya dan terlihatlah sebuah bandul kalung berwarna biru milik Dewa yang masih ada padanya.
"Seharusnya kau mengambil benda ini saja karena aku tak mau memiliki rasa bersalah padamu seperti ini," gumam Harmoni yang menyentuh bandul kalung tersebut.
Arah tatapan mata Harmoni masih terus melihat satu persatu deretan mobil yang terparkir di tempat itu namun, hasilnya tetap sama, mobil Dewa sudah lenyap entah kemana dan hal tersebut pasti karena dirinya yang bersikap terlalu keras pada pria itu.
Perlahan kaki Harmoni melangkah ke arah lain, entah kemana kaki itu akan membawanya, yang jelas, saat ini pikiran terpusat oleh Dewa.
Kaki Harmoni terus menuntun gadis itu ke arah tempat lain selain parkiran, yaitu tepi pantai, di mana ia dan Dewa sempat mengukir kenangan manis di sana.
Saat telapak kakinya sudah benar-benar menapaki pasir putih yang masih terasa dingin saat ia pijak, Harmoni langsung tersadar dengan arah tatapan menatap ke arah sekelilingnya.
"Kenapa aku bisa kemari? bukankah aku berada di tempat parkir?" tanya Harmoni yang tak sadar dengan apa yang ia lakukan sedari tadi saat dirinya berjalan ke tepi pantai tersebut sendirian.
Momen di mana ia dan Dewa bersenda gurau, kini kembali teringat dengan mata yang ia pejamkan.
"Apa aku terlalu keras padanya? tapi aku melakukan hal itu karena aku terbiasa bersikap waspada apda siapapun," gumam Harmoni yang langsung terduduk di pantai tersebut dengan kepala ia tundukkan ke bawah.
"Apa dia benar-benar marah? apa dia sudah tak mau melindungiku lagi? apa dia juga tak menginginkan benda ini lagi?" tanya Harmoni yang menyentuh bandul kalung miliknya dengan mata yang mulai mengeluarkan sedikit embun di pelupuk matanya.
"Aku benci padamu, jika kau bersikap seperti ini!" teriak Harmoni mengarah ke tengah laut, agar perasaannya lega.
Harmoni merasa dirinya ingin meledak sedari tadi saat ia sudah tak bisa menemukan keberadaan Dewa.
Kini ia merasakan rasanya di tinggalkan tanpa ada yang memperdulikan dirinya lagi.
Harmoni lagi-lagi menyentuh bandul kalung itu dan menggenggamnya sangat erat.
Sekelebat ingatan mengenai kehadiran Dewa, jika dia berteriak atau dalam keadaan genting, Dewa pasti datang.
"Apa aku coba saja?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri.
Dengan menguatkan tekadnya, akhirnya gadis itu kembali berteriak ke arah tengah laut.
"Aaaaaaaaaaakkkkkk!"
Tak ada tanda-tanda keberadaan Dewa di sekitar tempat itu.
Mata Harmoni sudah membidik segala arah dan hasilnya zonk.
"Setidaknya aku harus mencoba lagi, siapa tau dia tergerak ingin kemari," gumam Harmoni yang lagi-lagi berteriak lebih kencang dari sebelumnya.
"Aaaaaaaaaaakkkkkk!"
Urat leher Harmoni rasanya sudah ingin putus karena ia berteriak terlalu kencang.
Harmoni melakukan hal yang sama, memperhatikan tiap sudut pantai itu dan tak ada penampakan dari seorang Dewa Abraham.
Senyum kecut sarat akan kekecewaan terukir di bibir indah Harmoni.
"Seharusnya aku tahu, dia pasti sangat marah padaku karena aku sudah semena-mena padanya dan aku juga tak tahu terima kasih, sudah dibantu malah mengecewakan seperti ini, hah! benar-benar tak tahu diri kau, Harmoni!" umpat Harmoni pada dirinya sendiri karena kesalahan yang ia buat.
Harmoni terus memundurkan tubuhnya dan tanpa sengaja ia menginjak cangkak kelomang yang sudah tak ada isinya di dalam.
"Aaawwwwww!"
Harmoni berteriak lagi namun, kali ini benar-benar karena kesaktian, bukan dibuat-buat dan tanpa terduga oleh gadis bermarga Sudarmanto tersebut, seorang pria tiba-tiba sudah berada di belakangnya namun, Harmoni tak tahu akan hal itu.
Gadis itu saat ini dalam posisi berjongkok melihat telapak kakimu yang mungkin terluka karena tak sengaja menginjak cangkang kelomang laut.
"Kenapa aku harus menginjak cangkang itu? apa ini balasannya karena aku tadi sudah berusaha berteriak, agar dia datang kemari? tapi hal itu percuma, sekarang saja dia tak akan ...."
"Jangan berteriak semaumu lagi," potong seorang pria yang tepat berdiri di belakang Harmoni.
Spontan Harmoni langsung menoleh ke arah pria itu karena ia sangat familiar dengan suara tersebut yang tak lain adalah suara Dewa.
Harmoni menengadahkan wajahnya menatap pria itu untuk mematikan, jika dirinya tidak dalam keadaan menghayal.
Dewa masih diam tak berbicara sepatah katapun lagi, ia hanya melihat ke arah Harmoni dengan tatapan mata datar namun, sarat akan kekecewaan itu masih belum hilang dari dalam mata pria bersuhu dingin tersebut.
"Kau kembali?" tanya Harmoni langsung berdiri dari posisi jongkoknya.
"Ya!"
"Apa kau benar-benar sudah pergi?" tanya Harmon ingin memastikan.
"Ya!"
"Apa karena kau marah padaku?" tanya Harmoni lagi dan Dewa tak menjawab apapun lagi.
Harmoni hanya menatap kedua mata Dewa cukup dalam.
"Aku kau marah padaku?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Tidak!"
"Jelas-jelas kau marah, tapi berlagak tak marah seperti itu," kukuh Harmoni melangkahkan kakinya ke arah Dewa namun, saat jarak mereka berdua tinggal dua langkah, Harmoni menghentikannya.
"Jika tak ada lagi, aku akan pergi, kau bisa kembali dengan Jason!"
Dewa langsung membalikkan badannya hendak pergi meninggalkan Harmoni Harmoni yang berdiri mematung mendengarkan kalimat sedingin itu keluar dari mulut Dewa saat ini.
"Ini tak boleh dibiarkan! aku tak ingin dia pergi, tak ingin!" gumam Harmoni dalam hatinya.
Tanpa pikir panjang, Harmoni berlari ke arah Dewa dan memeluk pria itu dari belakang sangat erat, sampai tubuh Dewa sedikit terjungkal ke depan.
"Jangan pergi!"
Dewa masih diam tak merespon apapun atas ucapan Harmoni yang tak mengizinkan dirinya pergi.
"Jangan biarkan aku pulang sendirian, bukankah kita kemari bersama? jadi, pulang juga harus bersama," tutur Harmoni pada Dewa.
"Kau masih ada Jason! jangan terlalu manja seperti ini, aku tak ingin membuatmu merasa kau terusik dengan keberadaanku," cicit Dewa pada Harmoni dengan tubuh yang masih membelakangi tubuh gadis tersebut.
"Tidak mau! aku ingin pulang denganmu," kukuh Harmoni pada Dewa.
"Jangan seperti ini! kau pulang dengannya saja, jangan ...."
Harmoni langsung melepaskan pelukannya pada tubuh Dewa dan berjalan secepat mungkin ke hadapan pria tersebut.
"Apa kau masih belum puas menghukummu? membiarkan aku luntang-lantung sendirinya di parkiran mencari keberadaanmu? memikirkan kesalahan yang sudah aku lakukan padamu? apa kau tak memikirkan itu semua?" tanya Harmoni yang sudah tak bisa lagi menggunakan cara halus pada Dewa.
"Kau sendiri yang tak suka aku menunggumu, berada di dekatmu jadi, untuk apa aku masih diam di sini, sementara kau sepertinya begitu anti, jika aku hanya sekedar untuk menunggumu di depan toilet umum itu, seharusnya aku tak melakukan hal itu, seharusnya kita tak melakukan hubungan semu ini, seharusnya kristal itu tak jatuh padamu, seharusnya ...."
Harmoni langsung memeluk Dewa, melampiaskan semua kegundahan yang ada dalam hatinya saat ini.
"Jangan pergi, jangan biarkan aku sendiri lagi, lindungi aku," pinta Harmoni yang meletakkan kepalanya pada ceruk leher Dewa dengan tangan yang melingkar di pinggang Dewa.
"Tapi kau ...."
Harmoni sedikit melonggarkan pelukannya, melihat kedua manik mata biru milik Dewa yang pastinya siapa saja kaum hawa yang melihatnya akan terjerat ke dalamnya.
"Apakah seperti ini wajar dalam hubungan kita, meskipun hanya semu, tapi aku tak pernah mendengar hubungan kekasih antara seorang yang memukul mundur pasangannya, agar menjauh darinya, kecuali ... orang itu tak benar-benar sayang padanya, sudah memiliki kekasih lain, atau merasa bosa ...."
Dewa langsung membungkam mulut Harmoni menggunakan bibirnya, memporak-porandakan apa saja di sana karena perasaan Dewa sedari tadi juga menahan rasa kesal pada gadis itu karena sudah berani mengusirnya.
Bagi Dewa, ini hukuman yang sangat aman untuk Harmoni, tak merasakan sakit, malah merasakan kebalikannya, yaitu melambung sampai ke awan.
Bukannya menolak, Harmoni justru menerima dengan senang hati tanpa adanya penolakan seperti biasanya, mungkin keduanya sudah mulai merasakan, jika perasaan masing-masing itu bukan hanya sebuah rasa semu, melainkan rasa nyata yang masih belum mereka sadari, tapi perlahan mulai terdeteksi oleh hati masing-masing.