Bab 90

1283 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang, waktu tersebut melebihi batas waktu jam makan siang yang seharusnya sedari tadi digunakan oleh Mona dan Hicob. Namun Mona tak enak hati membangunkan pria berkacamata mata tersebut yang masih terlelap tidur di sofa ruangannya. Mona masih sibuk dengan berkas yang berada di atas mejanya dengan beberapa laporan lain yang berada di laptopnya. Mona diam-diam melirik ke arah Hicob untuk memastikan, apakah pria itu bangun atau tidak dan ternyata masih belum. Sudah tak dapat dihitung berapa kali Mona mencuri pandang ke arah Hicob, meskipun hanya sekedar untuk memastikan pria itu bangun atau tidak. "Apakah dia tipe orang yang suka tidur seperti kerbau?" pikir Mona terhadap Hicob yang memiliki waktu tidur sangat panjang. "Mungkin begitu," celetuk Hicob dengan tangan yang ia regangkan ke atas melenturkan otot-ototnya yang kaku karena terlalu lama berbaring di atas sofa ruangan Mona. Mona terkejut karena ia tak tahu, jika Hicob sudah terbangun dari tidur panjangnya. "K-kau sudah bangun?" tanya Mona terkejut karena ia tak tahu, jika Hicob sudah bangun dan pastinya mendengar ucapannya tadi. "Tentu saja dan tubuhku terasa terasa lebih ringan karena aku semalam tak tidur," ungkap Hicob langsung menegakkan tubuhnya menjadi posisi duduk. "Tak tidur? apa yang kau lakukan semalaman tak tidur?" tanya Mona menatap ke arah Hicob penuh rasa penasaran. "Meronda! jaga-jaga takut ada maling sandal," sahut Hicob sekenanya. Wajah Mona langsung terheran-heran kala Hicob memberikan jawaban yang diluar ekspektasi dirinya. Hicob yang sadar dengan raut wajah lucu Mona langsung tertawa renyah dengan kepala yang sudah menunduk dari saking gelinya menahan tawa terbahak-bahak yang ingin keluar dari mulutnya. "Kau sedang bercanda, 'kan? jangan bilang itu menjadi profesi barumu saat pergantian jam kerja. Waktu pagi menjadi asisten yang sangat berkarisma, saat malam jadi, tukang ronda maling," nyinyir Mona yang tak habis pikir dengan jawaban yang keluar dari mulut Hicob. "Hahaha! apa kau sungguh percaya dengan ucapanku? jika kau benar-benar percaya, kau masuk dalam acara kena prank," ledek Hicob menggelengkan kepalanya tanpa henti. Mona hanya mengerucutkan bibirnya karena ia merasa sudah masuk dalam perangkap Hicob yang sengaja ingin menggodanya." "Coba saja aku tahu, jika kau sudah bangun tadi, aku siram kau dengan air minum ini," tunjuk Mona pada gelas yang ada di meja kerjanya. Hicob tak menanggapi celotehan Mona, pria itu melihat ke arah jam dinding dan saat ini waktunya makan siang. "Kita berangkat sekarang?" tanya Hicob pada Mona karena saat ini sudah waktunya mereka berdua makan siang sekaligus pergi berkunjung ke rumah lama Mona yang akan direnovasi. "Tunggu sebentar lagi, masih kurang ...." Ctakkkkk Bunyi jentikkan jari Hicob mengagetkan Mona dan saat Mona kembali fokus pada berkasnya, semua laporan itu sudah terselesaikan dan pastinya ia tahu siapa gerangan pria yang membuat pekerjaannya menjadi lebih mudah terselesaikan. "Kenapa tak dari tadi saja kau lakukan ini? kenapa baru sekarang?" tanya Mona menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi miliknya. "Aku masih sibuk tidur, membangun mimpi yang indah dan bahagia," sahut Hicob yang seenaknya. Mona memutar bola matanya jengah, ia tak ingin banyak berdebat dengan pria yang pintar dalam berkata-kata ini. "Terserah kau saja! kita berangkat sekarang!" Mona langsung bangun dari kursi kebesarannya dan berjalan ke arah dispenser untuk mengambil air minum lagi karena ia memang suka minum, jika urusan kantor menggunung seperti tadi. Mona langsung memakai blazer yang ia gantung di sandaran kursi miliknya, serta meraih tas selempang miliknya. "Berangkat sekarang?" tanya Hicob ingin memastikan lagi. "Tidak!" Kening Hicob mengkerut sempurna karena jawaban yang keluar dari mulut Mona tak sama dengan apa yang gadis itu katakan sebelumnya. "Kenapa tidak? lalu kapan?" tanya Hicob bingung. "Tahun depan! ... sekarang lah, Tuan Hicob yang terhormat," kesal Mona tersenyum manis namun, Hicob sadar, jika senyuman itu tak tulus sama sekali dari bibir Mona. "Wow! apa kau sudah kelaparan, sampai senyummu saja membuat aku sakit perut karena keroncongan," ledek Hicob langsung berjalan begitu cepat keluar dari ruangan tempat. Mona memejamkan matanya karena rasa kesal yang ia tahan. "Sabar Mona! dia itu pria yang tak sama seperti pria pada umumnya, mungkin dia kurang asupan nutrisi lawakan," rapal Mona langsung berjalan mengikuti langkah kaki Hicob yang kemungkinan besar pria itu sudah berada di dalam lift. Dewa dan Harmoni sudah kembali berada di dunia normal karena setelah Harmoni tahu, kapan Dewa akan pergi, gadis itu lebih irit saat berkomunikasi dengan Dewa. Kini mereka berada di sebuah pasar yang menjual berbagai jenis pernak-pernik dan beberapa baju yang memang sudah tersedia di setiap lapak. Harmoni dan Dewa berjalan berdampingan dengan tangan yang masih bergandengan layaknya pasangan pada umumnya. "Apa kau ingin sesuatu?" tanya Dewa pada Harmoni. Gadis itu masih melihat ke arah kanan dan kirinya. Gadis itu ingin memastikan, ada barang yang cocok untuk dirinya dan Dewa. Tatapan mata Harmoni terkunci pada lapak seorang pria muda yang menjual berbagai pernak-pernik lucu. Dewa yang sadar dengan kemauan Harmoni, langsung menarik tangan gadis itu menuju ke arah lapak tersebut. "Pilih saja yang kau mau," pinta Dewa pada Harmoni. Tanpa banyak bicara, gadis itu langsung melihat dengan cermat setiap gelang yang tertata rapi dan matanya terkunci pada sebuah gelang dengan inisial huruf yang sangat cantik. Harmoni mengambil gelang dengan huruf D dan kebetulan, ada permata biru di bagian tengahnya. "Kau menginginkan itu?" tanya Dewa langsung tepat sasaran. "Apa aku boleh membeli gelang berinisial D ini? setidaknya aku bisa mengingatmu suatu hari nanti," tutur Harmoni yang menahan rasa sakit di hatinya. "Berikan padaku gelang itu, aku akan memakaikannya kepadamu," pinta Dewa dan Harmoni tersenyum tulus karena Dewa mau mengizinkan dirinya mengenakan gelang berinisial D pada tangannya. Saat sudah selesai di pasang oleh Dewa, Harmoni begitu terlihat sangat senang karena gelang itu begitu cocok ia pakai dengan hiasan berlian berwarna biru melingkar di pergelangan tangannya. "Sangat indah!" puji Harmoni membuat Dewa ikut tersenyum melihat raut wajah Harmoni yang kembali ceria karena semenjak kembali dari taman bunga fantasi itu, Harmoni seperti bukan gadis yang dikenal oleh Dewa. CEO cantik tersebut sangat irit sekali dalam membalas setiap pertanyaan yang diajukan oleh Dewa, membuat lelaki bermata biru itu merasa tak nyaman. Dewa tiba-tiba memberikan sebuah kalung dengan liontin huruf H pada Harmoni. "Untukku?" tanya Harmoni pada Dewa. "Bukan!" "Lalu untuk siapa, jika bukan untukku?" tanya Harmoni mulai merasa kesal pada Dewa. "Awas saja kau bilang untuk gadis lain, aku tendang kau, sampai perut berototmu tak memiliki bentuk lagi," umpat Harmoni dalam hati yang merasa kesal pada Dewa. "Bantu aku memasang kalung ini di leherku," tutur Dewa pada Harmoni. Sontak gadis itu langsung melihat ke arah liontin kalung yang diberikan oleh Dewa dan ternyata inisial huruf H di sana. "Ini ...." "Itu nama gadis yang pernah aku temui, meskipun gadis itu cerewet, setidaknya dia sedikit lucu saat sedang kesal," ledek Dewa sembari mengerlingkan sebelah matanya pada Harmoni. Gadis itu langsung memukul lengan kekar Dewa karena ia merasa malu di lihat oleh pemilik lapak pernak-pernik tersebut. "Maaf ya, Mas! dia memang suka begitu," tutur Harmoni tersenyum kikuk ke arah pria muda yang menjual pernak-pernik itu. "Tidak apa-apa, Mbak! kalau pasangan yang sedang di mabuk cinta memang begitu, cara berbicaranya suka berlebihan, tapi itu menunjukkan, jika mereka sayang terhadap pasangannya, ya termasuk pacar Mbak ini," jelas pria penjual pernak-pernik tersebut. Harmoni hanya tersenyum kikuk, sementara Dewa mengacungkan jempolnya pada penjual tadi. "Anda benar sekali, Mas! saya setuju dengan pendapat Anda," tutur Dewa seakan membenarkan ucapan pria muda itu. Harmoni hanya menatap Dewa dengan tatapan sengit. Dewa tak memperdulikannya, justru pria itu lebih memilih membalikkan tubuhnya membelakangi Harmoni. "Pasang sekarang!" pinta Dewa dan gadis itu langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Dewa. Setelah selesai memasangkan kalung dengan liontin huruf H itu, Dewa berbalik dan langsung mengecup kening Harmoni lembut. "Aku akan merasa kau selalu bersama dengan diriku di setiap waktu," tutur Dewa membuat Harmoni langsung menutup wajahnya karena malu dengan pedagang pernak-pernik itu dan orang yang membuat Harmoni malu, justru senyam-senyum melihat keromantisan pasangan muda di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD