Kekhawatiran Harmoni

2514 Words
Dewa lebih dulu sampai di puncak tebing tersebut, kemudian disusul oleh Harmoni. Pria itu menghadap ke arah sumber mata air, di mana mata air tersebut mengalir dari ketinggian tebing yang sama seperti tebing yang saat ini Harmoni pijaki. Air yang jatuh ditampung menjadi satu dan membentuk sebuah sungai yang terus mengalir ke arah danau dekat rumah Dewa. "Indah sekali," gumam Harmoni saat kedua mata gadis itu benar-benar disuguhkan sebuah keindahan yang teramat sangat luar biasa. Bagaimana tak disebut indah, di tebing aliran mata air tersebut ditumbuhi oleh bunga berwarna pink dan kuning, sementara di sekitar sungai bunga berwarna ungu bagai warna bunga lavender juga memenuhi setiap pinggiran sungai itu. Harmoni coba memperkirakan ketinggian dari atas tebing sampai ke sungai tersebut, tiba-tiba gadis itu bergidik ngeri. Meskipun dirinya jago berenang, tapi saat membayangkan ia akan melompat dari ketinggiannya yang sekarang, sepertinya nyalinya tak seberani itu. "Sudah siap?" tanya Dewa yang pastinya tengah mengajak Harmoni untuk melompat ke sungai tersebut. "Siap untuk apa?" tanya Harmoni balik pura-pura bodoh. "Kita akan terjun," jelas Dewa membuka baju bagian atasnya sehingga tubuh bagian atas pria itu terpampang begitu nyata. Harmoni terdiam sejenak kala ia melihat pahatan mahluk hidup yang bernama manusia yang begitu sempurna tengah berada di hadapannya saat ini. Kulit putih, tubuh kekar, dan yang pastinya otot pada perutnya membuat Harmoni meneguk liurnya sendiri karena baru pertama kali ini ia melihat tubuh bagian atas seorang pria secara langsung. "Astaga! kenikmatan mana yang aku dustakan, Tuhan! sungguh pahatan yang sangat luar biasa indahnya," gumam Harmoni dalam hati dengan arah tatapan yang masih terfokus pada otot perut Dewa yang begitu menggugah selera para kaum hawa. Dewa yang sedikit heran pada Harmoni, akhirnya meletakkan telapak tangannya tepat di hadapan CEO cantik tersebut dan menggerakkan telapak tangan itu ke kanan dan kiri, mencoba memastikan apa gadis itu dalam keadaan sadar atau tidak. "Hei, kau masih waras, 'kan?" tanya Dewa. Seketika wajah Harmoni terkejut dengan suara Dewa. Gadis itu akhirnya mencoba menetralisir perasaannya, agar kembali normal. "Aku masih waras," jelas Harmoni sedikit membenarkan rambutnya yang sebenarnya tak ada yang berantakan sama sekali. "Mau mandi atau tidak? hari sudah semakin sore, jika kau tak cepat melompat ke bawah sana, airnya akan semakin dingin," jelas Dewa pada Harmoni. "Tapi aku ...." Harmoni tak berani melanjutkan perkataannya, ia masih takut membayangkan, jika dirinya harus terjun langsung ke bawah karena tebing yang ia pijaki cukup tinggi. "Jangan bilang kau takut," tebak Dewa membuat kepala Harmoni mau tak mau harus mengangguk memperjelas tebakan pria bertubuh dingin, sedingin salju tersebut. "Ha-ha-ha-ha! seorang perempuan yang begitu pemberani, ternyata bisa takut ketinggian juga, ya? aku pikir, kau tak takut apapun," ledek Dewa yang mendapat tatapan tajam dari kedua mata Harmoni. "Diam kau! aku tak mau mendengar kau tertawa," ketus Harmoni langsung menghadap ke arah sungai yang kini menjadi sumber ketakutannya. "Begini saja, bagaimana, jika aku yang lebih dulu melompat ke dalam sana, kemudian dilanjutkan oleh dirimu," jelas Dewa membuat Harmoni lagi-lagi harus meneguk liurnya kembali. Tangan Dewa langsung menyentuh kedua pipi Harmoni sampai bibir gadis itu mengerucut ke depan. "Jangan takut! ada aku yang akan melindungimu," tutur Dewa menenangkan perasaan Harmoni. Wajah gadis itu seketika langsung pasrah sembari kepalanya mengangguk mengiyakan ucapan dari Dewa. Dewa langsung tersenyum karena bujukannya membuahkan hasil. Arah mata pria itu tertuju pada bibir Harmoni dan seketika lensa matanya berubah menjadi jingga kembali. "Warna matamu?" tanya Harmoni dengan mulut yang masih mengerucut akibat ulah Dewa. Dewa menggelengkan kepala Harmoni begitu keras sampai si empunya kepala mengaduh kesakitan. "Aduh, sakit!" Dewa langsung melepaskan kedua telapak tangannya dan bersiap untuk melompat ke dalam air. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Harmoni yang masih cemas dengan perubahan lensa mata Dewa yang akhir-akhir ini sering terjadi. "Aku baik-baik saja, jangan banyak bertanya dan perhatikan aku," ucap Dewa langsung terjun bebas ke dalam air dari ketinggian tebing yang dipijaki oleh Harmoni. "Awas!" Gadis itu berteriak kala ia melihat tubuh Dewa yang langsung menghantam permukaan air sungai itu. Wajah Harmoni terlihat sangat cemas saat ia menantikan kemunculan Dewa di permukaan air sungai tersebut. "Ke mana dia?" tanya Harmoni dengan jari telunjuk yang ia gigit karena merasa khawatir dengan keadaan Dewa. Rasa khawatir Harmoni yang terlalu besar pada pria tersebut, membuat gadis itu tak sadar, jika pria yang dikhawatirkannya bukan manusia biasa, melainkan sosok yang abadi. Beberapa menit berlalu, tak ada nampak batang hidung seorang Dewa Abraham yang muncul kepermukaan dan kegelisahan semakin menghinggapi hati Harmoni. "Dia tidak akan mati, 'kan?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri. Harmoni mondar-mandir terus menunggu kemunculan Dewa namun, pria itu tak juga muncul. Entah mengapa rasanya ia ingin sekali menangis saat itu juga, rasanya seperti ada yang menghilang dalam dirinya. Harmoni berasumsi mungkin karena Dewa sudah ia anggap sebagai malaikatnya jadi, ia tak sanggup kehilangan Dewa begitu saja, apalagi harus tiada hanya karena mencoba terjun dari atas tebing ke dasar sungai. Harmoni kembali melihat ke arah bawah di mana riak sungai itu masih tak terlihat, permukaannya masih sangat tenang seperti tak ada kemunculan sesuatu dari dalam sungai tersebut. "Ini sudah hampir 5 menit, ke mana dia? jangan bilang, jika pria alien itu mati dengan cara seperti itu," racau Harmoni yang sudah hampir putus asa karena tubuh Dewa tak kunjung muncul dari dalam sungai. Harmoni terus menatap ke bawah tebing tersebut, setelah penantiannya yang seperti menunggu seabad lamanya, akhirnya riak pada air itu mulai muncul. Harmoni menutup mulutnya rapat-rapat menggunakan kedua tangannya dengan perasaan hancur. Tubuh Dewa muncul kepermukaan namun, bukan dengan karisma yang ia miliki, melainkan dengan tubuh yang sudah mengapung di atas sungai tersebut. Kepala Harmoni terus menggeleng menepis segala perkiraan yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. "Tidak mungkin, dia tak akan mati dengan cara seperti itu, 'kan?" tanya Harmoni yang masih memikirkan pemikiran dalam otaknya. Tubuh Dewa terus mengapung tanpa ada pergerakan apapun dari pria itu. Harmoni kini membulatkan tekadnya untuk melompat. "Setidaknya aku membantunya," yakin Harmoni pada dirinya sendiri. Gadis itu berdiri dengan napas yang ia tarik dalam-dalam untuk mempersiapkan diri. Riak air hasil dari ulah Harmoni begitu besar, membuat tubuh Dewa yang sudah terapung semakin menjauh dari jarak gadis tersebut. Akhirnya Harmoni keluar dari dalam air dengan napas yang terengah-tengah karena sungai itu nampaknya cukup dalam. Harmoni mencari keberadaan tubuh Dewa, saat Harmoni sudah menemukan tubuh pria itu, dengan sigap ia kembali menyelam berenang, agar jaraknya dan jarak Dewa semakin dekat. Mata Harmoni melihat pantulan bayangan tubuh Dewa dari dalam air, dengan gerakan lebih cepat lagi, gadis itu sudah berada tepat di bawah Dewa dan langsung keluar dari dalam air. "Hei, bangun!" teriak Harmoni pada tubuh pria itu yang sudah mengapung di atas permukaan air tersebut. Harmoni terus-menerus mengguncang tubuh Dewa namun, hasilnya tetap saja tak ada respon apapun dari pria itu. Harmoni mencoba menyentuh tubuh Dewa bagian lainnya, alhasil semuanya bersuhu dingin, bahkan lebih dingin dari biasanya. "Jangan bercanda, aku mohon bangun!" Wajah Harmoni sudah sangat cemas melihat kondisi Dewa saat ini yang tak mau membuka kedua kelopak matanya. "Pria Alien! pria aneh! pria menyebalkan! bangun!" Harmoni terus berteriak dengan kedua pelupuk mata yang sudah penuh akan cairan beningnya. "Aku masih belum bisa membalas semua perbuatan baik atau jahilmu itu, cepat bangun!" teriak Harmoni lebih kencang lagi. Gadis itu masih teringat satu cara lagi memastikan mahluk yang berada di hadapannya ini masih hidup atau sudah tiada Harmoni menyentuh bagian urat nadi Dewa yang berada di pergelangan tangannya dan hasilnya lagi-lagi membuat harapan gadis itu kembali sirna. Tak ada denyut nadi dari tangan Dewa dan suhu tubuh pria itu juga semakin dingin. "Tidak mungkin!" Harmoni tersenyum kecil dengan mata yang sudah mulai berlinang. "Kau pasti ingin mengerjai aku, 'kan? kau pasti ingin membalas semua perbuatanku yang begitu cerewet padamu, 'kan? jawab!" Harmoni terus menggila meneriaki Dewa dengan berbagai ucapannya. "Jangan begini, aku mohon! aku mohon bangunlah!" Kepala Harmoni akhirnya jatuh tertunduk tepat di kening Dewa dengan tangan yang menggenggam tangan pria itu sangat erat. "Kau malaikat penolongku, setidaknya, jika kau ingin pergi, biarkan aku membalas semua kebaikanmu dengan cara mengembalikan kristal milikmu ini, jika aku masih bisa memohon padamu, jangan tinggalkan aku," racau Harmoni yang sudah hilang kendali atas semua pikiran warasnya. Gadis itu saat ini nampaknya berada di alam bawah sadarnya, di mana rasa ketakutan akan kehilangan seseorang mulai naik kepermukaan. Perlahan sebuah tangan kekar terasa mulai menyentuh bagian tengkuk gadis itu. Racauan Harmoni yang awalnya tak mau berhenti, akhirnya gadis itu mendongakkan kepalanya menatap ke arah wajah Dewa. Mata berwarna safir yang sangat ia kenal, hidung mancung dan kulit putih yang sangat dominan itu kembali dapat ia lihat dengan perasaan lebih tenang dari sebelumnya. "Jangan menangis lagi," tutur Dewa dengan suara sedikit lemah. Harmoni yang awalnya sudah putus asa, kini gadis itu langsung memukul bagian perut Dewa dengan semua kekuatan yang ia miliki. "Kau jahat padaku, kau pasti berbohong padaku, 'kan? kau ingin bercanda, 'kan? tapi bukan begini juga caranya," kicau Harmoni masih terus memukul perut berotot milik Dewa yang nampak seperti roti sobek siap santap. "Hei, hentikan! perutku sakit, jika kau memukulinya dengan brutal seperti itu," protes Dewa sedikit meringis kesakitan. "Biarkan saja, biar sekalian kau mati," umpat Harmoni dengan segala kekesalannya. "Apa kau sungguh ingin aku mati?" tanya Dewa membuat gadis itu tersadar akan ucapannya tadi. Bukan itu yang Harmoni inginkan, ia hanya ingin mengeluarkan semua perasaan kesal dan marahnya pada Dewa, sehingga ia lepas kendali atas ucapannya sendiri. Tubuh Harmoni membeku mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Dewa kepadanya. Karena tak ada jawaban dari mulut Harmoni, akhirnya Dewa menegakkan posisinya, bukan lagi terlentang di atas permukaan air. "Kenapa diam?" tanya Dewa lagi dengan jarak dirinya dan Harmoni sekitar satu meter. Tubuh gadis itu masih membeku dan Harmoni juga bingung ia harus menjawab apa. Saat Dewa tak muncul kepermukaan, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, setelah pria itu muncul, tanpa sadar ia terpancing emosi dan berucap, agar pria itu lekas pergi saja dari dunia ini. "Jika kau diam, berarti kau sungguh ingin aku pergi?" tanya Dewa lagi. Harmoni masih diam tak bergerak ataupun berucap sepatah katapun. Bibir Dewa tersenyum kecut mendapati kenyataan yang lagi-lagi membangunkan dirinya. "Perasaan ini memang tak benar, dia saja ingin aku cepat pergi dari hidupnya, perasaan ini murni karena pengaruh kristal yang berada padanya" pikir Dewa dalam hati yang tak mau memikirkan perasaannya lagi terhadap Harmoni. Pria itu semakin menjauh dari jarak antar dirinya dan Harmoni. "Jika kau memang ingin aku pergi, aku akan melakukannya, lagipula, Hicob sudah tahu di mana keberadaan kristal milikku dan aku tak perlu susah payah lagi untuk mengambilnya darimu, cukup Hicob saja yang menjagamu dan pria itu," jelas Dewa yang tak ingin menyebut nama Jason di hadapan Harmoni. Perlahan pria itu kembali mendekat ke arah Harmoni dan menyentuh puncak kepala gadis itu. "Selamat tinggal!" Kepala Harmoni yang awalnya menunduk, langsung terangkat menatap ke arah Dewa. Pria itu tersenyum begitu tulus pada Harmoni. "Semoga ...." Belum juga selesai mengutarakan semua perkataannya, Harmoni langsung masuk ke dalam air berenang ke arah Dewa. Gadis itu seketika muncul tepat di hadapan pria tersebut dengan kelopak mata yang sudah mulai berlinang. Dewa yang melihat wajah Harmoni tiba-tiba berada di hadapannya, seketika syok. "Maafkan aku! jangan pergi," tutur Harmoni langsung memeluk tubuh Dewa erat. Gadis itu merasa dirinya akan kehilangan sesuatu, entah apa itu namun, menurutnya, ia mungkin takut akan kehilangan orang yang melindunginya lagi, seperti ayahnya yang juga meninggalkannya tanpa memberikan perlindungan apapun padanya. "Kenapa kau ...." "Jangan pergi! jika kau pergi, siapa yang akan melindungiku lagi, siapa yang akan menolongku di saat darurat seperti tadi pagi, dan siapa juga yang akan sering membuatku kesal setiap saat kita bertemu," cecar Harmoni dengan sebulir air mata yang turun merosot di pipinya. Dewa menundukkan kepalanya dan melihat bagaimana cairan bening itu jatuh dari pelupuk mata Harmoni. Dengan penuh kelembutan, kedua tangan Dewa mengangkat wajah Harmoni dan mengusap lembut pipi Harmoni yang basah. "Bukankah masih ada kekasihmu yang juga memiliki pangkat yang sama sepertimu?" tanya Dewa dengan suara mengejek, agar gadis itu melupakan kesedihannya. "Dia bukan kekasihku," sangkal Harmoni. Dewa hanya bisa tersenyum menatap kedua manik mata Harmoni dan gadis itu juga saat ini tengah menatap lensa mata biru milik Dewa. "Jika dia bukan kekasihmu, apakah dia calon suamimu?" tanya Dewa yang sebenarnya ingin memastikan sesuatu. Pukulan kecil mendarat di lengan kiri Dewa. "Jangan banyak bicara," sangkal Harmoni lagi ingin mengalihkan pembicaraan. Dewa kini sudah yakin dengan semuanya, ia dan Harmoni mungkin hanya memiliki ikatan karena pengaruh kristal itu, seperti hubungan timbal balik karena mereka berdua sama-sama membutuhkan satu sama lain. Dewa membutuhkan kristal miliknya kembali, sementara Harmoni, membutuhkan perlindungan dari Dewa. "Apa kau menangis karena takut aku mat ...." Harmoni segera membungkam bibir Dewa menggunakan tangannya sembari kepala gadis itu menggeleng. "Jangan katakan hal itu, aku tak ingin mendengar kata seperti itu lagi," jelas Harmoni pada Dewa. Lagi-lagi air mata Harmoni akan jatuh namun, dengan sigap, Dewa membawa gadis itu ke dalam pelukannya. "Maafkan aku, jika aku berlaku lancang padamu, hanya dengan cara ini aku bisa menenangkanmu," tutur Dewa memberitahu Harmoni, jika memeluk gadis itu adalah cara terbaik saat ini untuk membuat gadis itu lebih tenang lagi. Dewa memejamkan matanya dengan dagu yang berada di atas kepala Harmoni. "Jika saja aku bisa melihat masa lalumu, mungkin aku tak akan penasaran seperti saat ini," pikir Dewa dalam diamnya. "Kenapa kau begitu sensitif dengan kata itu?" tanya Dewa yang ingin mengulik sedikit demi sedikit jawaban dari pertanyaan dalam benaknya. "Aku menjadi incaran para penjahat," sahut Harmoni jujur pada Dewa. Gadis itu membenarkan posisi kepalanya yang bersandar pada ceruk leher Dewa dan ini kali pertama Harmoni merasa nyaman berada di pelukan seorang pria, selain ayahnya sendiri. Biasanya gadis itu paling anti didekati oleh seorang pria, yang ada pria lain yang coba mendekatinya, berakhir babak belur dengan kemampuan bela diri yang dimiliki gadis tersebut. "Boleh aku tahu alasannya? tapi, jika kau tak ingin bercerita, tak apa," ujar Dewa. "Ayahku seorang pengacara kondang dan beliau selalu memenangkan semua kasus yang ia tangani, sampai pada akhirnya, aku yang menjadi sasaran empuk para anak buah napi itu saat masih kuliah di luar negeri dan takdir semakin membuatku berada dalam jurang kematian di setiap harinya, setelah aku lepas dari tanggung jawab ayahku saat aku memutuskan untuk membangun sebuah perusahaanku sendiri karena aku tak berminat masuk dalam dunia ayahku jadi, sekarang hidupku setiap hari dihantui oleh kematian dan apa kau tahu?" tanya Harmoni menengadahkan wajahnya ke arah Dewa dan pria itu juga membalas tatapan mata Harmoni masih dengan tubuh saling memeluk satu sama lain. "Apa yang harus aku tahu?" tanya Dewa sedikit penasaran. "Sepertinya aku ini sama seperti seekor kucing, memiliki cukup banyak nyawa karena sudah berapa kali aku akan meregang nyawa," jelas Harmoni penuh antusias pada Dewa. "Benarkah? apa kau bisa menghitung sudah berapa kali kau akan meregang nyawa saat aku menolongmu?" tanya Dewa yang semakin ingin melihat wajah antusias Harmoni. "Entah, yang jelas sudah tak terhitung," sahut Harmoni tak dapat menghitung sudah berapa kali dirinya menghadapi percobaan pembunuhan oleh para musuh ayahnya. "Jadi semua informasi yang diperoleh Hicob, bukan informasi buatan, tapi memang kenyataan," ujar Dewa dalam hati. "Apa kita sudah bisa menjadi teman?" tanya Harmoni membuyarkan lamunan Dewa. "Teman?" tanya Dewa memastikan pertanyaan yang diajukan oleh Harmoni karena pria itu saat ini sedang dalam proses baru sadar dari lamunannya. Harmoni menganggukkan kepalanya, sementara Dewa masih diam memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan pada Harmoni kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD