Dewa masih berada di balik pintu kamarnya. Pria itu masih belum benar-benar pergi dari lantai atas rumah tersebut.
Semburat merah menghiasi wajah Dewa yang pada dasarnya lebih dominan arah putih.
Pria itu masih memikirkan apa yang ia lakukan bersama Harmoni di dalam kamarnya, sebelum ia keluar dari kamar tersebut.
"Apa yang aku lakukan? kenapa aku bisa melakukan hal seperti itu padanya?" tanya Dewa pada dirinya sendiri.
Karena terlalu lama bergelut dengan pikirannya sendiri, perut Dewa tiba-tiba berbunyi menandakan, jika organ pencernaannya tersebut, membutuhkan asupan nutrisi untuk diolah.
Dewa akhirnya memejamkan mata untuk melakukan teleportasi, agar ia segera sampai di dapur rumahnya tersebut karena dapur miliknya berada di lantai bawah jadi, Dewa ingin menghemat waktu, supaya perutnya yang mulai keroncongan, bisa segera melahap makanan olahannya sendiri.
Berbeda dengan Harmoni yang saat ini masih menatap langit-langit kamar Dewa.
Gadis itu masih memikirkan hal yang benar-benar di luar dugaannya.
Perlahan jemari lentik Harmoni mengarah ke arah bibirnya dan gadis itu mulai menyentuh benda kenyal tersebut yang sebelumnya sudah menempel pada bibir Dewa.
"Pasti aku sedang bermimpi, mana mungkin pria itu berani menciumku? bukankah pria itu sedikit aneh?" tanya Harmoni yang masih termenung memikirkan kejadian tadi.
Harmoni lagi-lagi menggelengkan kepalanya, mengusir semua hal yang terbesit dalam benaknya yang berhubungan dengan ciumannya tadi.
Gadis itu berbaring di sofa panjang milik Dewa dan beberapa kali berganti posisi bergerak-gerak tak enak diam.
Belum juga pikirannya yang masih mengingat seputar ciumannya dan Dewa sirna, secara spontan lonceng pada perutnya berbunyi.
"Kenapa harus lapar sekarang? ini masih di rumah orang," gerutu Harmoni memejamkan matanya mengisyaratkan akan penyesalan yang teramat dalam.
Harmoni masih terus mencoba menahan rasa lapar tersebut. Gadis itu masih tetap berbaring di sofa milik Dewa.
Setelah ia mencoba menahan beberapa menit, akhirnya batas kesabaran laparnya sudah tak dapat ia bendung lagi.
Kaki kanan Harmoni turun lebih dulu menapak lantai ruangan tersebut, kemudian kaki kiri gadis itu menyusul menapaki lantai kamar Dewa.
Sebelum kedua kaki Harmoni melangkah menuju lantai bawah, gadis itu mengamati lebih dulu kedua kakinya yang nampak polos tanpa alas kaki.
Indera penglihatan Harmoni mengitari seisi ruangan tersebut, mencari keberadaan alas kakinya namun, ia tak melihat secerca harapan apapun di kamar tersebut.
"Apa mungkin dia membuangnya?" terka Harmoni yang mulai berpikir negatif thinking kepada Dewa.
Karena tak menemukan apapun, akhirnya Harmoni mengukuhkan niatnya untuk berjalan dengan kaki tanpa alas dan ia segera melangkah menuju ke arah lantai bawah rumah Dewa.
Gadis itu perlahan membuka gagang pintu kamar tersebut dan ia langsung dapat melihat ruangan yang berada tepat di bawahnya dengan dekorasi kental akan sentuhan klasik.
Harmoni berjalan menuju ke arah anak tangga rumah itu.
Meskipun Harmoni hanya sekali pernah berkunjung namun, gadis itu sudah dapat menghapal di mana letak dapur rumah Dewa berada.
Saat telapak kaki Harmoni sudah berada di dekat ruang makan, indera penciuman gadis itu mulai beraksi.
Wangi khas akan tumisan bawang bombay menyeruak dalam rongga hidungnya dan dengan sedikit terlena, Harmoni lebih mempercepat langkah kakinya, agar ia dapat melihat siapa gerangan orang yang sudah menyebar aroma wangi tumisan seenak ini.
Saat tubuh Harmoni sudah berada tepat di pintu transparan dapur milik Dewa, tubuh gadis itu sedikit tercekat melihat bayangan seorang pria dengan apron yang masih menempel pada tubuhnya.
Pria itu dengan lincahnya mengayunkan teflon yang berisi beberapa bumbu masakan yang ditumis dan dengan lihai, pria itu menambahkan beberapa bumbu halus lainnya menggunakan tangan sebagai takarannya.
Harmoni sangat tahu postur tubuh pria itu, dia pasti Dewa karena hanya pria tersebut yang berada di rumah ini jadi, siapa lagi, jika bukan pemilik rumah ini.
Harmoni berkali-kali menepuk kedua pipi empuknya karena ia seharusnya sudah bisa menebak, jika pria yang berada di dalam dapur itu adalah Dewa.
"Kenapa masih diam saja di situ? kau tak ingin masuk untuk membantuku?" tanya Dewa yang masih bergelut dengan pekerjaannya.
Wajah Harmoni menunduk menyembunyikan rasa penyesalannya.
Seharusnya ia tahu dari awal, jika pria itu sudah pasti mengetahui keberadaannya karena Dewa bukan manusia biasa seperti dirinya, melainkan pria itu adalah makhluk yang berasal dari planet lain dan manusia bumi biasa menyebutnya dengan alien, tapi alien satu ini, alien yang sangat tampan.
Dengan rasa penuh akan keterpaksaan, akhirnya Harmoni memberanikan diri mendorong pintu transparan dapur tersebut dengan sangat berat hati.
Langkah kaki gadis itu juga terbilang terasa sangat berat karena ia tak ingin masuk ke dalam dapur tersebut, apalagi ia harus berlama-lama berada dalam satu ruangan bersama dengan Dewa, pria yang baru saja mencuri ciuman pertamanya.
Harmoni saat ini berada tepat di belakang tubuh Dewa dan gadis itu tak ada niatan untuk lebih dekat lagi dengan pria tersebut.
"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Harmoni dengan suara nada datarnya.
"Kemarilah!" pinta Dewa pada gadis itu.
"Katakan saja padaku, apa yang bisa aku bantu, aku akan segera melakukannya," tutur Harmoni kembali' yang tak mau mengindahkan permintaan Dewa.
"Aku memintamu untuk kemari," jelas Dewa pada gadis itu.
Wajah Harmoni benar-benar kesal karena itu bukan permintaan sebuah bantuan padanya, melainkan Dewa sengaja ingin berdekatan dengannya.
"Kau bukan memintaku untuk membantumu jadi, aku tidak akan menuruti ucapanmu," tolak Harmoni mentah-mentah.
Setelah Dewa memasukkan semua brokoli ke dalam teflon berukuran sedang tersebut, akhirnya pria itu menoleh ke arah Harmoni dengan kedua mata yang menyipit menatap ke arah gadis tersebut.
"Kau sendiri yang bertanya padaku ,apa ada yang bisa kau bantu dan aku memanggilmu untuk mendekat ke arahku, tapi kau menolaknya jadi, dari awal kau memang tidak ada niatan untuk membantuku, 'kan?" terka Dewa sengaja memancing emosi gadis itu.
"Bukannya aku tidak mau membantumu, tapi permintaanmu itu yang aneh-aneh! dikatakan membentuk itu, jika kau memintaku untuk mengupas bawang, mencuci sayuran, atau menumis sesuatu, itu baru bisa dikatakan membantu, tapi jika kau memintaku untuk mendekat ke arahmu, aku akan menolaknya," jelas Harmoni tanpa berbelit-belit.
Senyum simpul Dewa ditarik dari bibir tampannya.
Pria itu mendekat satu langkah ke arah Harmoni dan gadis tersebut mundur satu langkah menjauhi Dewa.
"Mau apa kau?" tanya Harmoni yang sudah siap dengan ancang-ancangnya, jika pria itu berani berbuat hal tak sewajarnya seperti tadi.
"Aku tidak akan melakukan apapun, aku hanya ingin memberitahumu," sahut Dewa penuh arti.
"Memberitahu apa? cepat katakan! tidak usah bertele-tele dan jangan sekali-kali kau berani mendekat lagi ke arahku," ancam Harmoni yang tak ingin kejadian di dalam kamar Dewa terulang kembali.
Pria itu hanya bisa tersenyum simpul sembari mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan pada Harmoni.
"Aku memintamu untuk mendekat ke arahku bukan untuk mengambil ciuman keduamu, melainkan, agar kau membantuku untuk mengambil gula yang berada di seberang sana," tunjuk Dewa pada meja bar di mana letak gula itu berada.
Harmoni langsung menoleh ke arah meja bar, di mana letak wadah gula itu berada dan seketika wajah gadis itu bersemu merah karena apa yang ia pikirkan sungguh terlalu jauh.
Melihat perubahan rona wajah gadis tersebut, Dewa hanya bisa cekikikan menggoda Harmoni dan si empunya wajah menatap tajam ke arah Dewa.
"Kenapa kau tertawa? ada yang lucu? dasar pria aneh," cecar Harmoni langsung berjalan ke arah meja bar tersebut dengan langkah kaki yang cukup cepat, agar gadis itu bisa kabur dari hadapan Dewa.
"Seharusnya dari awal aku tidak masuk dalam dapur ini," gerutu Harmoni sembari mengambil wadah gula yang entah sejak kapan sudah berpindah tempat di meja bar.
Saat wadah gula itu sudah berada di tangan Harmoni, gadis itu berbalik menatap ke arah Dewa. " apa kau masih membutuhkan ini?" tanya Harmoni sedikit memancing emosi pria itu.
"Tentu saja aku masih butuh, jika aku tak butuh, untuk apa aku memintamu mengambilnya?" skakmat Dewa membuat kedua bola mata Harmoni berputar jengah.
Dengan gerakan lesu, akhirnya gadis itu berjalan ke arah Dewa dan pria tersebut tersenyum penuh akan kemenangan karena ia berhasil memperdaya Harmoni untuk mengambil wadah gula yang berada di meja bar.
Sebenarnya awal mula wadah gula tersebut berpindah tempat, itu merupakan ulah Dewa yang sengaja menjahili Harmoni karena gadis itu memang suka sekali merajuk dan entah mengapa, Dewa sangat suka dengan raut wajah Harmoni saat gadis tersebut tengah memasang wajah super duper kesalnya.
"Ini gulanya," ujar Harmoni sembari mengulurkan wadah gula tersebut pada Dewa.
Dengan senang hati, pria itu menerima gula tersebut diiringi senyuman manisnya.
"Tidak perlu tersenyum seperti itu! senyummu penuh tipu muslihat," tuduh Harmoni melihat senyuman aneh yang terukir pada bibir Dewa.
"Terserah kau saja, yang jelas aku mengucapkan terima kasih padamu," tutur Dewa yang tak menghiraukan ucapan Harmoni.
Gadis itu merasa aneh dengan sikap Dewa hari ini, pasalnya pria itu sebelumnya tak pernah seceria ini karena menurut Harmoni, gadis itu menangkap sinyal aneh pada pria tersebut karena sifat asli pria itu benar-benar sangat dingin.
"Jangan menatapku seperti itu, nanti kau bisa jatuh cinta padaku," goda Dewa yang sebenarnya mulai merasa akrab dengan Harmoni.
"Jangan harap," tolak Harmoni spontan.
Dewa hanya tersenyum kecil sembari menarik lengan gadis itu, agar berada di sampingnya.
"Eh, apa-apaan ini," protes Harmoni karena Dewa tanpa aba-aba menarik tangannya.
"Kau yang memasak telur ceplok saja, aku bagian sayurnya," pinta Dewa pada gadis itu.
"Apa? telur ceplok? tak ada bahan lain memangnya?" tanya Harmoni tak habis pikir.
"Tidak ada, karena asistenku masih belum menyiapkan semua bahan-bahan makanan di kulkas," sahut Dewa sembari mengaduk brokoli buatannya.
"Untuk apa kau masih bergantung padanya? bukankah kau memiliki kekuatan ajaib yang bisa memunculkan apapun yang kau inginkan?" celoteh Harmoni masih enggan menggoreng telur ceploknya.
"Aku sekarang ini hidup di bumi, bukan di planet Amoora jadi, aku sebisa mungkin ingin beradaptasi dengan kehidupan di planetmu jadi, jangan terlalu banyak protes, lakukan saja apa yang aku minta," tutur Dewa pada Harmoni dan gadis itu hanya memajukan bibirnya pertanda ia kesal pada Dewa.
Bagi Dewa, kekesalan pada Harmoni merupakan hiburan yang cukup membuat moodnya kembali dan entah mengapa, ia merasa senang menggoda gadis itu.
Sifat asli Dewa sebenarnya memang pria yang ramah, jika pria itu sudah berteman dekat dengan seseorang namun, jika ia masih belum terlalu dekat, maka Dewa akan mempertontonkan sifat dinginnya terhadap orang yang baru pertama ia kenal.