Mona saat ini sudah kembali berbaring di atas tempat tidurnya dengan wajah yang masih sedikit pucat karena pengaruh sihir dari iblis kalajengking itu yang masih belum seutuhnya hilang dari tubuh Mona.
"Aku akan membuatkanmu ramuan," pamit Hicob langsung beranjak dari kamar Mona berjalan menuju arah pintu keluar ruangan itu.
Mona hanya melihat ke arah Hicob dengan tatapan sayu tak bertenaga untuk menolak bantuan dari pria itu karena semua uratnya saat ini serasa sudah tak berada di tempatnya.
Saat Hicob sudah berada di luar pintu kamar Mona, Hicob hendak melakukan teleportasi, agar ia lebih cepat sampai ke rumahnya, lebih tepatnya ke rumah Dewa karena ruangan penelitian pria berkacamata itu berada di rumah Dewa.
Saat kedua kelopak matanya sudah dalam posisi tertutup rapat, ia merasa ada seseorang yang memperhatikan dirinya.
Secepat kilat, kedua mata elang itu langsung menyorot mangsa yang berada dalam jangkauan sensoriknya.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hicob pada perempuan yang menjabat sebagai kepala pelayan rumah Harmoni itu.
Kepala pelayan itu hanya menggelengkan kepalanya, seharusnya ia yang mengatakan hal itu pada pria berkacamata yang saat ini tengah bersikap aneh.
"Jika memang tak ada keperluan lain, apakah Anda bisa segera pergi dari sini? ada sesuatu hal yang harus saya benahi di daun pintu kamar Nona Mona," kilah Hicob yang tersenyum tampan ke arah kepala pelayan itu.
Kepala pelayan itu masih diam menatap ke arah daun pintu kamar Mona dan pintu itu nampak tak terjadi apa-apa.
"Jangan perhatikan hal yang tak ada hubungannya dengan Anda," ingatkan Hicob pada kepala pelayan rumah itu.
Bagai sebuah hipnotis bagi kepala pelayan itu, perlahan langkah kakinya berputar haluan menuju arah lain, agar proses teleportasi Hicob tak diketahui oleh siapapun.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Hicob segera menghilang dari tempatnya.
Dewa masih menunggu Harmoni di dalam kamarnya karena pria itu tak masuk melalui pintu pada umumnya.
Jika pintu normal bagi para tamu yang datang adalah pintu utama namun, berbeda dengan Dewa, pintu yang ia lewati tadi malam adalah pintu darurat alias jendela kamar Harmoni.
Pria itu masih diam memperhatikan tiap sudut ruangan kamar Harmoni, ingin memastikan, jika tak ada hal yang mempengaruhi ruangan itu.
"Setidaknya para iblis itu tak dapat menembus benteng pertahanan yang aku buat," gumam Dewa dengan tangan yang ia lipat dan bahunya bersandar pada sandaran sofa ruangan tersebut.
Ceklek
Suara pintu kamar mandi terbuka dan beruntungnya gadis itu mengenakan baju mandinya jadi, Harmoni tak perlu menutupi tubuhnya dengan susah payah karena ia sudah memperkirakan, jika ada Dewa, ia tak terlalu malu dan benar saja, Dewa masih berada di dalam kamarnya.
Arah tatapan mata Dewa tertuju ke arah Harmoni.
"Jaga mata! jangan berkeliaran kemana-mana," nyinyir Harmoni dengan nada ketusnya.
Gadis itu dengan santainya keluar dari kamar mandi tanpa memikirkan adanya Dewa di sofa kamarnya.
Langkah kaki Harmoni begitu santai seperti tak terjadi apa-apa dan seperti tak ada orang lain selain dirinya di kamar itu.
Kedua tangan Harmoni sibuk mengusap rambutnya dengan handuk, agar rambut itu lebih cepat kering tanpa terlalu banyak air, agar lebih mudah dikeringkan dengan hair dryer.
Langkah Harmoni tertuju ke arah kaca rias, setelah gadis itu sudah berada tepat di hadapan kaca rias berukuran cukup besar, Harmoni segera mendudukkan bokongnya di kursi kaca rias tersebut.
Harmoni terus melakukan gerakan berulang pada rambutnya, agar kandungan air yang berada di rambut itu segera enyah.
Jari lentik Harmoni bergerak menarik laci meja rias untuk mengambil alat pengering rambut miliknya.
Dewa yang sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh Harmoni hanya diam menjadi penonton karena pria itu tahu, jika Harmoni akan melakukan proses pengeringan rambut.
"Jangan selalu memperhatikan aku, nanti jatuh cinta baru tahu rasa," ledek Harmoni pada pria yang berasal dari planet lain itu.
Hanya senyum yang Dewa haturkan pada gadis itu karena pikiran Harmoni sepertinya terlalu jauh.
"Kenapa tersenyum? sudah jatuh cinta, ya?" tanya Harmoni dengan tangan yang masih sibuk bergerak melakukan proses pengeringan pada rambutnya.
"Pikiranmu terlalu sempit," sahut Dewa yang tak mau ambil pusing dengan ucapan Harmoni.
"Mengaku saja, kau sedari tadi memperhatikan aku, 'kan? jadi, kau tak bisa mengelak dari ucapanku," tuduh Harmoni lagi.
Dewa hanya menundukkan kepalanya sembari menggelengkan kepala karena ucapan Harmoni yang terlalu frontal.
"Kenapa kau bisa berada di sini? jangan bilang, jika kau ...."
"Ada iblis di sekitar rumahmu ini," potong Dewa atas ucapan Harmoni.
Gadis cantik dengan rambut panjang yang sedang sibuk mengurus rambutnya, tiba-tiba langsung berbalik ke arah Dewa dengan tatapan wajah terkejut.
"Iblis? ap-apa kau yakin?" tanya Harmoni dengan suara sedikit tergagap karena ia merasa cemas dengan keberadaan iblis tersebut.
"Untuk apa aku berbohong, seharusnya aku tadi malam membangunkan dirimu, agar kau tahu, jika kau sudah akan sedikit mendapatkan sentuhan kecil dari mereka yang mengincar dirimu," jelas Dewa pada Harmoni.
Harmoni melihat ke arah tubuhnya dan membayangkan, jika tubuh itu di porak-poranda oleh iblis dengan kekuatan luar biasa dan Harmoni sudah tahu bagaimana kekuatan iblis itu.
"Apa mereka masih ada di sekitar sini?" tanya Harmoni yang menghentikan gerakan tangannya mengeringkan rambutnya.
"Masih!"
Tubuh Harmoni menegang, kala sahutan dari mulut Dewa tak selarang dengan perkiraannya.
"Jadi ... mereka masih ada di sini?" tanya Harmoni ingin memastikan kembali.
"Ya!"
"Ba-banyak atau ...."
"Sangat banyak karena mereka tertarik dengan kristal yang ada pada dirimu itu," jelas Dewa membuat buat tubuh Harmoni lemas serasa ingin pingsan.
Gadis itu menatap ke arah Dewa dan memantapkan niatnya untuk mendekati pria itu.
Langkah demi langkah terus Harmoni gerakkan di setiap jengkal kakinya untuk mendekat ke arah Dewa.
Saat sudah berada tepat di hadapan Dewa, Harmoni masih diam berdiri di depan pria bersuhu dingin dan bermata safir itu.
Arah tatapan mata Dewa tertuju pada Harmoni. "Apa?" tanya Dewa dengan raut wajah datarnya.
Bukannya menjawab, kedua tangan Harmoni justru menyentuh baju mandinya seakan-akan gadis itu akan membuka baju tersebut di hadapan Dewa namun, perkiraan Dewa salah total.
Kedua tangan Harmoni justru menyatu membentuk sebuah permohonan pada Dewa dengan raut wajah yang melasnya.
"Ambil kristal ini," pinta Harmoni pada pria itu.
Dewa masih tak menanggapi permintaan Harmoni, pria itu hanya menatap penuh tanya ke arah Harmoni.
Bukankah Dewa sudah memberitahu, jika ia tak dapat mengambil kristal miliknya, jika Harmoni masih dalam keadaan bahaya.
"Kenapa diam? ambil kristal ini," tunjuk Harmoni pada bandul kalung miliknya yang setia menggantung di leher gadis itu.
Dewa hanya memejamkan matanya karena ia sudah merasa lelah memberitahu Harmoni perihal kristal itu yang tak dapat seenaknya ia ambil, jika pemilik kedua dari kristal tersebut belum terselesaikan urusannya.
"Bukankah aku sudah pernah bilang dan pernah mencobanya, untuk mengambil kristal itu darimu, tapi apa? semuanya sia-sia, bukan? jika kau sudah tahu hal itu, kenapa kau masih ...."
Harmoni memejamkan matanya frustrasi sembari berteriak pada Dewa, "Aku tak mau hidupku semakin rumit! apa kau paham!"
Mata gadis itu perlahan mulai memerah menahan tangisannya yang hampir pecah di hadapan Dewa.
"Aku paham, tapi mau bagaimana lagi, takdir sudah mengatakan seperti itu, apa aku harus menyalahi takdir?" tanya balik Dewa pada CEO cantik tersebut.
Mata Harmoni semakin memerah karena rasa kesal dan ketidak terimaan dirinya terhadap kenyataan yang ada, membuat air mata gadis itu sebentar lagi, pasti akan jebol.
"Kenapa harus aku! kenapa tak yang lain saja! kenapa takdir harus memilih gadis yang sudah jelas-jelas di setiap harinya berada dalam jurang kemati ...."
Dewa langsung memeluk tubuh Harmoni tanpa pamit.
Pria itu mendekap tubuh CEO cantik tersebut dengan sangat erat untuk menetralkan amarah dalam diri Harmoni yang semakin berkobar.
"Jangan pernah menyalahkan takdir karena takdir tak akan pernah salah memilih orang, takdir lebih tahu apa yang baik untuk orang itu," jelas Dewa mengusap rambut panjang Harmoni yang masih setengah kering.
Gadis itu tak melawan ataupun menolak pelukan hangat Dewa.
Harmonisasi justru merasa dirinya semakin tenang berada di dekapan pria bersuhu dingin tersebut.
"Aku takut," gumam Harmoni dengan suara setengah berbisik, bahkan hampir tak terdengar oleh telinga Dewa namun, kemampuan Dewa yang lebih dari manusia bumi lainnya, membuat ia mendengar dengan sangat jelas perkataan Harmoni.
"Takut? apa yang kau takutkan? bukankah aku ada di sini? sebagai pelindungmu?" tanya Dewa yang masih ingin menenangkan pikiran gadis itu.
"Saat ini kau masih bersamaku, bukankah suatu saat nanti, kau juga akan pergi, kembali ke tempat asalmu dan menjalani kehidupan bersama perem ...."
Entah mengapa, mulut Harmoni terasa tercekat kala ia ingin mengucapkan perihal pendamping Dewa kelak.
Dewa sedikit mendorong tubuh Harmoni dan melihat wajah gadis itu yang kini sudah berada di hadapannya.
"Aku tidak akan meninggalkanmu," tutur Dewa pada gadis itu.
Harmoni hanya membalas tatapan Dewa dengan raut wajah datar.
"Kau tak perlu berbohong padaku, bukankah kau pernah berkata, setelah kristal ini kembali padamu, kau akan meninggalkan bumi dan ...."
"Lupakan perkataanku, jangan pernah pikirkan hal itu, jika memang kristal ini tak bisa aku dapatkan, anggap saja kristal ini sebagai pengganti diriku untuk menjagamu karena ...."
Ucapan Dewa seketika terhenti kala pria itu kembali mencerna tentang apa yang akan ia informasikan pada Harmoni.
"Karena apa?" tanya Harmoni yang sudah tak sabar ingin mengetahui kelanjutan dari kalimat Dewa.
"Karena aku juga ... akan melanjutkan hidupku di sana, membina rumah tangga, sama seperti manusia bumi lainnya, planet kami juga akan memperbanyak keturunan dengan sebuah ikatan pernikahan jadi, ...."
"Jadi aku harus melupakan semuanya, menganggap dirimu tak pernah ada di dalam hidupku, menanggap kau hanya sebuah mimpi yang singgah kapan saja, menganggap semua ilusi semata dan aku di sini sebagai orang gilanya? hah, apa kau sungguh memiliki pemikiran sekeji itu, Tuan Dewa? apa kau tak memikirkan perasaanku?" tanya Harmoni pada calon raja planet Amoora tersebut.
"Bukan begitu, maksudku ...."
"Saat aku mulai bergantung padamu, kau akan meninggalkan aku, saat aku ingin lepas darimu, kau malah semakin dekat padaku, apakah takdir yang kau maksud seperti ini? mempermainkan hati seseorang yang sudah merasa nyaman dengan orang lain!" teriak Harmoni membuat Dewa terdiam.
Pria itu mencerna tiap kata demi kata yang dilontarkan oleh Harmoni padanya.
"Apa maksud dari perkataan gadis ini? merasa nyaman? apakah dia sudah mulai beradaptasi dengan keberadaanku?" tanya Dewa dalam hatinya.
"Masih ada kristal itu yang akan ...."
"Tidak mau!" tolak Harmoni mentah-mentah.
"Masih ada Jason yang pasti menemanimu," jelas Dewa pada Harmoni.
"Dan aku masih tidak mau!" tolak Harmoni lagi.
Suara kehebohan langsung menyapa ruangan itu karena keduanya saat ini masih sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Kenapa kau tidak mau? bukankah sama saja, diantara aku dan Jason, kami semua bisa menjagamu dengan baik," jelas Dewa kembali pada Harmoni.
"Beda, sangat berbeda dan kau tahu jawabannya, Dewa!"
Bagai tersentuh helaian kelopak bunga pada telinganya, Dewa tercengang dengan panggilan Harmoni yang memang jarang ia gunakan, yaitu memanggil namanya dengan sebutan Dewa saja, tanpa embel-embel Tuan atau lainnya.
"Apa perbedaannya?" tanya Dewa ingin tahu dari mulut Harmoni secara langsung.
Gadis itu masih diam tak ingin menjawab pertanyaan dari mulut Dewa karena apa yang akan ia katakan cukup sensitif untuknya.
"Kau diam, itu artinya kau hanya mengada-ada," timpal Dewa kembali yang masih mendesak Harmoni, agar mau mengatakan perbedaan dirinya dan Jason.
Harmoni menatap ke arah Dewa dengan tatapan tajam namun, wajah gadis itu sudah memerah menahan rasa malu yang teramat sangat.
"Haruskah aku memberitahunya? tapi, aku malu," pikir Harmoni yang masih ragu menyampaikan alasannya pada Dewa.