Harmoni sudah selesai mengoles krim keju pada sarapan roti yang akan ia bawa ke kantornya.
"Ayo jalan!" Harmoni langsung berjalan mendahului Dewa dengan tangan kiri ia angkat untuk melihat jam sudah menunjukkan pukul berapa saat ini.
"Masih ada waktu 15 menit lagi," gumam gadis itu.
Dewa masih mengunyah makanan yang berada di dalam mulutnya.
"Apa kau ingin cepat bertemu dengan pria itu," celetuk Dewa yang mengikuti Harmoni dari belakang.
"Aku hanya ingin bersikap profesional, bukan karena kami dekat atau aku ingin bertemu dengannya," bantah Harmoni sembari mengigit roti isi krim keju buatannya.
Dewa hanya mengangkat kedua bahunya acuh, ia masih belum percaya dengan apa yang dikatakan oleh Harmoni padanya.
Saat sudah berada di depan mobil Dewa, Harmoni menatap ke arah pria bermata biru tersebut.
"Sejak kapan kau membawa mobil? bukankah ...."
Harmoni seketika langsung menghentikan ucapannya, apa yang di katakan oleh Harmoni ternyata sebuah pertanyaan yang tak patut dijawab oleh Dewa karena jawaban dari pertanyaan Harmoni itu sudah sangat jelas.
"Maaf, aku lupa, jika kau bukan manusia biasa, melainkan Alien," ledek Harmoni tersenyum manis pada Dewa sembari mengigit roti yang berada di tangannya.
Karena posisi mereka yang masih berdiri sejajar, membuat Dewa dengan leluasa melakukan niat yang ada dalam otaknya.
Pria itu melihat ke arah sepotong kecil roti yang dibuat oleh Harmoni.
"Buka mulutmu!" pinta Dewa pada Harmoni.
"Untuk apa?" tanya gadis itu yang tak mengerti maksud Dewa meminta dirinya untuk membuka mulut.
"Buka saja," pinta Dewa kembali.
"Tidak mau! aku masih ...."
Dewa langsung menarik pinggang Harmoni ke dalam pelukannya sembari berbisik di telinga gadis itu.
"Buka mulutmu, Nona!"
Bagai sebuah sihir yang mempengaruhi pikiran Harmoni, gadis itu membuka mulutnya dan beruntungnya, makanan yang berada di dalam mulutnya sudah habis namun, masih tinggal setengah potong roti yang ada dalam genggaman tangannya.
Dewa dengan santai memasukkan sepotong roti berukuran kecil miliknya yang masih tersisa ke dalam mulut Harmoni, agar gadis itu tak banyak bicara.
Karena kesadaran Harmoni masih tak sepenuhnya masuk dalam pengaruh Dewa, saat sepotong roti itu masuk ke dalam mulutnya, bukannya mengunyah, Harmoni justru mengapitnya di bibir gadis itu, agar roti tersebut tak masuk ke dalam mulutnya.
"Kenapa tak di kunyah?" tanya Dewa masih dengan posisi yang sama dan Harmoni hanya menggelengkan kepalanya tak merespon dengan suara karena bibirnya masih dalam keadaan mengapit roti isi pasta cokelat milik Dewa.
"Setidaknya kau tak banyak bicara dan itu lebih bagus," tutur Dewa hendak melepaskan belitan tangannya pada pinggang ramping Harmoni namun, tangan lentik gadis itu malah menahan kemeja Dewa karena ia tak bisa melepaskan roti itu dari mulutnya menggunakan tangannya sendiri.
"Kenapa?" tanya Dewa pura-pura tak tahu apa-apa.
Harmoni menunjuk roti yang ia apit di bibirnya menggunakan kedua bola matanya memberikan isyarat.
Dewa melirik ke arah bibir Harmoni dan dengan sendirinya, jakun Dewa bergerak naik turun seperti rollercoaster.
"Aku tak akan mengambilnya, kau terlalu cerewet, lebih baik kau berada dalam keadaan seperti ini saja, agar perjalanan kita aman tentram dan damai," tolak Dewa mentah-mentah atas permintaan Harmoni.
Karena sudah tak tahan, akhirnya gadis itu mendekatkan tubuhnya sendiri pada Dewa dengan wajah yang juga ikut mendekatz terutama bibir mereka berdua.
Bukan hanya itu yang dilakukan oleh Harmoni, gadis itu juga menempelkan potongan roti yang diapit oleh bibir atas dan bawahnya pada bibir Dewa, agar pria itu mau memakannya.
Dewa masih dalam moder terkejut dengan tindakan yang dilakukan oleh Harmoni.
Mata keduanya saling tatap satu sama lain dengan arah tatapan yang sama-sama turun ke arah bibir keduanya yang sudah sama-sama mengapit potongan roti tersebut.
"Kau yang menginginkannya, jangan salahkan aku, jika aku melakukan semuanya," pikir Dewa dalam hatinya.
Dengan gerakan pelan, tapi pasti, bibir Dewa mulai terbuka dan mengigit bagian roti yang disodorkan oleh Harmoni padanya.
Happp
Satu gigitan dari Dewa mampu membuat posisi bibir keduanya berubah.
Dua benda kenyal itu sudah saling menempel satu sama lain dengan bola mata Harmoni yang sudah hampir keluar karena ia merasakan bibir Dewa dengan sangat jelas.
Gadis itu mundur dengan sendirinya sembari menutup mulutnya tanpa ingin membukanya.
Sementara Dewa hanya asyik mengunyah makanan yang sudah ia ambil dari mulut Harmoni.
"Kenapa?" tanya Dewa pura-pura polos di hadapan Harmoni.
Gadis itu hanya menatap Dewa dengan tatapan tajam ingin menebas habis pria tersebut dengan kata-kata kadarnya namun, rasa malu yang ia miliki lebih besar z sehingga ia tak dapat keberanian untuk membuka tangannya yang menutupi mulutnya.
Dengan cepat, Harmoni langsung naik ke mobil Dewa dan menutup pintu mobil tersebut cukup keras.
Dewa juga ikut masuk ke dalam mobilnya dengan raut wajah tanpa rasa bersalah sedikitpun pada Harmoni.
Saat kedua sudah dalam satu ruangan yang sama, Dewa yang menyala mesin mobilnya menoleh ke arah Harmoni.
"Itu bukan salahku, kau sendiri yang menyerahkan bibirmu padaku, kucing mana yang menolak, jika diberi ikan segar di depan mata," tutur Dewa pada Harmoni dan lagi-lagi tatapan mata gadis itu langsung menukik tajam ke arah Dewa.
Dengan gerakan tak terduga, Harmoni langsung memukul lengan Dewa bertubi-tubi tanpa ada jeda karena rasa kesal gadis itu sudah membumbung tinggi.
"Rasakan! semua ini salahmu, jika kau tak memasukkannya roti itu ke dalam mulutku, aku tak akan melakukan hal itu padamu," jelas Harmoni masih menatap geram terhadap Dewa, meskipun ia sudah memukul Dewa habis-habisan dan pria itu tak ada respon apapun, Dewa lebih fokus menyetir daripada meladeni Harmoni.
"Pukul lagi saja, jika kau mau, memang bukan salahku," tutur Dewa langsung memutar alat kemudinya menuju arah kantor Harmoni.
"Buang-buang tenaga saja, yang ada kau tak merasakan apapun, semua yang ada pada dirimu mati rasa, tak ada yang bisa bangkit, semuanya belok," nyinyir Harmoni membuat Dewa langsung menghentikan mobilnya di tengah jalan karena ucapan Harmoni yang begitu mengusik dirinya.
Harmoni tertegun dengan kejadian tersebut karena Dewa tiba-tiba main berhenti di tengah jalan seperti ini, bukankah ini pelanggaran.
"Hei, apa yang kau lakukan? bagaimana, jika kita ditilang," cicit Harmoni pada Dewa dan seketika tangan Harmoni digenggam erat oleh Dewa dan kini keduanya sudah berada di dalam kantor Harmoni.
Wajah gadis itu terlihat kebingungan karena ia tiba-tiba sudah sampai di kantornya.
"Ini ... kau melakukannya teleportasi?" tanya Harmoni pada Dewa yang masih menatap tajam ke arah Harmoni.
Detak jantung Harmoni seketika bangkit karena mata safir itu mengintimidasi ke arahnya.
"Kau kenapa?" tanya Harmoni yang masih belum sadar akan kesalahan yang diucapkan oleh dirinya tadi, sudah menyinggung Dewa.
"Aku pria yang tak bisa merasakan apapun, mati rasa dan ... pria belok? apa kau ingin bukti dari kata pria lurus itu dariku saat ini juga?" tanya Dewa yang sudah habis kesabaran pada Harmoni.
Bisa-bisa Harmoni mengira, jika dirinya ini pria belok, padahal Dewa sudah setengah mati menahan gejolak yang kadang muncul karena ulah Harmoni.
"Aku tak perlu bukti," tolak Harmoni pada Dewa.
Dengan sekali sentak, tubuh gadis itu sudah berada dalam belitan tangan kekar Dewa.
"Tapi aku ingin membuktikannya padamu, agar kau berhenti mengira aku ini pria belok," bisik Dewa sedikit menjauhkan wajahnya dari wajah Harmoni karena ia kali ini akan benar-benar memulai aksinya untuk membuktikan pada Harmoni, sejantan apa seorang Dewa Abraham.
Dewa langsung menempelkan bibirnya pada bibir Harmoni tanpa ada persetujuan dari gadis itu karena hal tersebut adalah bagian dari hukuman untuk Harmoni yang sudah seenaknya menyebutkan dirinya belok, padahal godaan terus datang dari Harmoni yang selalu membuat kedua lensa matanya berubah menjadi jingga.
Harmoni berusaha mendorong tubuh Dewa namun, semuanya nampak sangat sia-sia karena Dewa bukan tandingannya dan bukan manusia biasa.
Dewa semakin mengeratkan belitan tangannya pada pinggang Harmoni dan memporak-porandakan apa saja yang ia temukan.
Harmoni yang awalnya menolak permainan Dewa, akhirnya perlahan karena kelelahan atau karena terbawa suasana, akhirnya gadis itu itu mau tak mau mulai mengikuti permainan bibir Dewa padanya.
Tubuh Dewa perlahan mulai menggiring tubuh Harmoni ke arah pintu kamar ruangan pribadi Harmoni, di mana ruangan tersebut sudah terdapat sebuah tempat tidur yang berukuran sama dengan tempat tidur rumahnya.
Kedua tangan Harmoni mulai terkalung indah di leher Dewa dan pria itu semakin melancarkan aksinya untuk membuktikan pada Harmoni siapa yang di sebut belok olehnya.
Tubuh Harmoni kini sudah jatuh di atas tempat tidur itu dan bibir keduanya juga ikut terpisah satu sama lain.
Napas Harmoni dan Dewa sama-sama terengah-engah karena aktivitas yang dilakukan oleh mereka meskipun itu masih bukan masuk dalam kategori pertempuran yang sesungguhnya karena Dewa tak ingin melewati batasnya, cukup hanya sekedar berciuman saja, jika lebih dari itu, mereka berdua harus mengikrarkan janji suci dari hadapan Tuhan.
Hidung keduanya masih menyatu tak ingin lepas.
"Apa kau masih ingin bukti lebih dari ini?" tanya Dewa pada Harmoni dan kepala gadis itu menggeleng tanda tak mau menerima tawaran Dewa padanya.
"Jangan pernah meragukan aku lagi, aku tak ingin kau selalu menganggap diriku ini belok jadi, bukti ini sudah cukup untuk meyakinkan dirimu, 'kan?" tanya Dewa pada Harmoni dan gadis itu mengangukkan kepalanya.
Dewa tersenyum manis sembari berkata, "Aku menciummu untuk yang ketiga kalinya, untuk yang ke empat kali dan seterusnya, harus juga aku yang melakukannya, tidak boleh orang lain," jelas Dewa pada Harmoni.
Wajah keduanya saling beradu tatapan.
"Apa maksud pria ini? apa ku sudah diberikan lebel, jika aku ini miliknya, tapi kami tak ada hubungan apapun," pikir Harmoni dalam hati.
"Aku tahu kau bingung dengan ucapanku, tapi apa yang aku katakan jangan kau langgar karena itu mempengaruhi emosionalku," jelas Dewa pada Harmoni.
"Bukankah kita tak ada hubungan apapun?" tanya Harmoni yang mulai memberanikan diri membuka suaranya.
"Kau masih dalam pengawasanku jadi, semua yang ada pada dirimu adalah milikku," ultimatum Dewa terhadap Harmoni.
"Aku tak ingin terikat dengan hal seperti itu, bagaimana, jika ada pria yang ingin menjalani hubungan serius denganku dan aku juga ingin melakukan dengannya, apa semua aturan yang kau buat masih berlaku?" tanya Harmoni memastikan lagi pada Dewa.
"Karena kau masih belum memiliki kekasih, anggap saja kita berpacaran," jelas Dewa membuat mulut Harmoni lagi-lagi dibuat melongo.
"Tapi kau dan aku tak ada perasaan apapun, bagaimana kita bisa di sebut berpacaran," elak Harmoni lagi yang memang keduanya tak memiliki hubungan keterikatan apapun, kecuali kristal biru milik Dewa yang menjadi alat penyatu keduanya.
"Anggap saja kita berpacaran dan hal itu sudah cukup," jelas Dewa kembali pada Harmoni.
"Tapi ...."
"Aku tak suka dibantah, Nona!"
Suara Dewa semakin serak karena posisi mereka saat ini masih tumpang tindih belum dalam posisi tegak.
"Jadi kita ...."
"Ya, kita berpacaran, sampai kristal itu lepas dari dirimu," ujar Dewa yakin.
Harmoni masih diam memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada keduanya.
"Ini hanya status sementara, bukan?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Ya," sahut Dewa singkat.
"Jadi, cukup kita berdua yang tahu?" tanya Harmoni lagi.
"Ya!"
"Bagaimana ... jika suatu saat nanti salah satu dari kita akan benar-benar jatuh cinta, bukan hanya sekedar sebatas sebuah perjanjian saja?" tanya Harmoni pada Dewa.
Pria itu tersenyum sembari mengusap lembut rambut Harmoni.
"Aku juga memikirkan hal itu, tapi, jika memang hal itu terjadi, aku harus bisa menerimanya, lagipula kita berdua sama-sama tak terikat dengan hubungan apapun dengan orang lain dan aku akan memperlakukan dirimu selayaknya pasanganku yang sesungguhnya," jelas Dewa pada Harmoni.
"Tapi ...."
"Tak ada kata tapi, intinya, sekarang kita berdua jalani status baru ini selama kristal itu masih berada padamu," pinta Dewa pada Harmoni menatap kedua manik mata gadis itu dengan sungguh-sungguh.
Harmoni masih diam memikirkan jawaban apa yang akan ia berikan pada Dewa, menerima atau tidak.
"Kau tak perlu cemas, aku tak akan melewati batasanku, jika kau lebih dulu bertemu dengan pria idamanmu, kau bisa bersama dengannya, aku yang akan mengalah," jelas Dewa pada Harmoni.
"Apa kau yakin?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Sepuluh ribu persen yakin, seyakin-yakinnya," sahut Dewa mantap tanpa ada guratan kebohongan di sana.
"Baiklah, aku mau melakukan hal itu, tapi hanya sebatas pacaran semu saja karena kita tak ada perasaan apapun," ingatkan Harmoni pada Dewa.
"Pastinya," sahut Dewa mengerlingkan sebelah matanya ke arah Harmoni.
"Jangan genit, aku tidak suka," tampik Harmoni membuat tawa kecil pada diri Dewa terdengar.
Dewa akhirnya bangun dari posisi tadi dan duduk di atas kasur milik Harmoni.
"Jangan terlalu dekat dengan Jason!"
Suara bariton Dewa membuat Harmoni langsung bangun dan melihat ke arah pria itu dengan tatapan penuh selidik.
"Bukankah ini masuk hari pertama kita memulai pacaran semu ini? tapi kenapa dia sudah seperti ini?" tanya Harmoni dalam hatinya.
Gadis itu nampaknya masih belum sadar, jika ia dan Dewa sudaha ada benih rasa sayang satu sama lain namun, benih-benih itu harus terus di sirami dan di pupuk dengan baik, yaitu dengan rasa sayang dari lawan jenis yang menyayangi kita.