Setelah selesai makan, Dewa meletakkan piring itu tepat di rerumputan.
"Kenapa diletakkan di situ?" protes Harmoni yang langsung membuat Dewa menatap ke arahnya dan pria itu hanya bisa tersenyum menanggapi celotehan gadis yang memang sudah ia cap pemarah dan sedikit keras kepala.
"Kenapa kau selalu marah-marah, sih! apa kau tak takut lekas menua," ejek Dewa hanya bisa geleng-geleng kepala menanggapi tingkah konyol Harmoni.
"Biar saja cepat tua, lagi pula ...."
"Ah, aku lupa, jika kau sudah memiliki seorang pria yang bersedia menerima dirimu apa adanya, baik kau dalam keadaan masih muda atau sudah menua," tutur Dewa menjelaskan pada Harmoni.
Gadis itu hanya memutar bola matanya jengah mendengar ocehan dari mulut Dewa yang tak berfaedah baginya.
Nyatanya dia dan Jason tak ada hubungan apapun, hanya Dewa yang menganggap dirinya dan Jason memiliki hubungan, padahal mereka hanya murni menjalin kerjasama biasa, tak lebih dari itu.
"Terserah kau saja! aku mau mandi," malas Harmoni pada pria itu karena ia sudah muak mendengar kata-kata dari mulut Dewa yang menyangkut pautkan hubungan dirinya dan Jason.
Gadis itu hendak berdiri namun, tangannya di tahan oleh Dewa.
"Kenapa lagi? mau meledek apa lagi?" tanya Harmoni dengan wajah sudah penuh akan kepasrahan.
"Mau mandi di sumber mata air?" tawar Dewa dengan senyum yang terukir begitu manis.
Kedua mata Harmoni menyipit menatap ke arah Dewa dengan tatapan penuh rasa akan kecurigaan.
"Kenapa kau akhir-akhir ini lebih sering tersenyum? biasanya wajahmu datar bagai papan tulis," ledek Harmoni pada pria tersebut.
Lagi-lagi Dewa hanya tersenyum sembari mengusap puncak kepala Harmoni lembut.
"Aku ingin bersikap baik padamu karena kristal milikku berada di tempat yang aman dan sudah tugasku juga untuk menjagamu sampai urusanmu selesai dan pada saat itu ...."
Dewa menggantung ucapannya, ia rasanya tak sanggup mengatakan hal tersebut pada Harmoni.
Entah mengapa hatinya terasa sedikit nyeri saat ia ingin mengutarakan hal tersebut pada Harmoni.
"Ini pasti hanya perasaan yang dipengaruhi oleh bandul kalung itu, tak ada hubungannya dengan perasaanku yang sesungguhnya karena cepat atau lambat, keluarga kerajaan akan mencarikan aku jodoh," pikir Dewa masih terus membelai lembut rambut Harmoni.
"Aduh, berhenti! jangan dielus-elus seperti itu, aku merasa ingin tidur," tolak Harmoni menyingkirkan tangan Dewa dari kepalanya.
"Tapi aku suka melakukan hal itu padamu, kau seperti anak kucing, lembut dan menggemaskan," canda Dewa semakin membuat gadis itu merasa perubahan pada diri Dewa sangat berubah drastis.
"Apa pria ini salah minum sesuatu? kenapa dia begitu lembut padaku, biasanya dia dinginnya minta ampun," pikir Harmoni dalam diamnya.
Dewa berpikir dengan melakukan hal kebaikan pada Harmoni, perasaan yang ia rasakan akan cepat hilang karena ia pikir itu hanya sebuah perasaan tanggung jawab akan keselamatan gadis itu yang di sebabkan oleh kristal miliknya yang berada di tangan Harmoni saat ini.
"Bagaimana? mau mandi atau tidak?" tawar Dewa lagi.
"Tapi, aku tidak membawa baju ganti, aku tak mau meminjam bajumu yang kebesaran itu," jelas Harmoni pada Dewa.
"Urusan itu sangat gampang," ujar Dewa langsung menjentikkan jarinya.
Sekali menjentikkan jarinya, Harmoni sudah berganti baju menggunakan baju yang cukup pas body dan bawahan legging, agar ia dapat lebih leluasa saat mandi di sumber mata air pegunungan tersebut.
Rambut gadis itu juga sudah diikat cepol ke atas, agar tak mengganggu Harmoni saat gadis itu mandi.
"Ini bukan mimpi, 'kan?" tanya Harmoni pada Dewa dengan tangan Harmoni yang sudah meraba tiap bagian tubuhnya yang sudah berganti baju.
"Cubit saja tanganmu," pinta Dewa membuat gadis itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Dewa.
"Aaawwww! sakit!" seru Harmoni mengusap tangannya yang ia cubit sendiri sembari menatap ke arah Dewa dengan tatapan kesal.
"Ha-ha-ha-ha! nyata, ' kan?" ejek Dewa mengacungkan jempolnya pada Harmoni.
"Seharusnya aku tak menuruti idemu yang tak bermanfaat itu," cecar Harmoni menatap Dewa sengit.
"Kau perempuan yang pintar, seharusnya kau berpikir lebih lagi, jika ingin melakukan sesuatu," omel Dewa.
Harmoni ingin sekali mengamuk saat ini juga namun, ia tahan karena saat ini ia ingin mendinginkan pikirannya dengan cara mandi di sumber mata air pegunungan yang berada tepat di belakang rumah Dewa.
"Tahan, Harmoni! anggap saja pria ini serpihan rengginang," rapal gadis itu dalam hatinya.
"Ayo kita berangkat!" Harmoni lebih dulu mengajak Dewa untuk berangkat ke sumber mata air yang dijanjikan oleh pria itu.
"Sekarang?" tanya Dewa sengaja menggoda Harmoni, agar gadis itu bertambah kesal padanya.
"Bukan, tapi besok!" kesal Harmoni sudah berkacak pinggang di hadapan Dewa.
Dewa tersenyum sembari berjalan ke arah pinggir kanan danau tersebut.
"Ikuti aku," pinta Dewa pada Harmoni dan gadis itu menuruti semua ucapan Dewa tanpa ada penolakan.
Dewa terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju arah sumber mata air berada.
Harmoni yang tak menggunakan alas kaki dengan sigapnya mengikuti langkah kaki Dewa yang terbilang cukup cepat.
"Awas hati-hati! sebentar lagi kita akan melewati jalan bebatuan," peringatkan Dewa pada Harmoni.
"Tenang saja! aku pasti bisa melewati medan apapun, aku ini sudah tanggu, jika berhubungan dengan alam," sombong Harmoni pada Dewa.
"Jangan mengeluh, aku pegang kata-katamu," ujar Dewa tersenyum remeh.
"Ikat saja, jika memang perlu, atau mungkin kau ingin memborgolnya, terserah kau saja, yang jelas aku tak akan mengeluh," tutur Harmoni ingin meyakinkan Dewa.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya sebuah tebing cukup terjal sudah terpampang di depan mata Dewa, sementara Harmoni masih belum menyadari tebing tersebut karena gadis itu masih sibuk melihat ke arah kanan dan kirinya karena tumbuhan di pegunungan tersebut benar-benar tumbuh sangat subur.
Harmoni masih menyempatkan dirinya untuk memetik bunga edelweiss yang tumbuh di sekitar tempat itu.
"Astaga! bunga yang penuh akan sejarah dalam dunia pendakian, kenapa kau bisa berada di sini?" tanya Harmoni tersenyum manis sembari memetik bunga tersebut dan mencium aroma dari tanaman itu.
Dewa sudah menunggu Harmoni tepat di depan tebing bebatuan, di mana mereka berdua, harus menaiki tebing tersebut.
"Hei, kenapa kau masih di situ?" teriak Dewa bertanya pada Harmoni karena posisi mereka saat ini berada cukup jauh.
Harmoni melihat ke arah Dewa sembari dengan bunga edelweiss yang terselip di telinga kanannya.
"Tunggulah sebentar, ini bunga yang sangat di kagumi oleh banyak para pendaki jadi, biarlah aku menikmati keindahan bunga ini lebih lama lagi," mohon Harmoni menebar senyum manisnya pada Dewa, agar pria itu mau mengabulkan semua ucapannya.
Akhirnya Dewa memilih mengabulkan permintaan Harmoni, pria itu duduk di sebuah batu besar menunggu gadis tersebut yang masih sibuk menatap indahnya bunga edelweiss yang berada tepat di depan matanya.
"Padahal hanya bunga seperti itu saja, bagaimana, jika ia melihat bunga lotus salju yang berada di danau kerajaan? mungkin dia akan pingsan saat melihat keindahannya," terka Dewa hanya bisa tersenyum memikirkan apa yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya dengan sendirinya, Harmoni berjalan ke arah Dewa tanpa pria itu minta.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan menuju sumber mata air itu," Harmoni dengan nada suara penuh semangat 45.
Dewa hanya melihat ke arah Harmoni dengan tatapan datar, sementara gadis itu, melihat ke arah tebing dan sekitarnya untuk mencari keberadaan jalan setapak lainnya.
"Mana jalan yang akan kita tempuh selanjutnya?" tanya Harmoni pada Dewa dengan mata yang masih berkeliaran kemana-mana.
"Tebing itu," tunjuk Dewa menggunakan tangan kanannya.
Harmoni langsung menatap ke arah tebing tersebut yang cukup menjulang tinggi dengan tatanan bebatuan yang nampak terlihat cukup lembab dan licin.
"Apa kau yakin kita akan melewati jalan itu? bukankah kau bilang, medan yang akan kita lewati itu jalan bebatuan?" tanya Harmoni pada Dewa yang ingin memastikan kejelasan dari tujuan yang akan ia tempuh.
"Tentu saja itu jalan yang benar dan memang jalan itu penuh akan bebatuan, bukan?" tanya balik Dewa.
Harmoni memejamkan matanya saat ia tak benar-benar mencerna perkataan dari Dewa sebelumnya.
"Kenapa aku bisa sebodoh ini? seharusnya dari awal bertanya lebih dulu, medan bebatuan seperti apa yang dimaksud oleh pria ini? medan yang yang dia maksud pasti sangat berbeda dengan yang aku bayangkan," sesal Harmoni dalam hati yang ceroboh menilai sesuatu.
"Baiklah! kita naik sekarang?" ajak Harmoni dengan suara yang dibuat seberani mungkin, padahal dirinya ketar-ketir membayangkan ia harus naik ke atas tebing bebatuan itu.
"Bagaimanapun, jika aku terjatuh dari tebing securam itu? pasti aku akan langsung ...."
Harmoni tak berani melanjutkan pemikirannya dalam hati, membayangkan saja ia sudah cukup ngeri.
Dewa yang dapat membaca pikiran gadis itu melalui raut wajah Harmoni, akhirnya hanya bisa tersenyum penuh arti karena gadis yang berada di hadapannya saat ini pasti merasa ketakutan.
Dewa berdiri dari posisi duduknya, kemudian pria itu berjalan ke arah tebing tersebut dan menyentuh tebing itu menggunakan telapak tangannya.
Keajaiban terjadi, tebing curam lembab nan licin itu, tiba-tiba bergerak sendiri-sendiri membetuk jalan seperti sebuah tangga otomatis yang dapat dilalui oleh para pejalan kaki.
"I-ini?" tanya Harmoni terheran-heran melihat keajaiban yang tepat terjadi di depan matanya.
"Jangan banyak bicara, cepat jalan! hari akan semakin sore, kau akan kedinginan, jika terlalu lama berada di sini," ujar Dewa langsung menaiki satu demi satu tebing yang sudah menyerupai anak tangga yang pastinya sudah sangat aman di lewati dirinya dan orang lain.
Harmoni mencoba mengikuti langkah Dewa menaiki tiap anak tangga tebing tersebut dan benar saja, itu sangat nyata dan ia bisa merasakan bebatuan tadi yang bentuknya cukup curam, kini bisa ia lewati dengan sangat mudahnya.
"Ini seperti mimpi," gumam Harmoni masih melihat ke arah sekitar bawah tebing tersebut yang begitu jelas nampak semua pemandangan dari atas sana, padahal Harmoni masih menapaki setengah bagian dari tebing itu dan keindahannya sudah begitu mengagumkan, apalagi, jika ia berada di puncak teratasnya.
Harmoni benar-benar tak sabar menunggu, kira-kira kejutan apa lagi yang akan ia lihat, saat kedua telapak kakinya sudah berada di puncak tebing tersebut.
Dewa dan Harmoni terus melanjutkan perjalanan mereka menaiki satu demi satu anak tangga tebing itu.