Suasana di panti asuhan kasih bunda begitu hangat dan bahagia, kala suara canda tawa para anak-anak panti terdengar menggema di segala penjuru ruang tamu.
"Harmoni sudah berusia berapa tahun, Nak?" tanya Bunda Eva yang meletakkan secangkir teh yang sudah ia minum.
"Saya masih berusia 25 tahun, Bunda!" jelas Harmoni pada Bunda Eva.
"Wah, masih muda sekali ya, sudah cantik, mapan pula dan usianya masih sangat muda, pasti banyak pria yang mengantri," pikir Bunda Eva sembari tersenyum pada Harmoni.
Mona, Hicob, dan Dewa yang mendengarkan percakapan keduanya sedari tadi hanya bisa diam karena apa yang dipikirkan Bunda Eva, tak sama dengan apa yang dipikirkan oleh ketiga manusia yang memiliki pendapat tersendiri dalam benak mereka.
"Bukan hanya pria yang mengantri, para penjahat diluar sana juga semakin banyak yang mengincar nyawa, Nona!" pikir Mona dalam diamnya sembari memakan camilan buatan pengurus panti lainnya selain Bunda Eva.
Berbeda dengan Dewa yang tak melirik ke arah Harmoni sama sekali karena ia memutuskan untuk menjauhi gadis itu, ia tak ingin perasaannya semakin menjadi dan pada akhirnya, tak dapat terpisah dari gadis itu, sementara Harmoni, menurut pikiran Dewa, gadis itu tak mungkin tertarik dengan pria seperti dirinya yang entah dari mana asalnya.
"Saking banyaknya, mungkin hanya Jason yang ada dalam pikirannya," pikir Dewa dalam diam.
Berbeda lagi dengan Hicob yang hanya diam memperhatikan wajah Dewa dan Harmoni secara bergantian karena gelagat mereka berdua seperti sepasang kekasih yang tengah bertengkar.
"Seru sekali melihat orang yang sedang saling merajuk dan sama-sama jual mahal seperti ini," gumam Hicob dalam hati.
"Silahkan coba kuenya, Nak!" pinta Bunda Eva pada Harmoni.
Harmoni tersenyum kecil sembari berkata, "Bukannya Harmoni tak mau, Bun! saya ...."
"Jangan terlalu formal, Nak! non formal saja, agar kita lebih dekat," potong Bunda Eva atas ucapan Harmoni dan CEO cantik itu hanya menganggukkan kepalanya mengerti.
"Aku ingin makan buah saja," tutur Harmoni langsung mengambil satu buah apel dan alat pengupasnya.
"Bukankah lebih baik, jika memakan apel dengan kulitnya?" tanya Hicob pada Harmoni dan gerakan tangan gadis bermarga Sudarmanto itu akhirnya terhenti dengan arah tatapan mata tertuju pada Hicob.
"Aku tidak suka makan dengan kulitnya, apalagi buah salak, aku tambah tak suka," jelas Harmoni yang kesal dengan Hicob.
Hicob hanya tersenyum menanggapi ocehan Harmoni yang cukup sensi sedari tadi, setelah ia keluar dari supermarket.
"Apa kau sedang datang bulan?" tanya Bunda Eva yang memang sudah sedari memperhatikan Harmoni karena raut wajah gadis itu terlihat begitu kusut bagai benang.
"Aku?" tanya Harmoni pada dirinya sendiri sembari menunjuk ke arahnya.
Bunda Eva hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Harmoni.
"Tidak, Bunda! aku tak datang bulan, memangnya kenapa?" tanya Harmoni balik, masih dengan tangan yang sibuk mengupas kulit apel.
"Sepertinya kau kesal sedari tadi, Bunda melihatmu saat bersama anak-anak, barulah raut wajah kesal itu sirna, tapi saat kau sudah berbaur dengan kami, raut wajah kesal itu kembali menghampirimu, apa ada diantara kami yang membuatmu merasa tak nyaman?" tanya Bunda Eva lagi.
Harmoni melihat ke arah Bunda Eva, kemudian gadis itu mengalihkan tatapannya ke arah Dewa dengan sorot mata yang lebih tajam dari sebelumnya namun, sedetik kemudian, arah tatapan Harmoni langsung kembali fokus pada buah yang ia kupas sembari menghela napas.
"Tidak ada, mungkin aku hanya banyak pikiran saja karena besok ada rapat penting dengan klien," kilah Harmoni mencoba menutupi rasa kesalnya di hadapan Bunda Eva.
Ibu dari semua anak-anak panti itu hanya tersenyum manis sembari melihat ke arah Dewa dan Harmoni secara bergantian.
"Jika memang ada yang membuat hatimu tak tenang, coba bicarakan baik-baik dengan orang itu, jangan hanya dipendam di dalam hati, bisa bahaya, jika kau memendamnya tanpa ingin menyelesaikan masalahmu dengannya dan untuk yang bersangkutan, jika memang sudah merasa bersalah, jangan hanya diam saja, lakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan itu karena semua masalah yang timbul hanya bisa di selesaikan dengan cara saling terbuka, bukan saling diam seperti tak terjadi apa-apa," jelas Bunda Eva memberikan wejangan pada Dewa dan Harmoni secara tak langsung.
Hicob dan Mona saling tatap satu sama lain, asisten pribadi Harmoni itu tak paham, jika Bunda Eva sedang memberikan masukan untuk Dewa dan Harmoni.
Hicob hanya menggelengkan kepalanya pura-pura tak tahu, padahal ia sangat tahu siapa orang-orang yang dimaksud oleh Bunda Eva itu.
"Nah, rasakan kalian berdua, sudah tahu saling tertarik, tapi masih saja tak mau mengungkapkan satu sama lain," batin Hicob menundukkan kepalanya tersenyum secara tersembunyi.
Dewa dan Harmoni hanya diam namun, mereka berdua mencerna setiap ucapan yang dilontarkan oleh Bunda Eva.
"Apa aku harus minta maaf lebih dulu?" tanya Dewa menimang lebih dalam lagi.
Harmoni masih terus mengupas kulit apel itu, saat pikirannya melayang entah kemana, tiba-tiba ....
"Aw!"
Rintihan CEO cantik itu mengejutkan semua pasang mata yang berada di ruangan tersebut tak terkecuali para anak-anak yang sedang asyik menikmati makanan mereka.
"Kakak cantik tak apa-apa?" tanya Natalia yang nampak khawatir dengan Harmoni.
CEO cantik itu tersenyum manis ke arah Natalia dan anak-anak yang lain.
"Kakak tidak apa-apa, hanya tergores sedikit saja," elak Harmoni dengan raut wajah yang sedikit menahan rasa sakit dari goresan luka di jari telunjuknya.
Dewa melihat ke arah luka Harmoni yang sengaja di tutupi oleh gadis itu menggunakan telunjuknya yang lain namun, bukan Dewa namanya, jika dia tak bisa memastikan apa yang terjadi pada gadis yang saat ini sudah berada di dalam perlindungannya.
Dengan kekuatan tembus pandang yang ia miliki, Dewa dapat melihat luka pada jari telunjuk Harmoni sepertinya cukup dalam dan terus mengeluarkan darah segar.
Dengan sigap, Dewa segera berdiri dari sofa yang ia duduk dan berjalan ke arah Harmoni.
Pria bermata safir itu langsung berjongkok di hadapan gadis yang memiliki kristalnya.
Harmoni hanya diam tanpa ingin berkata-kata lagi, ia hanya memandangi wajah Dewa tanpa ada niatan untuk memulai topik pembicaraan lebih dulu.
Begitu pula dengan Dewa, pria itu juga tak ingin banyak bicara, ia lebih memilih memakai mode senyapnya, agar tak membuat Harmoni semakin marah atau kesal padanya.
Tanpa pamit pada pemiliknya, Dewa langsung meraih jari Harmoni yang terluka dan melihat secara langsung luka pada jari telunjuk CEO cantik tersebut.
"Hicob! cepat ambil kotak P3K!" perintah Dewa yang langsung memasukkan jari telunjuk Harmoni ke dalam mulutnya.
Harmoni nampak syok dengan apa yang dilakukan oleh Dewa.
Hal tersebut biasa dilakukan oleh sepasang kekasih namun, pada kenyataannya, mereka berdua hanya berteman saja dan pertemanan mereka saat ini juga nampak memiliki konflik yang masih belum terselesaikan.
Bukan hanya Harmoni yang terkejut dengan perbuatan Dewa, Mona yang sudah beberapa tahun bersama dengan Harmoni, dibuat melongo oleh perbuatan pria itu karena baru kali pertama ini, ada seorang pria yang menyentuh Harmoni dan atasannya itu, tak melakukan penolakan apapun, seperti pada pria lainnya.
Mona mengucek kedua matanya, memastikan apa yang ia lihat benar adanya, bukan hanya sebuah ilusi semata.
"Apa mereka memiliki hubungan yang tak aku ketahui?" tanya Mona dalam hati.
Asisten pribadi Harmoni itu lagi-lagi melakukan hal yang sama pada matanya, sampai dimana sesuatu mengejutkan dirinya, yaitu tiba-tiba ada kacamata yang bertengger di kedua matanya.
"Apa yang kau lihat itu sangat nyata, Mona! jadi jangan biarkan matamu yang baik-baik saja mengalami kesakitan karena selalu kau kucek seperti itu," bisik Hicob yang langsung duduk tepat di samping Mona, setelah ia memberikan kotak P3K pada Dewa.
Bunda Eva hanya tersenyum melihat adegan manis antara Dewa dan Harmoni.
Perempuan paruh baya itu lebih memilih beranjak dari sofa tempat duduknya karena ruang tamu saat ini bukan untuk orang seusianya.
Bunda Eva juga mengajak anak-anak lainnya menuju ke taman belakang, agar mereka tak melihat adegan romantis antara Dewa dan Harmoni.
Setelah dikira darah pada jari Harmoni sudah tak keluar lagi, Dewa mengeluarkan jari telunjuk Harmoni dari dalam mulutnya.
Pria itu melihat ke arah jari telunjuk tersebut dan segera membuka kotak P3K yang sudah berada di dekat sepatunya.
Sebenarnya Dewa bisa menyembuhkan luka Harmoni secara langsung tanpa harus repot-repot melakukan cara seperti orang-orang bumi pada umumnya namun, pria itu lebih memilih mengikuti cara manusia bumi, daripada ia harus memilih menyembuhkan dengan cara manusia planet Amoora.
Dewa menuangkan cairan yang berwarna merah yaitu Betadine untuk membersihkan berbagai macam bakteri yang mungkin menempel pada luka Harmoni.
Setelah selesai dengan Betadine, Dewa langsung mengambil kassa untuk membalut luka pada jari telunjuk Harmoni.
Dengan telaten, Dewa terus membalut luka Harmoni dan gadis itu memperhatikan apa yang dilakukan oleh Dewa padanya tanpa ada penolakan sedikitpun.
Mona dan Hicob hanya menjadi penonton keduanya karena mereka hanya anak buah jadi, tugas mereka hanya memperhatikan apa yang terjadi dan diam tanpa banyak komentar.
Setelah selesai membalut luka jari telunjuk Harmoni, Dewa menengadahkan wajahnya menatap ke arah Harmoni.
"Lain kali hati-hati, jangan terlalu ceroboh," tutur Dewa pada Harmoni.
Gadis itu masih menatap ke arah kedua lensa mata Dewa tanpa ingin mengalihkan ke arah lainnya.
"Kenapa masih membantuku? bukankah kita sedang dalam mode perang," celoteh Harmoni pada Dewa.
Pria itu tersenyum sembari mengusap lembut rambut Harmoni.
"Seberat apapun peperangan antara aku dan dirimu, kau masih berada di bawah perlindunganku," jelas Dewa menyelipkan anak rambut pada bagian belakang telinga Harmoni.
Mona yang mendengar semua percakapan itu, seperti tengah mendengar percakapan sepasang kekasih yang sedang merajuk.
"Apa mungkin Nona dan Tuan sudah ...."
Mona menggelengkan kepalanya mencoba menghapus semua perkiraan yang muncul dalam benaknya karena hal itu tak mungkin terjadi.
Orang pertama yang tahu pasti dirinya, jika Harmoni memang benar-benar menjalin hubungan spesial dengan seorang pria.
Hicob menyangga pipinya dengan tangannya.
"Apa yang kau pikirkan? apa kau berpikir mereka berdua berpacaran?" tanya Hicob menebak jalan pikiran Mona.
Mona langsung menoleh ke arah Hicob sembari berkata dengan suara berbisik, "Aku memang ada pemikiran seperti itu, tapi sepertinya pikiranku ini terlalu jauh, benar, 'kan?"
Hicob hanya menganggukkan kepalanya dengan raut wajah sangat menggemaskan di hadapan Mona membuat wajah gadis berambut pendek itu memerah karena merasa gemas pada Hicob.
Mona langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.
"Hei, kau kenapa?" tanya Hicob dengan suara yang masih berbisik pada Mona.
"Aku tidak apa-apa dan kau jauh-jauh dariku," pinta Mona pada Hicob masih dengan wajah yang ditutupi kedua telapak tangannya.
"Kenapa begitu? apa kau malu padaku atau kau ...."
"Diam saja! jangan banyak bicara, nanti pembicaraan kita bisa di dengar oleh Nona dan Tuan!" bisik Mona dengan bagian sela-sela jarinya terbuka sedikit untuk menatap ke arah Hicob
Hicob hanya menganggukkan kepalanya sembari menutup mulutnya dengan gerakan tangan seakan mulut asisten pribadi Dewa itu sudah di resleting tak akan terbuka lagi.
Dewa segera memasukkan semua peralatan yang tadi ia gunakan ke dalam wadahnya kembali.
Pria itu bergerak akan beranjak dari posisi jongkoknya namun, di tahan oleh Harmoni.
"Kenapa kau masih mau melindungiku?" tanya Harmoni pada Dewa.
Pria itu melihat ke arah Mona dan Hicob, dengan cepat, Dewa langsung mengaktifkan mode kedap suaranya, agar Mona tak dapat mendengar percakapan dirinya dan Harmoni.
Arah tatapan mata Dewa kembali fokus pada Harmoni.
"Karena bagian dari diriku masih ada padamu jadi, aku harus melindungimu entah itu perkara mudah atau sulit, semua harus aku lakukan untuk menjamin keamananmu," jelas Dewa pada Harmoni.
"Apa kau akan meninggalkan aku, jika semua misimu sudah selesai?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Ya, karena aku harus kembali ke duniaku dan kita harus menjalani hidup kita masing-masing."
Dewa masih diam sejenak, memantapkan hatinya untuk mengatakan hal serius ini pada Harmoni.
"Kau bersama dengan Jason dan aku ...."
"Bersama putri yang sudah dipilihkan oleh anggota kerajaan?" sambung Harmoni yang sudah bisa menebak lanjutan dari ucapan Dewa.
"Memang itu yang seharusnya terjadi dan ...."
"Ya, kau benar! memang itu yang seharusnya terjadi, aku harus menjalani kehidupanku sendiri dan kau juga begitu jadi, semuanya akan berjalan sesuai dengan takdir kita masing-masing, 'kan?" cerocos Harmoni pada Dewa.
Dewa menganggukkan kepalanya mengiyakan.
Harmoni tersenyum miris dengan semua kenyataan yang ia terima.
Entah mengapa, rasanya ia tak ingin membiarkan Dewa kembali ke planetnya.
Harmoni ingin pria itu berada di bumi, bersama dengannya.
"Perasaan apa ini? apa yang telah terjadi padaku? kenapa aku jadi seperti ini? apa aku sudah mulai ...."
Harmoni menundukkan kepalanya menggenggam rambutnya cukup erat.
Tangan kekar mencegah Harmoni, agar tak melanjutkan menyakiti rambutnya sendiri.
"Apa yang kau lakukan? jangan sakiti dirimu," pinta Dewa pada Harmoni.
Gadis itu menatap ke arah Dewa dengan senyum kecutnya.
"Jangan terlalu baik padaku, jangan terlalu perhatian padaku, jangan terlalu manis padaku!" teriak Harmoni pada Dewa karena ia tak ingin dugaannya atas perasaan semunya itu menjadi semakin nyata.
Hening seketika saat teriakan Harmoni terdengar di telinga Dewa namun, tidak untuk kedua asisten mereka.
"Itu sudah tugasku, bukankah kau tak suka, jika aku bersikap dingin padamu?" tanya Dewa pada Harmoni.
Perasaan Harmoni saat ini semakin campur aduk.
Ia tak ingin Dewa kembali dingin padanya namun, ia juga tak ingin Dewa berubah perhatian seperti tadi karena perasaannya juga akan terpengaruh.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, aku menganggap hal itu, jika kau ingin aku kembali dingin padamu," ujar Dewa.
"Kita jalani saja sesuai dengan takdir," tutur Harmoni langsung membuka suara.
"Maksudmu?" tanya Dewa pada Harmoni.
"Kita jalani saja proses ini, lakukan apa yang menurut hati kita itu baik, jalani semuanya sesuai dengan air mengalir," jelas Harmoni pada Dewa.
"Apa kau yakin?" tanya Dewa memastikan.
"Ya!"
"Jadi ... kita sudah resmi berdamai?" tanya Dewa pada Harmoni.
"Ya, karena aku tak ingin memperbanyak jumlah musuh, apalagi musuh dari planet lain," sindir Harmoni membuat Dewa tersenyum.
"Baiklah! mari kita lakukan janji kelingking," pinta Dewa langsung menunjukkan jari kelingkingnya.
Harmoni dengan sigap, langsung mengaitkan jari kelingkingnya pada jari milik Dewa.
"Janji kelingking, kita tak akan bertengkar lagi," ucap Harmoni dan Dewa menganggukkan kepalanya.
Sebuah tembok pelindung langsung menghilang dari panca indera Mona dan Hicob.
Para asisten mereka bisa melihat dan mendengar semua apa yang dibicarakan oleh atasan masing-masing.
Mona dan Hicob merasa aneh namun, keduanya tak mau ambil pusing, mereka sibuk dengan percakapan masing-masing tanpa ingin tahu urusan orang lain.