Bab 52

1803 Words
Hicob menunggu di hutan yang dipenuhi dengan semak belukar dan pohon-pohon besar di sekitarnya. Pria itu masih dengan sabarnya menunggu kedatangan Mona yang masih berada di tangan iblis kalajengking tersebut. "Awas saja dia berani membohongiku, akan ku pastikan buntutnya lepas dari tubuhnya karena sudah berani mengibarkan bendera perang," gumam Hicob pada dirinya sendiri sembari terus memperhatikan tiap gerak-gerik daerah itu karena hutan itu bukan masuk dalam wilayahnya, ia takut masih ada iblis lain yang menghuni tempat tersebut. "Damian memang benar-benar tak punya hati, tega berbuat seperti itu kepada perempuan yang sudah jelas-jelas tak memiliki kekuatan apapun," gumam Hicob masih menunggu kedatangan Mona yang berada di bawah tanah, tepatnya berada di istana iblis kalajengking betina itu. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Hicob dapat mendengar suara gesekan antara ranting dan daun yang gugur ke tanah dan suara tersebut menindak, jika ada seseorang yang datang ke arahnya dan suara itu perlahan semakin dekat ke arahnya. Karena Hicob merasa suara tersebut sudah hampir sampai, tangan kanan Dewa itu langsung berbalik ke arah sumber suara. Mona sudah di bawa oleh iblis kalajengking itu dengan wujud iblis tersebut menyerupai wanita cantik. "Aku menempati janjiku jadi, jangan ganggu aku dan aku juga tak akan mengusikmu," jelas iblis betina yang memang tertarik akan ketampanan seorang Hicob. "Jangan lupa, kau harus keluar dari bawah kekuasaan raja Gondalia, jangan pernah bergabung dengannya karena dia sudah berkoalisi dengan Raja Dalgon dari gurun tandus," jelas Hicob pada iblis kalajengking tersebut. "Aku ingat dan jangan sampai raja iblis tahu, jika aku gagal membunuh gadis bernama Harmoni itu," pinta iblis kalajengking tersebut. "Semuanya aman terkendali, jangan pikirkan hal itu, jika dia tahu mengenai kegagalanmu, pasti ada mata-mata di sekitar sini," ingatkan Hicob pada iblis itu. Mata iblis tersebut langsung melirik ke setiap sudut hutan yang ia tempati sebagai tempat tinggalnya bersama para kaumnya. "Sepertinya aman karena sensorku tak melacak ada mahluk lain di hutan ini selain kau dan gadis ini," tutur iblis kalajengking tersebut dengan Mona yang masih ia papah dan tertidur di bahunya. Secepat kilat, Mona saat ini sudah berada di dekapan Hicob masih dengan kondisi tak sadarkan diri karena pengaruh jurus iblis kalajengking tersebut. "Kau sangat mengkhawatirkan gadis ini, sepertinya kau sudah mulai memiliki perasaan padanya, sama halnya seperti pangeran planet Amoora yang mati-matian menjaga gadis bernama Harmoni itu, tapi sepertinya gadis itu memiliki sebuah perisai yang dapat melindungi dirinya," oceh iblis kalajengking itu yang masih ingin lebih lama berbincang dengan Hicob si tampan berkacamata dari planet Amoora. "Jangan terlalu banyak bicara, cepat pergilah, sebelum para anak buah Damian tahu, jika kau gagal melenyapkan Nona Harmoni," pinta Hicob pada iblis tersebut. Tanpa banyak bicara, akhirnya iblis itu langsung pergi meninggalkan tempat dimana Hicob masih merangkul Mona yang tak sadarkan diri. "Sangat menyusahkan sekali," gumam Hicob langsung menghilang dari tempat itu menggunakan kekuatan teleportasinya. Sementara Harmoni masih berada di dalam mobil Dewa dengan arah tatapan mata yang lurus ke depan. "Sebaiknya kita pulang saja, biarkan anak buahku yang mengurus mobilmu menggunakan truk derek, agar bisa di bawa ke bengkel," jelas Dewa langsung melajukan mobilnya menuju arah rumah Harmoni. "Apa aku yakin, jika aku yang mengalahkan iblis itu?" tanya Harmoni dalam perjalanan menuju arah rumahnya." "Tentu saja! siapa lagi, jika bukan kau," sahut Dewa membuat Harmoni menoleh ke arah Dewa, kemudian beralih ke arah bandul kalungnya. Gadis itu menyentuh bandul kalung tersebut dengan jari jempol dan telunjuknya. "Apa karena aku memiliki kristal ini?" tanya Harmoni. "Ya! sepertinya tubuhmu sudah mulai beradaptasi dengan kekuatan dari kristal itu," jelas Dewa masih dengan tangan mengatur alat kemudinya dengan kedua mata yang fokus ke arah depan. Harmoni dengan gerakan cepat menghadap ke arah Dewa diiringi raut wajah memohon pada pria itu. "Ambil saja kalung ini, aku tak mau berurusan dengan iblis itu, apalagi urusanku dengan para napi itu masih belum juga selesai, aku tak ingin hidupku berada di ambang kematian di setiap harinya, bisa-bisa aku tak dapat tidur dengan nyenyak, jika aku masih memiliki kristal ini," oceh Harmoni yang terus merengek meminta bandul kalungnya, agar dilepaskan oleh Dewa. "Tidak bisa!" Dua kata itu membuat mulut Harmoni membentuk huruf O yang begitu indah dan pasti lalat akan dengan sangat mudah masuk ke dalamnya. "Mana mungkin tak bisa, aku sudah pasrah untuk memberikan kristal ini padamu, tanpa paksaan atau ancaman, lagi pula, kau pemilik asli kristal ini jadi, kau pasti bisa melepaskannya," kukuh Harmoni atas pendiriannya, agar kristal itu bisa dilepaskan dari dirinya. "Percuma, hanya membuang tenaga saja," jelas Dewa yang lagi-lagi membuat Harmoni tak habis pikir dengan jalan pikiran pria itu. "Apa kau masih menginginkan kristal ini?" tanya Harmoni pada Dewa. "Sangat menginginkan, agar aku cepat terbebas dari gadis cerewet seperti dirimu," sahut Dewa yang diakhiri dengan cibiran menyentil hati Harmoni. "Hahahaha! aku malah lebih menginginkannya daripada dirimu karena aku sudah muak terus berada dalam situasi yang tidak semestinya, semua yang berhubungan denganmu seperti sebuah film fantasi yang aku mainkan dan kau sutradaranya di sini, aku seakan tak percaya dengan apa yang sudah terjadi, mulai dari kristal, iblis, bahkan tempat tinggalmu, semua hal itu membuatku bingung, apa semuanya nyata atau hanya ilusi semata yang aku bayangkan," cicit Harmoni dengan kepala yang ia sandarkan di sandaran kursi mobil Dewa. Mata Harmoni terpejam kala ia memikirkan semua hal ajaib yang akhir-akhir ini terjadi dalam hidupnya. Kepala Harmoni bergerak menuju ke arah Dewa, menatap pria itu lekat. "Apa kau juga nyata?" tanya Harmoni membuat Dewa yang awalnya fokus mengemudikan kendaraan roda empatnya, akhirnya pria itu menoleh ke arah Harmoni. "Apa kau masih ingin ciuman yang ketiga dariku?" tanya Dewa membuat wajah Harmoni bersemu merah karena otaknya langsung konek dengan kejadian saat di dalam gudang supermarket yang keduanya datangi sebelumnya. Harmoni langsung membuang muka ke arah kaca mobil Dewa, melihat apa saja yang ada di luar mobil itu. "Kenapa diam? apa kau masih menginginkannya?" tanya Dewa lagi yang berniat menggoda Harmoni. "Hentikan omong kosongmu yang tak berfaedah itu, aku mengantuk, antar aku pulang saja," pinta Harmoni yang masih menatap ke arah luar kaca mobil Dewa dengan deretan lampu malam yang menyala di sepanjang perjalanan roda mobil itu menggelinding. Dewa hanya diam sembari tersenyum kecil karena Harmoni nampaknya tak ingin meneruskan candaannya. Hicob sudah berada di depan teras rumah Harmoni dengan kedua tangan yang masih membopong tubuh Mona yang masih tak sadarkan diri karena pengaruh kekuatan iblis kalajengking itu. "Masih belum sadar juga, jangan sampai iblis itu menusukkan sedikit racunnya pada Mona," gumam Hicob yang mulai melangkah masuk ke dalam rumah Harmoni. Pintu rumah itu tak ada yang membukakan pintu utama namun, dengan ajaibnya, kedua daun pintu megah tersebut langsung terbuka sendiri. Jika ada seseorang melihat kejadian tersebut, orang itu pasti akan mengucek matanya berkali-kali, bahkan mungkin sampai matanya perih hanya untuk memastikan apa yang dilihatnya itu benar adanya. Daun pintu yang terbuka sendiri tanpa ada seseorang yang membukakan pintunya dan ini bukan jaman baheula, ini sudah jaman modern, semua dilakukan oleh manusia yang dipekerjakan untuk menjaga rumah atau mengurus rumah, bukan tanpa bantuan apapun, pintu rumah bisa terbuka dengan sendirinya. Hicob langsung berjalan menuju arah kamar Mona yang berada di lantai bawah namun, kamar gadis berambut pendek yang masih berada di dekapan Hicob itu sangat luas, sama luasnya dengan kamar Harmoni, bedanya, kamar Harmoni berada di lantai atas dilengkapi walk on closet berukuran besar, sedangkan untuk Mona, minimalis saja sudah cukup karena ia tak suka menumpuk koleksi baju atau perlengkapan perempuan lainnya. Ceklek Suara gagang pintu kamar Mona terbuka dengan Hicob yang sudah masuk ke dalam ruangan bernuansa putih tanpa campuran cat tembok apapun, hanya gorden kamar itu yang berwarna abu tua, sehingga warnanya kontras dan terlihat elegan. Hicob secara perlahan meletakkan tubuh Mona di atas ranjang gadis itu dengan gerakan perlahan karena ia takut, jika gadis itu tiba-tiba bangun dan menyangka dirinya ingin berbuat hal tak baik pada asisten pribadi Harmoni tersebut. Setelah tubuh Mona sudah berada di atas kasurnya, Hicob yang awalnya menundukkan tubuhnya, langsung menegakkan kembali tubuh itu sembari menepuk-nepuk kedua tangannya yang sudah terbebas dari beban yang cukup berat. "Semoga saja dia cepat bangun," gumam Hicob dengan arah tatapan mata yang tak sengaja melihat ke arah sekeliling ruangan itu. "Apa dia suka tema yang seperti ini? bukankah perempuan biasanya suka tema berbau pinky?" gumam Hicob masih terus memperhatikan setiap sudut ruangan kamar Mona sampai arah tatapan matanya tertuju pada sebuah frame foto berukuran kecil di atas nakas Mona. "Siapa dia?" tanya Hicob langsung mendekat ke arah foto tersebut. Hicob tanpa pamit mengambil frame tersebut dan melihatnya dengan sangat teliti. "Apa pria ini adalah kekasihnya?" tanya Hicob lagi yang tak tahu bertanya pada siapa, padahal hanya ada dirinya di ruangan itu yang masih dalam keadaan sadar, sementara Mona masih tak sadarkan diri. Saat Hicob sedang fokus menebak-nebak siapa gerangan pria paruh baya yang berada di dalam frame berukuran kecil tersebut, telinganya dapat mendengar sebuah bisak tangis seorang perempuan yang tak lain adalah Mona. Hicob langsung bergerak merubah posisinya menghadap ke arah Mona yang ternyata memang benar, sedang terisak. "Apa dia sedang berada di alam bawah sadarnya?" tanya Hicob masih menatap ke arah Mona. "Kenapa tega meninggalkan aku, kenapa tega membiarkan aku sendiri harus menanggung segala?" tanya Mona di tengah-tengah racauannya saat tak sadarkan diri. Kening Hicob hampir menyatu mendengar ucapan Mona. Seketika otak pria itu terhubung dengan foto pria yang berada di dalam frame yang ia pegang saat ini. "Apa ini mantan kekasihnya?" tanya Hicob yang sudah mulai menebak-nebak siapa pria tersebut. Wajah pria yang berada di dalam frame itu nampak muda, seperti pria masih berumur 30 tahunan dan hal itu sedikit menyita perhatian Hicob karena sedikit bada rasa terusik dalam bagian tubuhnyanya yaitu, hati. "Jangan tinggalkan aku! aku tak bisa mendapatkan pria yang sama sepertimu, kau satu-satunya cinta pertama dalam hidupku," racau Mona yang semakin membuat Hicob tak karuan. Melepuh tak cukup baik untuk dijabarkan pada perasaan asisten pribadi Dewa tersebut, terbakar mungkin lebih tepat dijabarkan karena pria itu saat ini merasa ada setetes peluh yang menempel pada pelipisnya. "Jadi dia benar-benar mantan kekasihnya? hah, apa dia tak bisa melupakan pria yang sudah menyakitinya? bukankah masih banyak pria lain yang lebih baik dari pria ini? apa pria ini sangat berkesan baginya?" tanya Hicob yang entah mengapa semua pertanyaan itu langsung saja meluncur tanpa ada filter di dalamnya. "Jangan pergi," racau Mona yang tanpa sadar menyentuh punggung tangan Hicob yang berada di permukaan kasur Mona karena posisi pria berkacamata itu saat ini tengah duduk manis di kasur Mona. Kedua mata Hicob melihat ke arah tangannya yang tak sengaja di sentuh oleh tangan Mona. "Jangan bilang, jika kau menganggap tangan ini adalah dia," tunjuk Hicob pada foto pria yang berada di frame kecil tersebut. Tak ada sahutan atau tanggapan dari mulut Mona karena gadis itu saat ini tengah dalam mode pingsan tak sadarkan diri karena pengaruh sihir iblis kalajengking. Hicob merasakan akan ada seseorang yang akan datang ke rumah itu. Dengan gerakan kilat, Hicob sudah enyah dari kamar Mona, menyisakan frame foto yang tergeletak sembarang di atas kasur Mona, tepatnya di sebelah kiri Mona.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD