Dua lensa mata yang berbeda warna langsung berbaur menjadi satu.
Harmoni menyangga tubuhnya menggunakan kedua sikunya yang bertumpu pada rerumputan yang tumbuh subur di daerah taman belakang rumah Dewa.
"Lain kali dipikir dulu, jika kau ingin berterima kasih, paling tidak, beritahu aku, jika kau ingin memelukku," ingatkan Dewa pada gadis yang kini tepat berada di atasnya.
Semilir angin menerpa bagian wajah dan rambut Harmoni.
Tangan kanan Dewa bergerak menyampirkan helaian rambut yang menerpa bagian wajah gadis itu.
"Ikat rambutmu dengan kencang, jangan sampai berantakan seperti orang tak pernah mandi," sindir Dewa dan bibir gadis itu hanya dimajukan ke depan karena ucapan menohok dari pria tersebut.
"Endus saja sampai puas bau tubuhku yang belum mandi ini, agar kau mendapatkan vitamin tambahan dari aromanya yang sangat mantap," serang balik Harmoni yang tak mau kalah membalas sindiran Dewa padanya.
Bukannya marah, pria itu malah tersenyum sembari memiringkan kepalanya ke arah kanan karena ucapan Harmoni yang terdengar bagai lawakan bagi pria itu.
"Kenapa tertawa? ada yang lucu?" tanya Harmoni dengan nada suara ketusnya.
"Kau sedang melawak atau sedang merajuk, sih? aku heran pada kaum perempuan, jika sudah marah, pasti arah pembicaraan mereka menjalar kemana-mana dan ujung-ujungnya akan menimbulkan gelak tawa," jelas Dewa masih dengan posisi yang sama.
Tak ada jawaban dari bibir gadis itu karena menurut Harmoni, lawakan dan rajukan beda tipis, yang ada saat ini hanya suara pukulan bertubi-tubi pada lengan kekar Dewa.
"Rasakan itu, itu baru namanya lawakan," kesal Harmoni pada pria yang entah di mana rumahnya itu.
"Kau menyiksaku, jika ini diproses, kau akan terkena pasal," rintih Dewa pada gadis itu.
"Itu menurut hukum di bumi, 'kan? jika di planetmu tak akan ada hukum macam itu," cicit Harmoni tak mau menyerah terus memukul lengan Dewa tanpa henti.
"Aku bisa menghukummu saat ini juga, jika aku memberlakukan hukum ala planetku," peringatkan Dewa pada Harmoni.
Gadis itu hanya tersenyum meledek Dewa, tanpa ada niatan ingin menghentikan pukulannya pada lengan Dewa.
"Lakukan saja! aku tidak takut," tantang Harmoni pada pria yang masih berada tepat di bawahnya.
Setelah Dewa mendengar lampu hijau dari mulut Harmoni, tanpa rasa sungkan Dewa langsung mencengkeram kedua lengan Harmoni dan membalik posisi mereka yang awalnya Dewa berada di bawah Harmoni, kini pria itu sudah memimpin, berada di atas tubuh Harmoni dengan kedua lensa mata yang semakin berwarna biru pekat.
"Ka-kau kenapa?" tanya Harmoni pada Dewa karena gadis itu menyadari, jika warna lensa mata Dewa berubah menjadi lebih pekat dari biasanya.
"Kenapa?" tanya balik Dewa tanpa menjawab pertanyaan CEO cantik tersebut.
"Warna lensa matamu," tutur gadis itu masih menatap ke arah kedua lensa mata Dewa tanpa ingin mengalihkan tatapannya ke arah lain.
"Kau sungguh ingin tahu?" tanya Dewa lagi.
Gadis itu hanya mengangguk kepala mengiyakan pertanyaan dari Dewa.
"Kau yang meminta untuk mendapatkan hukuman seperti yang diterapkan di planetku dan aku akan mengabulkannya dan untuk warna lensa mata ini ...."
Dewa masih diam tak melanjutkan kembali ucapannya.
"Kenapa dengan warna lensa matamu?" tanya Harmoni pada pria itu karena rasa penasaran sudah mulai melingkupi gadis tersebut.
"Karena ...."
"Apa matamu akan mengalami kebutaan?" tanya Harmoni menerka kemungkinan yang ada dan detik itu juga, Dewa rasanya ingin tertawa berguling-guling di hadapan gadis itu namun, rasa itu ia tahan, agar ia bisa lebih totalitas mengerjai gadis yang mencoba bermain-main dengan dirinya.
"Bukan, tapi ... warna lensa mata lebih pekat, menandakan, jika orang tersebut menahan rasa amarah yang teramat sangat dan ingin sekali menerkam siapa saja yang berada di dekatnya," jelas Dewa membuat tengkuk Harmoni merinding bukan main.
"Apa benar yang dia katakan? jangan sampai aku menjadi santapannya dan tubuhku di sedot darahnya sampai keriput," pikir Harmoni dalam diam karena ucapan Dewa tadi, memancing otaknya berpikir ke arah hal yang berbau negatif.
Dewa dapat membaca raut wajah Harmoni yang nampak ketakutan karena bualannya.
Dewa sebenarnya hanya membayangkan bagaimana Joni ingin menyentuh gadis itu, agar lensa matanya berwarna lebih pekat lagi.
Hanya hal itu yang dapat membangkitkan amarah seorang Dewa. Yang berhubungan dengan pria yang dekat dengan Harmoni, entah mengapa hal tersebut membuat pria itu terpancing emosi.
Saat ia teringat dengan Jason, salah satu rekan kerja Harmoni membuat pria itu sedikit ada rasa percikan api di dalam dadanya.
"Apa tidak apa aku melakukan hukumanku padamu?" tanya Dewa pada gadis itu.
"Hu-hukuman apa itu?" tanya Harmoni ingin memastikan karena ia juga tak mungkin menarik ucapannya kembali.
Harmoni bukan tipe gadis yang suka mengingkari janjinya, jika sudah ada kesepakatan bersama, apalagi tadi dirinya yang meminta sendiri pada Dewa dan dirinya pula yang menantang pria tersebut, padahal ia sudah tahu, jika pria yang berhadapan dengannya saat ini bukan manusia biasa.
Dewa bisa kapan saja menghisapnya sampai keriput karena hanya itu yang ada di dalam otak gadis tersebut, Dewa suka menghisap seperti cerita dalam sebuah buku yang pernah ia dengar.
"Melakukan apa saja terhadapmu yang sudah berani menantang hukum tempat tinggalku," jelas Dewa dengan jarak wajah yang semakin dekat.
"Apa-apa maksudmu menghisapku sam-sampai kering?" tanya Harmoni dengan suara tergagap menahan rasa takutnya.
Dewa sengaja mendekatkan bibirnya tepat di telinga Harmoni. "Bahkan lebih dari itu," bisik Dewa dengan suara mendayu menandakan, jika Harmoni saat ini sudah berada di bawah kekuasaannya.
"Kau akan membunuhku?" tanya Harmoni masih menahan rasa takutnya yang semakin menjadi karena ucapan ambigu dari mulut Dewa.
Wajah pria itu sedikit menjauh dari daun telinga Harmoni. "Menurutmu?" tanya balik Dewa membuat gadis itu semakin takut.
Karena sudah lelah merasa, jika dirinya di permainkan oleh Dewa, akhirnya gadis itu memberanikan diri menatap tajam ke arah pria dari planet Amoora tersebut.
"Sebenarnya apa maumu? kau ingin membunuhku? atau kau ingin menghisap semua darahku," kesal Harmoni pada pria itu dengan suara sedikit meninggi.
Dewa masih menatap kedua mata Harmoni, tanpa ia sadari, pria itu menempelkan ujung hidungnya pada ujung hidung Harmoni.
"Aku ingin memilikimu," tutur Dewa dengan suara lembut berbeda dari biasanya.
Jantung Harmoni dibuat berdentum bukan main karena ucapan Dewa yang terdengar seperti sebuah pengungkapan perasaan atau sebuah candaan semata bagi pria itu.
"Maksud ...."
"Hukum yang akan aku buat untukmu, aku akan membuatmu selalu berada di sampingku, bersama denganku selamanya, kau akan terpenjara bersama denganku sampai akhir hayatmu," jelas Dewa menatap kedua manik mata Harmoni intens.
Kini lensa mata Dewa bukan berwarna biru pekat lagi, melainkan berwarna jingga.
Bukannya memikirkan ucapan Dewa yang seakan terdengar begitu posesif pada Harmoni, gadis itu malah lebih tertarik dengan perubahan lensa mata Dewa.
Perlahan tangan Harmoni bergerak menyentuh kelopak mata Dewa.
"Kenapa lagi dengan warna lensa matamu? apa kau bisa berganti softlens begitu cepat?" tanya Harmoni pada pria itu.
"Warna apa yang kau lihat?" tanya Dewa balik.
"Jingga," sahut Harmoni masih menyentuh kelopak mata Dewa dan pria itu memejamkan matanya menikmati sentuhan jemari lembut seorang gadis.
"Apa kau ingin tahu kenapa dia berubah warna?" tawar Dewa pada Harmoni yang ingin memberitahu kepada gadis itu, apa penyebab warna lensa matanya berubah.
"Katakanlah," pinta Harmoni menunggu jawaban dari mulut Dewa.
Pria itu perlahan membuka sedikit demi sedikit kelopak matanya dan jemari Harmoni secara otomatis sedikit menyingkir dari kelopak mata Dewa.
Dewa menatap kedua lensa mata Harmoni, pria itu masih memikirkan apakah ia harus menjelaskan perubahan pada lensa matanya kali ini atau tidak.
Dewa masih memikirkan apa ia harus menjelaskan kepada Harmoni tentang perubahan warnanya itu atau tidak karena perubahan warnanya kali ini bukan main-main, melainkan menurut buku kerajaan yang ia ketahui, ini merupakan salah satu ketertarikan terhadap lawan jenisnya namun, Dewa masih belum yakin dengan perasaannya sendiri, sementara Harmoni juga sudah memiliki seorang kekasih yang Dewa pikir pria itu adalah Jason.
Dewa langsung menegakkan posisinya menjadi duduk di hamparan rumputan taman belakang rumahnya, sementara Harmoni seperti menelan sebuah rasa kekecewaan karena pria itu tak mau menceritakan perihal lensa matanya yang berubah warna menjadi jingga.
Gadis itu juga ikut menegakkan tubuhnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Dewa.
"Kenapa diam? apa kau tak ingin aku tahu?" tanya Harmoni pada pria tersebut.
"Sepertinya hal itu tak perlu aku jelaskan padamu, lagipula meskipun kau tahu makna dari perubahan warna lensa mataku ini, semua tidak akan merubah apa yang sudah menjadi takdirmu," tutur Dewa pada gadis tersebut.
Kedua alis Harmoni hampir menyatu mendengar ucapan yang dikeluarkan dari mulut Dewa karena gadis itu bukannya menyerah dengan rasa penasarannya, melainkan Harmoni menjadi lebih penasaran dari sebelumnya.
"Apa aku tak boleh tau?" tanya Harmoni mencoba mengulik fakta lebih dalam lagi.
"Boleh!"
"Jadi kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku? bukankah kau malah semakin berdosa membiarkan seorang gadis sepertiku sampai mati penasaran," cecar Harmoni pada Dewa.
Dewa yang awalnya menatap lurus ke depan, akhirnya pria itu menoleh ke arah samping di mana Harmoni berada.
"Apa kau yakin bisa menerima kenyataan?" tanya Dewa memastikan.
"Tentu saja, lagipula sedikit banyak aku harus mengetahui mengenai dirimu, bukankah sebagian dari dirimu juga ada padaku," tutur Harmoni menyentuh bandul kalung yang tergantung di lehernya.
Degup jantung Dewa seketika berdetak lebih kencang, entah apa yang membuat pria itu sampai memikirkan beberapa kata yang Harmoni ucapkan, yaitu "sebagian dari dirimu juga ada padaku" makna itu begitu mengena di hati Dewa.
Saat Dewa melihat jemari Harmoni yang menyentuh bendul kalung miliknya, akhirnya pemikiran pria itu sirna.
Dewa hanya bisa tersenyum kecut memikirkan apa yang baru saja terlintas dalam benaknya.
"Bisa-bisanya aku berpikir hal seperti itu, dia tak mungkin ada perasaan pada mahluk sepertiku, ditambah lagi ... kekasihnya juga berasal dari planet dan dunia yang sama, sementara aku ... kami berbeda jadi, perasaan yang aku rasakan, mungkin hanya sebuah keterikatan terhadap bandul kalung yang berada padanya," pikir Dewa dalam diamnya.
"Ini hal yang tidak penting,"jelas Dewa pada Harmoni dan seketika rasa kecewa kembali harus gadis itu telan mentah-mentah.
"Apa hal itu begitu penting?" tanya Harmoni lagi yang tak pantang menyerah.
"Justru karena itu tak penting, lebih baik kau tak perlu tahu," sahut Dewa memaksakan senyumnya.
"Tapi ...."
"Aku lapar, apa masih ada sisa masakan yang kau buat?" tanya Dewa sengaja mengalihkan perhatian Harmoni.
Tubuh Harmoni seketika membeku mendengar pertanyaan dari mulut Dewa. "Sebenarnya ... masih ada, tapi ... sudah tinggal 3 potong," jelas Harmoni dengan raut wajah penuh rasa bersalah pada pria yang berada di hadapannya.
Dewa tersenyum sembari mengangkat tangannya mengacak-acak rambut Harmoni yang memang sudah berantakan. "Tak apa, aku masih mau meskipun kau beri makanan sisa dirimu," tutur Dewa pada gadis itu.
"Tumben kau tak marah padaku, biasanya kau selalu dingin dan suka marah-marah tanpa kenal hari atau waktu," protes Harmoni sembari mengambilkan piring yang berada di kursi santai taman belakang rumah Dewa.
Harmoni memberikan piring tersebut pada Dewa namun, pria itu nampak tak ingin menerima piring berisikan 3 potong telur gulung keju mozzarella tersebut.
"Ambil!" pinta Harmoni pada Dewa.
"Suapi aku, sebagai hukuman karena kau sudah menantang hukuman di planetku," pinta Dewa menatap ke arah Harmoni yang masih dalam posisi berdiri, sementara Dewa, menengadahkan wajahnya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu di atas rumput taman belakang rumah tersebut.
"Punya tangan, 'kan?" tanya Harmoni dan Dewa cukup mengangguk mengiyakan pertanyaan tersebut.
"Makan sendiri, lagipula, kau bukan hanya memiliki tangan, tapi kekuatan juga ada," ingatkan Harmoni atas keajaiban yang dimiliki Dewa.
"Tidak mau!" ujar Dewa tegas dan mantap.
"Kenapa?" tanya Harmoni cukup kesal pada Dewa.
"Itu hukuman dariku jadi, kau harus tetap melakukan tugasmu atau kau lebih memilih second kiss-mu aku ambil," tawar Dewa yang terdengar seperti ancaman.
Harmoni hanya bisa bergidik ngeri mendengar tawaran dari bibir Dewa.
Dengan penuh rasa terpaksa, akhirnya gadis itu duduk tepat di hadapan Dewa.
"Buka mulutmu," pinta Harmoni dengan wajah tak bersahabat sama sekali.
"Yang ikhlas, nanti kau tak mendapatkan pahala dari perbuatan baikmu ini," kicau Dewa yang nampak tak ditanggapi oleh CEO cantik tersebut.
"Jangan banyak bicara, makan saja, cepat buka mulutmu," pinta Harmoni untuk yang kedua kalinya.
Akhirnya Dewa mengikuti kemauan Harmoni dan pria itu dengan suka rela membuka mulutnya lebar-lebar.
"Aaaaaaaaak!"
Satu suapan telur gulung sudah masuk ke dalam mulut Dewa dan pria tersebut mengunyah dengan santai tanpa ingin terburu-buru menelan makanan yang berada di dalam mulutnya.
Harmoni kembali menusukkan garpu tersebut pada bagian kedua telur gulung keju mozzarella tersebut namun, gadis itu nampak teringat akan sesuatu.
"Apa kau sangat lapar?" tanya Harmoni pada Dewa.
"Aku memang tidak makan nasi tadi, hanya beberapa potong telur buatanmu saja," jelas Dewa pada gadis bermarga Sudarmanto tersebut.
Harmoni menatap ke arah sepiring nasi yang masih berada di tempat kursi santai taman tersebut.
Dewa yang mengerti maksud tatapan Harmoni, akhirnya pria itu membuka suara, "Berikan padaku piring itu, biar aku makan sendiri saja."
Harmoni tak memperdulikan celoteh Dewa, gadis itu lebih memilih berdiri mengambil sepiring nasi tersebut.
Karena di atas sana masih ada sepiring tumis brokoli buatan Dewa yang sedikit gosong, akhirnya Harmoni meletakkan sisa telur gulung dan beberapa sendok tumis brokoli ke atas piring nasi yang sama dan gadis itu berjalan ke arah Dewa.
"Biar aku makan sendiri saja, kau pasti lelah, mandilah!" ujar Dewa mengulurkan tangannya hendak mengambil piring dari tangan Harmoni namun, gadis itu menolak uluran tangan Dewa.
"Biar aku saja yang menyuapimu, anggap saja aku sedang menerima hukuman yang kau maksud tadi dan habiskan tumis brokolimu ini," cicit Harmoni kembali mengarahkan sesendok nasi dan lauk ke arah mulut Dewa.
Dewa dengan lahapnya mengunyah makanan tersebut.
"Pasti rasanya tak enak, dilihat saja sudah tak menggugah selera," gumam Harmoni sambil menyendok beberapa lauk.
Dewa tersenyum langsung mengambil alih sendok yang berada di tangan Harmoni dan secara ajaib mulut gadis itu terbuka dengan sendirinya.
"Bagaimana? enak?" tanya Dewa pada gadis tersebut karena brokoli buatannya sudah masuk ke dalam mulut gadis itu dan Harmoni juga sudah mengunyah, bahkan sebagian sudah ditelan.
Wajah Harmoni nampaknya sedikit merajuk karena ia tahu dan sangat sadar, jika dirinya dalam pengaruh sihir Dewa.
"Tidak usah sombong karena makanan gosongmu ini masih bisa ditelan," kesal Harmoni pada pria itu.
Dewa hanya tersenyum sembari memakan makanan yang berada di piring tersebut menggunakan tangannya sendiri.
Sementara Harmoni hanya bisa menatap pria itu dengan tatapan mata kesal bukan main.