01 - Rumah bordil
Gedung tinggi menjulang dengan beragam penjagaan ketat itu terlihat begitu megah. Suasana keras dengan diiringi musik yang terus mengalun, mengiringi tiap gerakan para tamu yang tengah asyik berjoget di lantai dansa.
Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah, seorang pria berkepala plontos dengan badan besar segera beranjak dan membuka pintu.
Sepatu kulit mahal berwarna hitam tampak mengkilat. Disusul kemudian sang empunya membenahi tampilan jas hitam mahal yang melekat pada tubuh tinggi tegap itu.
Rambut hitam legam yang ditata model coma kian menambah kesan tampan rupawan pada wajahnya. Rahang yang tegas, sorot mata tajam yang seakan bisa membunuh siapa saja hanya dengan sekali tatap.
Langkahnya tegas, seorang wanita dengan dress merah panjang itu menyambut si pria dengan ramah. Lipstik merah yang menyapu bibirnya terlihat begitu kontras dengan wajahnya yang terlihat begitu putih akibat sapuan foundation.
“Selamat malam, Tuan. Selamat datang di tempat kami. Saya merasa begitu terhormat kedatangan tamu spesial seperti anda,” ucapnya.
Senyum manis yang sejak tadi terumbar nyatanya tidak membuat si pria tertarik. Ia justru menatap acuh ke arah wanita itu, tidak peduli.
“Ku dengar kau punya barang baru malam ini,” katanya.
Si wanita bergaun merah terlihat antusias. Ia langsung saja mempersilahkan tamu istimewanya itu untuk segera naik ke lantai tiga.
“Tentu saja, Tuan. Anda sangat beruntung, karena anda adalah orang pertama yang akan melihat para candy baru itu,” katanya riang.
“Mari silakan.”
Rombongan tersebut berjalan ke arah lantai tiga. Di atas sana suara riuh music di lantai satu teredam, membuat suasana menjadi lebih nyaman.
Tidak ada kebisingan, pun dengan interior yang ada terlihat lebih simpel namun berkelas.
“Silakan duduk, saya akan memanggil para Candy terlebih dahulu,” kata si wanita.
Senyum di wajahnya masih belum juga mau pudar bahkan setelah ia beranjak dari sana.
Tidak lama kemudian wanita itu kembali datang. Namun ia tidak sendirian, di belakangnya ada tiga gadis muda dengan paras ayu yang mengikutinya.
Masing-masing dari mereka terlihat begitu cantik dengan kulit putih mulus tanpa cacat, rambut gelap berwarna coklat juga sapuan make up tipis yang membuat kecantikan mereka semakin menguar hebat.
Belum lagi pakaian yang mereka kenakan memamerkan lekuk tubuh indah para Candy tersebut yang membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung terpesona.
“Bagaimana, Tuan. Apakah anda tertarik?” tanya si wanita tidak sabaran.
Ekspresi pria itu sama sekali tidak berubah. Sebelah kakinya yang terangkat di atas kaki lainnya sama sekali tidak tergerak sedikitpun. Dua tangannya yang tersemat apik di atas tangan sofa kulit berwarna coklat gelap itu tidak menunjukkan ketertarikan.
“Hanya ini?” katanya lirih.
“Ya?”
“Hanya ini yang kau punya? Tidak ada yang lain?”
“Eh, i-iya.”
“Cih, sama sekali tidak menarik. Percuma saja aku datang kemari.”
Sang Nyonya rumah bordir panik. Ia buru-buru mencegah salah satu tambang emasnya agar tidak beranjak dengan tangan kosong.
“Tunggu, Tuan. Sebenarnya…. Saya punya satu lagi. Hanya saja….”
Ucapannya menggantung. Wanita itu terlihat ragu untuk melanjutkan.
“Jika kau ragu, tidak perlu. Aku akan mencari di tempat lain.”
Baru saja pria itu hendak beranjak, lagi-lagi sang Nyonya rumah bordil menahannya.
“Tunggu, Tuan. Saya… saya punya seorang Candy lagi. Hanya saja…. Dia…. Cacat.”
Suara sang Nyonya melemah di akhir kalimat. Ia terlihat tidak begitu yakin saat mengatakannya.
“Apa katamu?”
“Ya, dia cacat. Dia… tidak bisa melihat. Buta.”
Suasana hening sejenak. Sang pria menghela napas, ia yang sebelumnya sudah akan beranjak kembali duduk di tempatnya. Sebelah tangannya terangkat, meminta sang Nyonya rumah untuk segera mengeluarkan gadis yang baru saja dikatakannya.
Meski pada awalnya meragu, namun pada akhirnya wanita berusia awal lima puluhan itu menurut. Ia datang dengan seorang gadis berperawakan mungil, rambutnya yang lurus sebahu ia biarkan tergerai bebas dengan poni tirai yang menutupi area dahi.
Dress selutut berwarna putih gading terlihat begitu cocok dengan dirinya. Matanya bulat dengan pipi berisi dan sedikit merona. Oh, jangan lupakan bibirnya yang terlihat berwarna merah muda alami, terlihat begitu menggiurkan untuk dikecup.
Lamunan Wildan buyar tatkala suara tongkat beradu dengan lantai marmer itu terasa menggelitik telinga. Gadis di depannya berjalan lirih dengan bantuan tongkat panjang, sementara matanya menatap kosong lurus ke arah depan.
“Namanya Jena, dia baru saja datang sore ini, Tuan. Tapi….”
Sang Nyonya berkata lirih, ia sempat melirik sekilas ke arah gadis muda di sebelahnya yang hanya bisa terdiam tanpa mengatakan sepatah katapun.
“Aku akan membawanya,” kata Wildan tanpa ragu.
Semua orang yang ada di sana terkejut. Tidak terkecuali dengan Jena sendiri. Gadis itu terlihat bertanya-tanya dengan sorot matanya.
Mengapa pria itu memilihnya? Padahal ia yakin 100% jika gadis-gadis lain yang ada di dekatnya saat ini jauh lebih cantik dan sexy ketimbang dirinya.
Pun, mereka normal. Bisa melihat, bukan seperti dirinya yang hanya bisa melihat kegelapan tanpa cahaya.
“Anda… serius?”
“Kenapa? Kau tidak mau melepasnya sekalipun aku akan membayar dengan harga tinggi?”
“Ah, tidak. Bukan seperti itu, hanya saja apa anda tidak salah? Maksudku… dia…”
“Tidak. Aku memilihnya. Dan itu adalah keputusan mutlak. Dia atau tidak sama sekali.”
Sang Nyonya tergagap. Ia tidak mungkin membantah Wildan Wisnu Aditama, ia tidak ingin nyawanya terbuang sia-sia.
“Baik. Saya akan segera menyiapkannya.”
“Tidak perlu. Biar aku saja yang mengurusnya sendiri.”
Tanpa mengatakan apapun, Wildan berjalan mendekat. Tubuh jangkungnya terlihat begitu kontras dengan tubuh Jena yang hanya sebatas d**a pria itu.
Ia menyeringai, menatap lekat ke arah wajah manis Jena yang tersapu balutan riasan tipis yang terlihat begitu cocok untuknya.
Tanpa aba-aba, Wildan segera menarik pinggang Jena, membuat tubuh keduanya terhimpit satu sama lain seolah tidak berjarak.
Dengan jarak sedekat itu, Wildan bisa mencium wangi mawar yang menguar kuat dari tubuh si gadis. Ia menghirup aromanya kuat-kuat dan menyeringai.
Tidak sampai di sana, Wildan mengendus area sekitar leher Jena yang sudah menegang ketakutan. Gadis itu sama sekali tidak bergerak, tubuhnya kaku tanpa bisa memberikan perlawanan pada Wildan yang sudah sibuk dengan aktivitas menghirup aroma tubuh Jena dengan gerakan rakus.
Hampir saja sebuah desahan lolos dari sela bibir ranum Jena tatkala Wildan dengan iseng mengigit telinga sebelah kanannya.
Namun sekuat tenaga gadis itu menahan diri. Ia mengigit bibir bawahnya dan memejamkan mata dengan erat.
Wildan yang melihat hal tersebut terkekeh lirih. Suara pria itu terdengar rendah, membuat bulu kuduk Jena meremang seketika.
Apa yang dilakukan Wildan tidak berhenti di sana. Pria itu memberikan sebuah kecupan singkat di pipi sebelah kanan Jena yang hanya bisa pasrah, terkekeh sebentar dan membisikkan sesuatu di telinga si gadis dengan suara lirih dan dalam.
“Aku menemukanmu.”