“White Sphere”

1286 Words
Eryndor, tahun 1272 Era Cahaya. Lima belas tahun setelah kejatuhan Mirror Heart, Wing Glory, kini remaja pemberani, menjelajahi dunia dengan Rune of Wind yang dimilikinya, mencari petunjuk tentang identitasnya. Di desa tersembunyi di balik tebing berkabut, ia menemukan rahasia yang mengguncang—dan musuh yang tak pernah ia duga. Di bawah langit kelabu yang diselimuti kabut tebal, desa kecil tersembunyi di lembah pegunungan yang tandus. Angin dingin bertiup, membawa aroma tanah basah dan rahasia yang terkubur. Aku, seorang pemuda pengelana tanpa nama yang dikenal hanya sebagai "Pembawa Takdir," melangkah dengan hati-hati menuju gerbang desa yang tampak terbengkalai. Cahaya redup dari obor yang berkedip di dinding batu menjadi satu-satunya tanda kehidupan. Aku tidak tahu apa yang membawaku ke sini, hanya naluri dan jejak Rune Power yang kini berdenyut di nadiku, menuntunku ke tempat ini. Gerbang kayu tua yang retak berderit saat aku mendorongnya. Tiba-tiba, sebuah batu kecil meluncur dari kegelapan dan menghantam tanah di dekat kakiku. Aku tersenyum kecil, mendengar tawa anak-anak dari kejauhan, namun sebelum aku sempat menelusuri sumbernya, suara langkah kaki yang terburu-buru mendekat. Bayang-bayang bergerak di sudut pandangku, dan dalam sekejap, aku dikelilingi oleh sekelompok orang bersenjata. Pedang dan tombak sederhana mereka gemetar di tangan, menunjukkan bahwa mereka bukan pejuang terlatih, melainkan penduduk desa yang dipaksa oleh keadaan. "Apa tujuanmu kemari?!" tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh curiga. Senjata mereka tetap teracung, meski genggaman mereka tampak lemah. "Hey... tunggu!" kataku, mengangkat kedua tangan untuk menunjukkan niat damai. "Aku tak bermaksud jahat kepada kalian... aku hanya—" SYUUUUUUUUTTTTT! Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah pedang meluncur ke arahku. Instingku bereaksi lebih cepat dari pikiranku. Rune Power di dalam tubuhku menyala, dan dalam sekejap, aku berpindah ke belakang mereka dengan kecepatan yang tak terlihat mata. Wussshhh! Aku kini berdiri di sisi lain, nafasku sedikit tersengal, namun tubuhku tetap tegap. "Apa?! Kemana dia?!" teriak seseorang, panik. Mereka saling pandang, mencari-cari sosokku dengan mata liar. Ketegangan memenuhi udara, dan aku bisa merasakan detak jantung mereka yang kacau. Mereka belum menyadari bahwa aku sudah berada di belakang mereka, tanganku siap mengaktifkan Rune Angin jika diperlukan. Saat aku hendak bergerak untuk menjelaskan, sebuah suara tua yang bergetar memecah keheningan. "Cukup..." Aku membeku. Suara itu datang dari sampingku, namun aku sama sekali tidak merasakan kehadiran siapa pun sebelumnya. Bahkan Rune Power ku, yang biasanya peka terhadap energi lain, tidak mendeteksi apapun. Aku menoleh, dan di sana berdiri seorang kakek dengan janggut putih panjang hingga ke d**a dan rambut putih yang nyaris menyentuh tanah. Ia bersandar pada tongkat kayu yang diukir dengan simbol-simbol kuno, tubuhnya masih tegap meski usianya jelas telah lanjut. Matanya, bagaimanapun, memancarkan kebijaksanaan yang dalam, seolah-olah ia telah melihat dunia ini runtuh dan bangkit kembali berkali-kali. "Jangan seenaknya menyerang orang!" bentaknya kepada para penjaga, suaranya penuh otoritas meski lembut. "Di mana ramah tamah kalian sebagai manusia?! Hormati orang lain, meski kalian tak mengenalnya!" Aku merasakan getaran energi yang familiar dari tubuhnya—Rune Power yang sama yang kini mengalir di nadiku. Dialah sumber kekuatan yang aku rasakan sejak tiba di desa ini. Siapa dia sebenarnya? Pikirku, tak bisa menahan rasa ingin tahu yang membakar. "Maafkan kami!" jawab seorang pemuda, membungkuk dalam-dalam di hadapan kakek itu. "Kami hanya ingin... kami semua di sini tetap aman. Tadi kami mendengar suara batu tiba-tiba terjatuh dari pintu gerbang dan mendengar suara seseorang dari luar, jadi kami mendekatinya untuk mengantisipasi bahaya." Aku melangkah maju, berusaha menjelaskan. "Mohon maaf! Akulah yang melempar batu itu! Tapi percayalah, aku tak bermaksud jahat kepada kalian!" Kakek berjanggut putih itu menoleh ke arahku, matanya menyelidik. "Apa tujuanmu, wahai pemuda? Lalu, apa kau juga yang berbicara?" Ia memegang tongkatnya dengan kedua tangan, dan mataku tertuju pada simbol di tongkat itu—lambang Rune yang ku kenali, lambang kuno yang hanya dimiliki oleh mereka yang menguasai kekuatan primordial. Aku menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. "Mohon maaf jika aku tak sopan sebagai tamu. Sudah kukatakan, aku tak ada niat jahat. Aku hanya ingin beristirahat sejenak dari perjalananku. Tadi aku berpapasan dengan seorang anak, dan aku mengikutinya hingga sampai di desa ini. Tapi nyatanya, tak ada satu orang pun di rumah yang aku singgahi. Jadi, aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, hingga akhirnya menemukan tempat ini." "Pembohong!" teriak seseorang dari kerumunan, nadanya penuh tuduhan. "Dia pasti salah satu dari *mereka*!" Ia menunjukku, wajahnya penuh ketidakpercayaan. Tiba-tiba, seorang anak kecil muncul dari kerumunan. Wajahnya kotor, namun matanya penuh semangat. Itu dia—anak yang bertabrakan denganku di jalan tadi. "Nah! Ini dia anak yang tadi kutemui!" kataku, menunjuk ke arahnya, berharap ia bisa mendukung ceritaku. Namun, anak itu justru menatapku dengan curiga. "Dia pasti orang jahat! Dia pasti dikirim *mereka* untuk memata-matai kita!" Aku tersentak, tak percaya dengan tuduhannya. "Hey! Apa maksudmu dengan orang jahat?! Kau pikir aku ini orang jahat?!" Aku melangkah mendekatinya, kesal. Anak itu tidak gentar. Ia mengepalkan tangan dan melotot balik padaku. "Emang kau seperti orang jahat!" balasnya, suaranya penuh tantangan. Kami saling ejek, sindiran demi sindiran terlontar, hingga suasana semakin memanas. Tiba-tiba, suara kakek itu kembali bergema. "Hentikan, Demian! Siapa yang memberimu izin untuk keluar?!" Anak itu, yang ternyata bernama Demian, terdiam. Ia menelan ludah, kepalanya tertunduk, dan wajahnya berubah lesu. Aku bisa melihat ketakutan bercampur hormat dalam matanya. Siapa kakek ini, hingga seorang anak pemberani seperti Demian tiba-tiba menjadi begitu patuh? Kakek itu melangkah mendekati Demian, suaranya kini lebih lembut namun tetap tegas. "Lalu, apa alasanmu keluar dari seal pelindung yang ku buat?" Demian tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya gemetar. Kakek itu mendekat, merangkulnya dengan penuh kasih, namun Demian mendorongnya dengan kasar. "KAU TIDAK ADIL!" teriaknya, air mata mengalir di pipinya. "Kau selalu bilang kita harus melindungi desa kita! Aku juga ingin melindungi desaku! APAKAH AKU SALAH?!" JREEEENNGGGG! Demian meraih sesuatu dari balik bajunya—pedang kayu yang tersembunyi. Ia menggenggamnya erat, matanya penuh tekad meski air matanya masih mengalir. Aku terdiam, tak tahu harus bereaksi apa. Apa yang terjadi di desa ini? Mengapa anak sekecil ini begitu penuh amarah dan tekad? Sebelum situasi semakin kacau, seorang lelaki berlari mendekati Demian. "Apa yang kau bicarakan, dasar anak bodoh?!" PLAAAKKK! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Demian. "Kau sadar apa yang kau katakan?!" Lelaki itu, yang kemudian ku ketahui bernama Gotch, memeluk Demian yang kini menahan tangis. Pedang kayunya direbut dan dilempar ke tanah. "Sudahlah, Gotch," kata kakek itu, memegang pundak lelaki itu. "Dia berhak mengatakan apa yang ingin dikatakannya." Gotch tampak menyesal, namun ia hanya mengangguk pelan. Kakek itu—yang dipanggil Tuan White Sphere—mengalihkan pandangannya ke kerumunan. "Aku tahu kita semua berada di masa yang sulit! Sudah saatnya kita mengembalikan masa damai yang telah direnggut dari kita! Kita terlalu lama terlelap dalam penderitaan yang diberikan *mereka*. Sudah saatnya kita merebut kembali hak kita! Kita harus—" BWUSSSSHHHHHHHH! Aku tak bisa menahan diri lagi. Kemarahan dan frustrasi yang terpendam sejak tiba di desa ini meledak. Rune Angin di tubuhku meledak, menghempaskan angin kencang yang membuat semua benda di sekitar beterbangan. Meja, kursi, dan senjata-senjata sederhana penduduk desa berhamburan. Semua orang terpaku, sebagian kaget, sebagian marah. Mata mereka kini menatapku dengan tajam. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada kalian!" teriakku, suaraku menggema di tengah kekacauan. "Aku tak peduli jika kalian ingin memarahiku atas tindakanku ini! Tapi... AKU TAK AKAN MEMBIARKAN ADA ORANG YANG MEREBUT KEDAMAIAN ORANG LAIN, LALU MENGINJAK-INJAKNYA! AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKAN ORANG ITU!" Semua orang terdiam, terpana oleh ledakan emosiku. Tuan White Sphere menatapku, matanya kini penuh minat. "Pemuda," katanya pelan, "kau memiliki api di hatimu. Tapi apakah kau siap menghadapi kegelapan yang mengintai di balik kedamaian yang kau junjung?" Aku menatapnya, jantungku berdegup kencang. Apa yang ia maksud? Dan siapa sebenarnya *mereka* yang terus disebut-sebut? Desa ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang kukira, dan aku tahu, perjalananku baru saja dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD