“Strategi di Balik Fajar”

1578 Words
Kakek White Sphere, berdiri di hadapan kami di tengah kerumunan yang penuh semangat. Matahari pagi baru saja menembus cakrawala, mewarnai udara dengan nuansa emas dan merah darah—pertanda yang tidak menyenangkan, namun memicu tekad. Aura keberanian telah menggantikan keputusasaan di wajah para penduduk desa, tetapi Kakek tahu betul bahwa semangat saja tidak cukup untuk menghadapi musuh yang mereka hadapi. Bola Putih, atau Mata Surgawi, yang kini ku genggam, terasa hangat dan berdenyut, seolah-olah menyerap ketegangan kolektif di ruangan itu dan memprosesnya menjadi informasi murni di benakku. Aku bisa merasakan setiap denyut ketakutan yang tersembunyi di balik sorak-sorai mereka. Kakek mengangkat tangan, menghentikan sorak-sorai yang riuh itu. Keheningan tiba-tiba menyelimuti ruangan, hanya menyisakan deru napas kami. "Musuh kita sangat berbahaya!!!" Kakek White Sphere memulai, suaranya menusuk, memecah keheningan dengan urgensi yang nyata. "Jika kita tak punya rencana, maka kita yang akan terbunuh!!! Kita akan mati sia-sia, dan semua yang kita perjuangkan akan hilang!" Ia berjalan perlahan, menatap mata setiap orang. "Fokus kita adalah markas utama, pusat kendali kekuasaan mereka yang berada di balik bukit, tempat segala racun itu berasal. Tetapi kita harus tahu siapa yang menjaga benteng itu, dan bagaimana cara kerja racun yang telah menghancurkan kita selama ini." Kakek berhenti dan menunjuk ke arah peta kasar yang dia bentangkan di atas meja, tepat di samping bekas tempat Mata Surgawi bersinar. "Musuh kita (Rohha Sinoda), dia adalah pengguna Rune Poison," jelas Kakek, menyebut nama yang membuat beberapa warga gemetar. Rohha Sinoda. Nama itu dikenal sebagai algojo kejam yang ditugaskan untuk menjaga daerah ini, seorang yang dikenal karena kekejiannya dan kekuatannya yang mematikan. "Jika kita menyentuh dia, maka kita akan terkena racun miliknya!!! Bahkan jika kita terlalu lama menghirup udara di sana, kita juga akan mati keracunan!!!" Wajah-wajah yang tadinya penuh semangat kini dipenuhi kekhawatiran yang mendalam. Racun, ancaman tak terlihat yang telah membunuh begitu banyak orang, kini memiliki perwujudan fisik dalam diri musuh terkuat mereka. "Dan Rohha Sinoda adalah inti dari pertahanan mereka," lanjut Kakek. "Dia tahu kita akan datang. Dia telah mempersiapkan pertahanan racun berlapis di sekitar area kendali utama." Kakek memukul meja. "Kita hanya mempunyai waktu sekitar 30 menit untuk mengalahkan dia, tak boleh lebih!!! Setelah itu, racun yang dia lepaskan di udara akan mencapai tingkat mematikan yang tidak bisa diatasi lagi oleh kemampuan penawar yang kita miliki. Kita harus bergerak cepat, menyerang seperti kilat, dan menangkap atau melumpuhkannya dalam waktu setengah jam!" Ketegangan mencapai puncaknya. Semua orang tahu risiko yang mereka ambil. Ini adalah misi bunuh diri jika gagal. Tiba-tiba, sebuah suara yang keras dan penuh amarah memecah keheningan. "AKU YANG AKAN MEMBUNUH SI k*****t ITU!!!" Demian, anak muda yang bersemangat namun gegabah, yang telah menunjukkan tekad yang luar biasa, melangkah maju. Matanya menyala-nyala, dan ia siap untuk menyerang saat ini juga. Aku tersenyum melihat semangat anak itu. Semangatnya murni, tak terkontaminasi oleh ketakutan. Dia adalah cerminan dari amarah murni yang baru saja kurasakan semalam. Namun, semangat saja tidak cukup. "Diam lah....!!!! Dasar anak bodoh!!!!" Gotch, ayah Demian, seorang pria bertubuh besar dengan wajah keras yang selalu tampak cemas dan protektif, menghampiri Demian. Gotch meraih wajah anaknya dan menyumpal mulut Demian dengan tangannya, menyeretnya mundur dari garis depan. "Kau harus tetap disini, Demian!!!" Kata kakek White Sphere, mendukung tindakan Gotch. Kakek tahu peran Demian bukan di garis depan; ada yang lebih penting untuknya. Demian meronta-ronta, menyingkirkan tangan Gotch yang menyumpal mulutnya dengan kasar dan berkata: "JANGAN BICARA OMONG KOSONG!!! AKU JUGA INGIN BERTARUNG!!!" Demian mengepalkan tangan kanannya kearah kakek White Sphere. Ini bukan ancaman fisik, melainkan penolakan mentah-mentah atas perintah itu. Dia merasa diremehkan. "Dasar anak tak tahu diri!!!" Gotch geram dengan tingkah anaknya. Gotch, yang telah menderita bertahun-tahun dan kini mempertaruhkan segalanya, merasa putranya menghina perjuangan ini dengan sikap kekanak-kanakan itu. Amarah Gotch meledak. Ia mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Gotch mengarah pukulan ke arah wajah anaknya. Sebuah pukulan yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan dan, mungkin, melindungi anaknya dari bahaya. Sesaat akan mengenai wajah Demian, aku memejamkan mataku. Mata Surgawi berdenyut. Dalam sekejap, aku merasakan perubahan di udara di sekitarku, waktu seolah melambat hanya untuk diriku. Aku mengaktifkan kecepatan yang diberikan Mata Surgawi—bukan kecepatan lari, melainkan kecepatan transfer, pergeseran posisi instan. Aku berpindah tempat ke depan Demian berdiri, tiba tepat pada saat kepalan tangan Gotch hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah anaknya. JREEENNNNGGGG!!! Suara benturan itu bukan dari tinju ke wajah, melainkan dari tinju Gotch yang beradu dengan telapak tanganku yang terentang. Aku menangkis pukulan Gotch yang akan mendarat di wajah Demian. Dampaknya terasa keras, tetapi dengan kekuatan baru ini, itu terasa seperti guncangan kecil. Aku tetap tersenyum, menoleh ke belakang sedikit. "Hehehe!!! Aku suka dengan semangatmu!!!" Kataku kepada Demian, memberinya kedipan mata. Gotch menarik tangannya dengan cepat, ekspresinya berubah dari marah menjadi terkejut yang murni. "Ap....Apaaaaaa?!? Bagaimana mungkin kau bisa ada di hadapanku, sedangkan tadi kau berada di dekat tuan White Sphere?!?" Gotch melotot kaget melihatku yang sekarang ada dihadapannya dengan memegang kepalan tangan yang tadinya akan dilayangkan ke Demian. Ekspresinya memancarkan kebingungan dan ketakutan yang mendalam. Kecepatan dan kemampuanku untuk teleportasi jarak pendek itu benar-benar di luar akal sehatnya. "Kau jangan ikut campur!!!" Lanjut Gotch, mencoba menutupi rasa terkejutnya dengan harga diri yang terluka. Aku tidak menjawab dengan kata-kata. Aku mengarahkan pandangan mataku ke arah Gotch. Aku tatap tajam matanya... Aku tidak hanya menatapnya; aku membiarkan kekuatan Mata Surgawi mengalir melalui tatapanku, mengirimkan gelombang tekanan mental yang dingin dan mutlak, bukan untuk menyakiti, melainkan untuk menegaskan d******i dan otoritas. Deeeeggghhhh...!!! Gotch tak kuat menahan intimidasi yang aku berikan kepadanya. Dia melihat ke dalam mataku dan melihat tekad yang melampaui amarah sesaat. Dia melihat pemimpin yang sesungguhnya. Tubuhnya menjadi lemas dan ambruk di depanku, bukan karena kelemahan fisik, tetapi karena kelelahan emosional dan pengakuan tak sadar akan kekuatan yang lebih besar. Dari kejauhan, Kakek White Sphere memperhatikan seluruh adegan itu. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya yang keriput. Anak itu sangat hebat...!!! Aku bisa melihat kebaikan Angela dan kekuatan Dharma berada didalam diri anak ini...!!! Seru kakek White Sphere di dalam hati yang sedari tadi menyaksikan. Kakek tahu bahwa Mata Surgawi tidak salah memilih. Dalam diriku, dia melihat perpaduan antara kasih sayang dari para pahlawan masa lalu dan kekuatan yang dibutuhkan untuk masa depan. Aku menjauhkan tatapanku dari Gotch, melonggarkan tekanan. "Dengar...!!! Harusnya kau bangga atas keberanian anakmu!!!" kataku, suaraku kini kembali normal, tetapi penuh otoritas yang tak terbantahkan. Aku mengulurkan tangan kananku untuk membangunkan Gotch. Tanganku menawarkan bantuan, bukan hukuman. Gotch meraihnya dan mencoba untuk bangkit, wajahnya masih pucat karena syok. Dia menatapku dengan rasa hormat dan takut yang baru. Aku membalikan badan dan berjalan mendekati Demian. "Kau ingin menyelamatkan desa?!?" Tanyaku kepada Demian. "Dasar bodoh!!! Tentu saja!!!" Jawab Demian, masih sedikit terengah-engah dari pelarian dan kekesalannya. Aku menatapnya, mengukur keseriusannya. "Kalau kau memang benar mencintai desamu dan semua orang di desa, maka kau harus menjaga desamu dengan kekuatan yang kau miliki. Apa kau mengerti, bocah!!!" Aku menepuk pundaknya, sedikit lebih keras dari yang kubayangkan. "KAU PIKIR AKU LEMAH!!! AKU AKAN MENGHANCURKAN MEREKA!!!" Demian kesal dengan perkataanku tadi. Harga dirinya terluka lagi. Dia merasa seolah-olah ditugaskan untuk 'menjaga' karena dianggap tidak mampu bertarung. "Justru karena aku menganggap mu kuat, aku memberikan tugas yang sangat berat ini kepadamu, dan aku pikir hanya kau yang bisa mengemban tugas ini!!!" Aku berusaha menjelaskan dan menenangkan dia, memastikan kata-kataku terdengar meyakinkan dan penting. Aku harus memutarbalikkan pemikirannya, mengubah rasa kesal menjadi tanggung jawab. "Apa maksudmu? Aku tak mengerti!!!" Demian bingung (nampak jelas kepolosan di wajahnya). Pikirannya yang masih muda tidak dapat memproses logika strategis di balik rencanaku. Aku tersenyum lembut. "Begini!!! Coba kau pikirkan!!!" Aku merendahkan suaraku agar terdengar lebih rahasia dan penting. "Bagaimana jika ada musuh yang menyerang balik ke desa, sedangkan kita semua berangkat menuju daerah kekuasaan musuh!!! Lalu siapa yang akan melindungi desa?!?" Logika sederhana itu menghantamnya. Matanya yang marah mulai melembut, digantikan oleh pemikiran yang dalam. "Kau benar juga, yah!!!" Demian mulai mengerti. Dia menyadari celah fatal dalam rencana penyerangan tanpa pertahanan. Jika mereka berhasil di markas, tetapi desanya hancur, maka kemenangan itu sia-sia. "Kau sudah mengerti sekarangkan!!!" Aku mengacungkan jempol kepada dia. Aku telah berhasil memanipulasi emosinya, mengubah amarah menjadi dedikasi. "YAHHHHH!!! Aku akan menjaga desa meskipun harus kehilangan nyawaku!!!" Demian membalas mengacungkan jempolnya kearah ku. Tugas ini bukan lagi hukuman, melainkan kehormatan, sebuah misi krusial yang hanya bisa diemban oleh yang terkuat. Dia kini merasa menjadi bagian penting dari rencana besar. "Itu baru namanya semangat!!! hehehehe!!!" Aku berhasil mengelabui dia, tetapi dengan tujuan yang baik. Desa membutuhkan seorang penjaga, dan Demian adalah pilihan yang tepat—berani, memiliki tekad, dan kini, termotivasi oleh tugas yang suci. Kakek menggelengkan kepalanya di kejauhan, tetapi ada senyum geli di wajahnya. Dasar....!!! Ada juga cara seperti itu, yah!!! Gumam kakek White Sphere dalam hati. Dia membiarkan lelucon kecil itu, karena dia tahu, dalam perang, psikologi adalah senjata yang sama pentingnya dengan baja. Kakek White Sphere kemudian melangkah maju, kembali mengambil alih komando, suaranya kembali menggelegar. "Persiapkan diri kalian, karena besok kita akan bertarung!!!" Kakek menyadari kesalahannya. "Tidak! Tidak besok! Sekarang! Waktunya tiba! Musuh tidak boleh mendapat waktu lebih lama lagi!" Jreeeennggg!!! Kata kakek White Sphere, memberikan perintah yang final dan mutlak. Aku mengangkat Bola Putih itu tinggi-tinggi. Cahayanya menyelimuti kami semua, memberikan janji akan harapan dan kekuatan. "FOR VICTORYYYYYYYYY!!!!" Semuanya bersorak. Sorakan itu bukan lagi teriakan keputusasaan, melainkan raungan kebangkitan. Pasukan desa, yang dipimpin oleh seorang Kakek bijaksana dan seorang pemuda misterius dengan kekuatan baru, bergerak menuju markas musuh, meninggalkan Demian, sang penjaga baru, yang berdiri tegak di gerbang desa, siap menghadapi ancaman tak terduga yang mungkin datang dari belakang. Kudeta telah dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD